Pada kejadian yang lain, standar ini memicu orang yang sedang tidak memiliki sejumlah uang untuk menyumbang lalu akan bersikeras meminjam sejumlah uang untuk tetap memberikan sumbangan amplop kepada tuan rumah.Â
Karena setiap amplop yang disumbangkan akan dicatat secara detail oleh tuan rumah dan akan menjadi "tabungan sosial" yang bersifat benefit--- akan berbalas ketika akan melakukan kegiatan yang serupa.Â
Sanksi sosial yang nampak memang tidak ada, tetapi dalam catatan acara, akan terlihat daftar nama dan jumlah yang telah diberikan sehingga akan membuat khawatir siapa saja (terkesan pamrih dan GR nantinya akan mendapatkan balasan yang sama, padahal belum tentu senyatanya).
Tradisi ini kemudian seperti suatu lingkaran yang terus berputar, terwariskan kepada generasi milenial yang semakin menampilkan budaya populer. Perayaan pernikahan semakin ribet ditambah dengan budaya-budaya fetish yang dikomodifikasi sesuai tren di media sosial.Â
Akibatnya, pernikahan hanyalah milik personal, dilakukan personal, bukan lagi sebagai suatu perayaan bersama dan menjadi hiburan bersama-sama, memisahkan antara masyarakat yang satu dengan yang lain tetapi terlihat sangat akrab di tampilan media sosial.
Semoga tradisi ini segera terputus, dan menjadi biasa-biasa sahaja. Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H