Pada Agustus 2017 saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi anak kost di Yogyakarta, dari hasil penjajakan melalui akun online penyedia jasa pencarian kost lalu saya menemukan perubahan bahwa rata-rata semua kost menawarkan fasilitas wifi. Tidak ada wifi justeru kurang diminati, kost yang ada wifi justeru nominalnya naik sedikit untuk alokasi kuota internet bulanan, pilihan saya jatuh pada kost yang ada wifi plus harga kost yang murah.Â
Kost pilihan saya khusus untuk perempuan, dengan harga yang standar (menurut teman saya yang sudah nge-kost di sini dua tahun lalu adalah harga yang wajar), akses yang saya dapatkan di balik kelengkapan fitur yang tersedia, secara sosial para penghuni kost disasosiatif artinya menjadi sangat individual dengan kepentingan masing-masing. Saya sudah hampir dua bulan ngekost, mengawali perjumpaan dengan tetangga sebelah berujung pada kecuekan semata. Ini berlaku diantara penghuni kost yang lain, kami tidak saling kenal-mengenal, ketika waktu-waktu luang sebagi mahasiswa kami habiskan untuk berdiam diri di kamar.Â
Terhubung dengan layar yang menimbulkan ekspresi suara yang beragam, misalnya penghuni kost yang gemar korea akan sangat gegap gempita melihat idolanya di kamar, saya yang gemar mendengar musik akan mendengarkan musik sepanjang waktu bahkan ketika saya sudah terlelap laptop tetap dalam keadaan menyala, serta berbagai ekspresi lainnya yang kadang membuat saya menduga-duga dan parno sendiri.
Kafe, perpustakaan, kantor-kantor, mal, food court , toko buku, semua tempat publik hingga kost hunian pun sudah pasti terkoneksi internet. Ada masa-masanya kita membutuhkan internet untuk menelusuri sesuatu hal dan wawasan yang baru, namun ada waktunya kita benar-benar bosan berhadapan dengan internet atau sosial media, namun merasa tidak berdaya untuk melepaskan jaring raksana internet yang semakin membelenggu dan menciptakan pola ketergantungan akibat penetrasi tingkat industri hingga tingkat privat.Â
Bila dikaji secara psikologi tentu ini merujuk pada kondisi jiwa yang terganggu, kecanduan internet yang konon memiliki tingkat bahaya yang setara dengan kecanduan obat-obatan terlarang. Saya tidak mengatakan ini suatu penyakit, tapi dampak psiksisnya cukup berbahaya. Semoga kita semua bijak menggunakan sosial media. Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H