Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi Pernikahan ala Masyarakat Indonesia, dari Tradisi Rewang Menuju Berbalas Amplop

27 Januari 2019   20:30 Diperbarui: 28 Januari 2019   17:23 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi pagi, salah seorang teman jauh menuliskan status di laman Facebooknya, mengeluhkan tentang tradisi memberikan kenang-kenangan/sumbangan/balasan amplop kepada orang yang sedang melangsungkan pesta pernikahan.

Di era Generasi X atau angkatan ibu dan bapak saya, pesta pernikahan merupakan ajang bertemu kembali, berkumpul, berbagi, syukuran maupun suatu perayaan yang tidak hanya dinikmati oleh pihak yang merayakan pesta. Perayaan pesta pernikahan menjadi miliki masyarakat setempat sehingga penting untuk "dilaksanakan" dan dikelola secara bersama-sama.

Saya tinggal di kota Lubuklinggau, yakni suatu kota perlintasan yang berada di ujung Provinsi Sumatra Selatan berbatasan dengan Provinsi Bengkulu. Si Mbah saya merupakan pendatang yang tergabung dalam program transmigrasi tahun 1970-an, awalnya berasal dari Jawa Timur. Jadilah kami sebagai keluarga besar transmigran yang hidup berdampingan dengan masyarakat lokal.

Sebagai penduduk transmigran, hal yang diwariskan kepada kami tentu nilai-nilai dalam keluarga Jawa, terlebih karena bapak saya juga berasal dari Jawa Tengah. Ketika melaksanakan pernikahan, tradisi yang dilangsungkan juga meneruskan apa yang umumnya dilakukan di Jawa. 

Misalnya ketika akan melangsungkan pernikahan, terdapat proses berkumpul bersama tetangga untuk mendiskusikan pembagian peran, mengolah dan memasak bersama atau dikenal dengan "tradisi rewang", berkirim punjungan atau berkat makanan yang diberikan sebagai tanda syukur kepada tetangga ataupun orang yang hendak diundang. 

Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dibagi secara merata sesuai dengan daya dan upaya yang bisa diberikan untuk bisa berpartisipasi di perayaan tersebut. 

Pada tradisi rewang misalnya, saya masih mengingat betul setiap kali akan rewang atau membantu tetangga untuk membuat kue atau mengolah masakan maka ibu akan mempersiapkan sangkek, baskom (berisi beras, bihun, satu butir kelapa, mie goreng, ataupun gula jawa), dan pisau (yang akan digunakan untuk memotong daging atau bahan masakan). Pernikahan biasanya dilakukan di kediaman orang tua perempuan, dan melibatkan tetangga di sekitar rumah. 

Semua dilakukan secara teratur, guyub, bergembira, semua orang saling bercengkerama, saling bersapa, berinteraksi, bahkan untuk menambah semangat maka kegiatan bersama diiringi musik-musik tertentu (umumnya dangdut), bahkan secara sukarela orang yang melakukan rewang meninggalkan aktivitas harian misalnya bagi laki-laki bekerja di kebun atau pasar, atau perempuan rata-rata bekerja sebagai pedagang atau IRT. Ini bisa dilakukan selama 7 hari sebelum sebagai persiapan acara, hingga 3 hari sesudah perayaan (kegiatan bersih-bersih bersama). 

Setelah kegiatan memasak bersama, makanan akan disisihkan oleh ibu-ibu yang bekerja bersama, ada bungkusan makanan yang dibawa pulang untuk disajikan kepada keluarga. Namun bila tidak ada, tuan rumah biasanya menyiapkan kerupuk atau panganan ringan sebagai oleh-oleh karena yang bersangkutan telah sukarela membantu. 

Kegiatan gotong royong ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang sepuh, tetapi anak muda juga ikut terlibat. Ini juga menjadi ruang pertemuan dan perkenalan bagi calon pengantin untuk dapat berinteraksi kepada keluarga besar dan tetangga, sehingga pesta perayaan tersebut tidak hanya sekadar perjamuan terhadap tamu undangan.

Saya juga ingat betul ketika saya kecil (sebelum tahun 2000 hingga tahun 2000 awal), bagaimana tamu undangan hadir berbondong-bondong untuk menikmati sajian makanan dengan tampilan kostum yang bersahaja dan seadanya. 

Bahkan ada yang menampilkan tanggap layar tancap, kuda lumping, organ tunggal dangdut, ataupun memutar playlist lagu dangdut dengan volume yang kencang saja. Asal semua senang, pesta tetap berjalan. Belum ada tradisi ngamplop (memberikan amplop ataupun kado).

Setelah perayaan pesta, semua akan dibereskan bersama-sama. Melibatkan semua pihak, mulai dari pak RT, sampai inidividu yang menyediakan diri untuk berpartisipasi. Semua tidak dinilai hanya dari sekadar--nilai uang, semua bersenang-senang di dalam perayaan hingga mengambil peran dalam skala kecil tetapi memiliki peran dalam keberlangsungan acara. 

Ada bubur sumsum, sebagai bubur "upah lelah" yang dimasak dalam wajan besar untuk dibagi-bagikan kepada pihak yang membantu acara. Saya tidak memahami esensinya, tetapi bubur biasanya dibuat dalam rasa yang manis. Bila boleh menaksir maknanya, mungkin ini berkaitan dengan manisnya silaturahmi dan resiprositas bekerja bersama yang telah dilakukan, tanda syukur bersama atas perayaan mendukung calon pengantin untuk menuju jejak hidup selanjutnya. 

Pernikahan Ala Milenial 

Entah dimulai sejak kapan, secara masif tradisi pernikahan bergeser kepada tradisi memberikan amplop dan kado. Secara sosiologis, hal ini dapat disebabkan karena perbedaan kondisi sosial---di mana masyarakat menjadi lebih terbiasa dengan budaya hidup praktis.

Tradisi rewang bersama-sama teralihkan dengan adanya Wedding Organizer, semua sudah all in one (menjadi satu) antara pendirian tenda, ketersediaan makanan, perangkat pernikahan, make up, makanan yang telah disediakan katering, serta semua kebutuhan menyangkut adat tradisional telah dapat dipilih dan dipesan oleh calon tuan rumah, asal menyepakati harga yang telah ditentukan---mulai dari urusan persiapan hingga acara selesai. Umumnya, untuk memperingkas acara, pesta akan dilakukan di hotel atau gedung, satu perangkat dengan pihak vendor penyedia jasa. 

Dampak dari hidup praktis tersebut, secara sosiologis menciptakan sekat berlapis di dalam masyarakat seolah ingin menegaskan kelas-kelas sosial, salah satunya melalui tradisi berbalas kado maupun amplop kepada tuan rumah/pasangan pengantin. Logikanya begini: uang dibalas uang, benda dibalas benda, jasa dapat dibalas dengan benda ataupun uang. 

Maka muncullah tradisi memberikan amplop dalam jumlah nominal yang "masuk akal". Tujuannya untuk "membantu" ataupun "membalas" apa yang telah diberikan tuan rumah pada saat kita mengadakan perayaan yang serupa.  

Seperti misalnya, pada suatu kampung, Ibu dan Bapak pernah bercerita bahwa suatu kali pergi kondangan ke orang yang tidak terlalu dikenal, lalu memberikan amplop dengan nominal tertentu. Kotak amplop tentu telah dipersiapkan oleh tuan rumah beserta buku tamu yang digunakan sebagai daftar hadir penanda kehadiran juga "sumbangan (amplop ataupun kado yang diberikan)".

Alih-alih menuju ke tempat prasmanan untuk menikmati sajian makanan, tim penjaga tamu membuka amplop, menyebutkan nama dan jumlah nominal yang disumbangkan kepada tuan rumah melalui speaker di depan banyak orang. 

Ibu sempat bercerita bahwa beruntung jumlah yang diberikan tidak cukup "memalukan" dalam artian sesuai dengan standar nominal rata-rata jumlah sumbangan "uang" yang dimasukkan ke dalam amplop.

Pada kejadian yang lain, standar ini memicu orang yang sedang tidak memiliki sejumlah uang untuk menyumbang lalu akan bersikeras meminjam sejumlah uang untuk tetap memberikan sumbangan amplop kepada tuan rumah. 

Karena setiap amplop yang disumbangkan akan dicatat secara detail oleh tuan rumah dan akan menjadi "tabungan sosial" yang bersifat benefit--- akan berbalas ketika akan melakukan kegiatan yang serupa. 

Sanksi sosial yang nampak memang tidak ada, tetapi dalam catatan acara, akan terlihat daftar nama dan jumlah yang telah diberikan sehingga akan membuat khawatir siapa saja (terkesan pamrih dan GR nantinya akan mendapatkan balasan yang sama, padahal belum tentu senyatanya).

Tradisi ini kemudian seperti suatu lingkaran yang terus berputar, terwariskan kepada generasi milenial yang semakin menampilkan budaya populer. Perayaan pernikahan semakin ribet ditambah dengan budaya-budaya fetish yang dikomodifikasi sesuai tren di media sosial. 

Akibatnya, pernikahan hanyalah milik personal, dilakukan personal, bukan lagi sebagai suatu perayaan bersama dan menjadi hiburan bersama-sama, memisahkan antara masyarakat yang satu dengan yang lain tetapi terlihat sangat akrab di tampilan media sosial.

Semoga tradisi ini segera terputus, dan menjadi biasa-biasa sahaja. Tabik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun