Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama FEATURED

Mitos Puber Kedua Laki-laki dalam Fenomena "Sugar Daddy"

3 September 2018   11:07 Diperbarui: 20 Desember 2020   11:16 5911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekspresi juga bersifat terbatas karena tindakan ekspresi perempuan yang sudah menikah ketika berada di ruang publik masih dianggap tabu dalam masyarakat.

Beberapa artikel online bahkan melanggengkan mitos ini dengan memberikan berbagai tips bagi perempuan ketika menghadapi pasangan yang sedang mengalami masa puber kedua.

Berbanding terbalik bahwa minim artikel bandingan mengenai tips yang juga seharusnya dikenali laki-laki mengenai puber kedua perempuan.

Sejalan dengan maraknya isu tentang sugar daddy, muncul juga istilah tentang pelakor (perebut laki orang) yang juga marak di awal tahun 2018.

Istilah pelakor ini menjadi suatu kondisi yang juga mendiskriminasikan posisi perempuan, banyak perempuan yang akhirnya yang membenci perempuan lainnya tanpa melihat akar persoalan.

Sementara laki-laki tetap dalam kondisi mapan tanpa dipersalahkan baik secara perspektif sosial, budaya, dan agama.

Untuk memutus mata rantai keberadaan sugar daddy, hanya dapat dilakukan jika antara suami dan istri bekerja sama untuk memperkuat dan mempertahankan hubungan melalui pola komunikasi yang intim, baik ketika menghadapi kondisi bahagia maupun kondisi terberat.

Sementara untuk menghentikan laju tren sugar baby, diperlukan berbagai pihak untuk ikut memberikan pengasuhan bersama terhadap anak-anak yang berada di sekitar lingkungan kita.

Bila faktor finansial menjadi alasan kunci seorang remaja menjadi sugar daddy, institusi pendidikan dan negara perlu merumuskan suatu metode untuk melahirkan generasi muda kreatif yang mandiri secara finansial, bukan hanya melanggengkan tren populer tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun