Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Mengenal Trauma?

17 Oktober 2017   15:49 Diperbarui: 18 Oktober 2017   09:33 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu, saya mengikuti workshop penanganan trauma pada survivor, diadakan oleh lintas kolektif perempuan Yogyakarta yang bergerak di isu perempuan dan anak dalam rangka memperingati kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Kegiatan kampanye 16 HAKTP ini memiliki tema Pekan Seni Melawan Kekerasan Seksual. Acara ini bertempat di AOA Space, sebuah mini kafe  yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan kolektif yang bernuansa seni dan edukasi. Pada kampanye 16 HAKTP ini panitia menyelenggarakan kegiatan yang bertujuan untuk mendukung dan menguatkan survivor dari tindak kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

Kegiatan yang disajikan yakni launching buku saku, pameran seni rupa, penampilan tari, puisi dan musik, presentasi karya ilmiah tentang perempuan, pemutaran film, workshop, bedah buku "Telembuk" bersama DR. Katrin Bandel, dan ada lapak-lapak indie yang menjual pernak-pernik handmade yang dibuat oleh crafter-crafter keren di wilayah Yogyakarta.

Acara ini tidak hanya ditunjukan oleh-dari-dan untuk perempuan, dalam kampanye 16 HAKTP mengajak dan melibatkan partisipasi sebanyak-banyaknya teman laki-laki dan perempuan untuk ikut mendukung survivor  tindak kekerasan. Bentuk dukungan mewujud dalam karya-karya yang dibuat oleh para partisipan dari penjuru Indonesia.

Singkat cerita, saya tertarik untuk datang ke acara ini karena alasan saya menyukai seni dan saya merasa perlu untuk melibatkan diri pada kolektif-kolektif untuk isu perempuan dan anak. Ini berkaitan dengan aktifitas saya sebelum memutuskan untuk melanjutkan studi, sehingga untuk tetap mengupgrade diri dan kapasitas saya anggap ini ruang belajar yang tepat. Saya pernah punya trauma yang panjang tentang bullying, ini masih menjadi proses yang terus berlangsung, melawannya adalah dengan belajar menguatkan diri.

Saya memiliki kulit cokelat, topik utama bully yang selalu saya terima adalah soal perbedaan warna kulit. Bagi sebagian besar orang, warna kulit terang adalah bentuk yang paling ideal. Sementara warna kulit cokelat adalah warna kulit yang kumal, ugly, tidak menarik, dan sebagainya. Sampai saat ini saya merasa ratusan kali ‘diajak’ atau bila boleh dikatakan ‘dipaksa’ baik dalam bentuk verbal maupun ajakan langsung, untuk mengkonsumsi produk kecantikan yang dianjurkan oleh orang-orang di sekitar saya, alasannya tidak lain supaya kulit saya lebih terang minimal satu tingkat di bawah tingkat kulit terang mereka.

Bapak saya berlatarbelakang etnis Jawa, memiliki kulit gelap. Ibu saya juga berlatarbelakang etnis Jawa namun berkulit terang. Secara genetik, saya memang lebih dominan mewarisi genetik bapak. Ini diamini sebagian besar orang, karena adik-adik saya mewarisi gen warna kulit terang dari ibu. Tapi dalam keluarga kami, perbedaan ini adalah hal yang tidak perlu diseriusi. Kami saling menerima diri, kecuali adik perempuan dan ibu saya yang agak ribet bila melihat produk kecantikan di televisi. Hi te-lie-visi, propaganda kalian sukses sekali!

Menurut pandangan umum, orang Jawa lumrah memiliki kulit cokelat tetapi menjadi lumrah bagi lakil-laki dan menjadi aneh bagi perempuan. Kemanapun saya pergi, kesan  yang timbul pada sela-sela pembicaraan pastilah menyoal perbedaan warna kulit. Kadang saya merasa tidak memiliki ruang yang aman untuk mengatakan bahwa saya muak dicandai seperti itu, implikasinya menimbulkan perasaan tidak aman dan nyaman, tidak percaya diri, dan merasa malas untuk bergabung (atau dapat dikategorikan dengan trauma) bila bergabung dalam kelompok baru. Menurut saya ini berbahaya karena tentu saja akan membatasi diri saya sebagai makhluk sosial. Puncaknya saya pernah merasa sangat marah ketika mantan pacar saya meminta saya untuk melakukan injeksi vitamin C yang berfungsi untuk mencerahkan warna kulit pada tingkat tertentu, dengan catatan bila saya ingin diperkenalkan dengan ibunya. Ha ha ha. Saya tidak mempersalahkan injeksinya, tapi ada proses asosiasi yang penting dalam suatu hubungan : penerimaan sepaket, apapun keadaannya.

Saya merasa gemas dan geli sekali, sebenarnya ketika saya akan menjalin relasi dengan seseorang saya akan meminta pandangannya tentang konsep penerimaan diri sendiri terhadap kondisi teman bicaranya. Maka untuk pengalaman dengan mantan, saya tidak terlalu mengamini dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengannya. Relasi yang rumit, berakhir drama, tapi saya paham inti permasalahannya : dia tidak pernah menerima saya sepenuhnya, maka saya memutuskan untuk lebih kuat untuk menerima diri saya sendiri.  Ini merupakan pembelajaran bahwa pandangan tentang makna cantik dan mitos-mitosnya yang disetting oleh industri kecantikan telah mengkonstruksi hingga ke relasi privat. Saya hanya mencontohkan satu persoalan tubuh bagian kulit, belum lagi bagian tubuh yang lain. Perempuan adalah pangsa pasar besar bagi produk industri, semua jengkal tubuh memiliki produk yang tersedia meski kadang terkesan tidak masuk akal.

Saya berpendapat bahwa tidak masalah bila semua perempuan boleh memutuskan untuk menjadi konsumen produk-produk tersebut, tapi disesuaikan dengan kebutuhan dan pastikan bahwa itu adalah upaya untuk membahagiakan diri sendiri, bukan karena unsur paksaan dari pihak lainnya, termasuk orang terdekat sekalipun. Saya juga seringkali menemui bahwa demi menyenangkan seseorang, ada perempuan yang rela memaksa dirinya membentuk tubuh menjadi ideal tanpa peduli dengan otoritas dan suara hati sendiri, faktor kesehatan kadang diabaikan. Maka penting juga untuk membangun relasi sehat dengan mulai bersuara, pandangan kita tidak muncul, tidak diakui, atau malah dalam konteks lain tidak dihargai (bila pasangan posesif). Tetapi sebagai perempuan, sebaiknya kita mulai berbicara : belajar untuk mengatakan tidak ketika tidak sepakat dengan suatu hal, belajar untuk memnimalisir sikap menyutujui tanpa memikirkan implikasi bagi diri sendiri. Tubuh adalah otoritas personal.

Bagi saya, ruang publik juga bukan tempat yang aman dan tidak ramah dengan perbedaan.  Bila saya jalan-jalan ke tempat umum apalagi mall, tempat-tempat kecantikan dimana semua produk kecantikan yang mengklaim diri sebagai produk mutakhir dalam mentransformasikan kecantikan, menjanjikan bahwa mereka dapat mengubah sesuatu “yang tidak cantik” menjadi “sangat cantik”. Tergantung budget. Pertaruhan ini konon dapat memberikan kepuasan bagi pelanggan yang rata-rata adalah perempuan. Kembali saya tekankan, bahwa silahkan dilakukan sesuai kebutuhan dan tanpa unsur paksaan.  Dulu, saya seringkali merasa sangat minder bila mbak-mbak sales produk kecantikan krim putih kilat, krim pemutih tubuh, wajah, ketiak, siku, dengkul, mulai dari  merk A, B, C, D hingga Z akan menghampiri saya. Seolah-olah merasa perlu untuk memberikan solusi atas permasalahan saya, nah bagi industri kecantikan. Perbedaan adalah suatu “permasalahan” yang perlu direkayasa untuk mengurangi tekanan sosial terhadap perbedaan itu sendiri.   Anda bisa bayangkan ada berapa stand produk kecantikan yang akan mengutus sales promotion girl-nya untuk mempengaruhi saya untuk membeli produk mereka. Banyak sekali. Saat ini saya, bila saya datang lagi ke mall dan ditawari produk kecantikan oleh mbak-mbak sales promotion girl maka saya dengan tegas menolak : saya tidak butuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun