Ekspresi juga bersifat terbatas karena tindakan ekspresi perempuan yang sudah menikah ketika berada di ruang publik masih dianggap tabu dalam masyarakat.
Beberapa artikel online bahkan melanggengkan mitos ini dengan memberikan berbagai tips bagi perempuan ketika menghadapi pasangan yang sedang mengalami masa puber kedua.
Berbanding terbalik bahwa minim artikel bandingan mengenai tips yang juga seharusnya dikenali laki-laki mengenai puber kedua perempuan.
Sejalan dengan maraknya isu tentang sugar daddy, muncul juga istilah tentang pelakor (perebut laki orang) yang juga marak di awal tahun 2018.
Istilah pelakor ini menjadi suatu kondisi yang juga mendiskriminasikan posisi perempuan, banyak perempuan yang akhirnya yang membenci perempuan lainnya tanpa melihat akar persoalan.
Sementara laki-laki tetap dalam kondisi mapan tanpa dipersalahkan baik secara perspektif sosial, budaya, dan agama.
Untuk memutus mata rantai keberadaan sugar daddy, hanya dapat dilakukan jika antara suami dan istri bekerja sama untuk memperkuat dan mempertahankan hubungan melalui pola komunikasi yang intim, baik ketika menghadapi kondisi bahagia maupun kondisi terberat.
Sementara untuk menghentikan laju tren sugar baby, diperlukan berbagai pihak untuk ikut memberikan pengasuhan bersama terhadap anak-anak yang berada di sekitar lingkungan kita.
Bila faktor finansial menjadi alasan kunci seorang remaja menjadi sugar daddy, institusi pendidikan dan negara perlu merumuskan suatu metode untuk melahirkan generasi muda kreatif yang mandiri secara finansial, bukan hanya melanggengkan tren populer tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H