Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Studi Fenomenologis: Belajar Cinta Kasih dari Masyarakat desa Ledokombo

3 September 2018   18:51 Diperbarui: 23 Juni 2019   23:49 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat saya berada di sekolah dasar, ingatan membawa saya menelusuri suatu mata pelajaran PPKN dengan buku paket yang berwarna merah putih dengan ilustrasi Pancasila.

Dalam buku itu, ada bab tentang keberagaman dan toleransi yang diuraikan dengan gambar penjelas sederhana dan narasi yang tidak njelimet, namun bagi saya pribadi materi belajarnya membuat saya terus ingat hingga saat ini.

Hobi berjalan-jalan ke beberapa tempat di Indonesia membawa saya bertemu dengan banyak orang-orang di perjalanan, baik itu meliputi perempuan maupun laki-laki, lintas usia, lintas suku, lintas agama, lintas generasi, dan dalam berbagai keberagaman.

Banyak materi yang telah diajarkan saat menempuh pendidikan di sekolah, pada akhirnya belajar dan perjalanan menyadarkan saya bahwa setiap ilmu perlu diimplementasikan ke dalam perbuatan sehingga tidak hanya mengendap di dalam pikiran, ataupun sekedar menjadi perkataan semata.

Saat saya mendapatkan kesempatan untuk belajar bersama masyarakat di Ledokombo Kabupaten Jember Provnsi Jawa Timur. Disana saya semakin belajar banyak hal tentang keberagaman, salah satunya bagaimana menjalani hidup dengan nerimo ing pandum, berserah diri kepada Sang Khalik dengan cara bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup.

Saya menyaksikan bagaimana di suatu dusun yang asri, masyarakat masih sangat solid dan menghargai kemanusiaan. Pernah suatu kali saya berkeliling dan mengunjungi rumah penduduk lokal, saya ingat bahwa hari itu saya disuguhkan air teh hangat dengan total 12 gelas karena mengunjungi 12 kepala keluarga. Sebagai anak semi urban yang biasa jajan di angkringan, saya tentu menghitung teh dalam hitungan berapa rupiah harga teh per gelas.

Namun bagi masyarakat Ledokombo, tidak menyajikan minuman dan makanan bagi tamu yang berkunjung dianggap suatu perbuatan yang ganjil. Tidak peduli bagaimana kondisi keluarga mereka, sajian teh yang melesap di dalam kerongkongan saya rasanya tetap sama. Teh yang disajikan melampaui hanya sekedar minum pelepas dahaga.

Saya juga menyaksikan dengan mata kepala atas realita terdapat banyak sekali pasangan suami dan istri yang melakukan kerja sukarelawan untuk mengentaskan persoalan masyarakat di sekitarnya.

Ada sepasang suami istri yang bergerak dalam mengentaskan pendidikan buta aksara dan buta Al-Quran. Lalu ada pula sepasang suami istri yang bergerak melakukan pemberdayaan terhadap buruh migran setempat yang jumlahnya sangat banyak sekali.

Ada juga sepasang suami istri yang bergerak menjadi mobilisator dalam pengelolaan terpadu desa wisata.  Serta ada juga sepasang suami istri yang bergerak dalam mengumpulkan masyarakat untuk membentuk kelompok-kelompok usaha mandiri.

Meskipun bergerak dalam ranah perjuangan masing-masing, namun dalam konteks perkembangan desa, gerakan organik ini muncul membentuk struktur yang solid sehingga memperkuat masyarakat secara bottom up. Sebelum ada dana desa yang kemudian mendukung berbagai program pembangunan di desa, masyarakat biasa mengumpulkan iuran ketika hendak mewujudkan ide bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun