Sudah lama sekali saya tidak menulis di kompasiana, melewatkan banyak hal tanpa menulis tentu pekerjaan yang sia-sia. Untungnya saya masih menyimpan beberapa cerita dalam gambar-gambar yang coba saya buat. Ya, merawat ingatan bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menulis dan menggambar. Kita mesti membuat karya banyak-banyak dan tentu saja diarsipkan, agar karya yang dibuat dapat memberikan sedikit manfaat bagi publik.Â
Kali ini saya akan bercerita tentang perasaan gembira saya dalam proses latihan disiplin membuang sampah selama lima tahun terakhir, hal-hal sederhana tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Tahun 2011 lalu, saya dan salah seorang teman sempat membuat gerakan sederhana di kampus yakni satu hari satu kantong sampah yang dikumpulkan di area kampus.Â
Sebuah aktivitas yang tidak muluk-muluk, waktu itu kita hanya mencoba melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar yakni berdisiplin dalam membuang sampah. Saya kumpulkan satu kantong, teman saya kumpulkan satu kantong. Setiap hari kita akan mengumpulkan sampah yang ditemui, sebab tanpa perlu dicari jumlah sampah yang tercecer tentu banyak sekali. Menurut data statistik sampah pada Januari 2017 memaparkan data bahwa setiap hari Indonesia memproduksi 130.000 ton setiap hari dengan rata-rata 2,1 kilogram produksi sampah per orang.Â
Sungguh jumlah yang fantastis bila kita menyadarinya, namun dala, proses membangun kesadaran personal bukan perkara yang mudah, setiap orang berhadapan dengan nilai-nilai yang telah berkonstruksi bahwa perihal membersihkan sampah di area publik bukanlah tugas masing-masing melainkan tanggung jawab petugas kebersihan. Benarkan demikian? Tentu saja tidak, setiap orang semestinya bertanggungjawab atas sampah yang diproduksi sendiri baik secara individual maupun kolektif, anak-anak maupun orang dewasa.Â
 Sewaktu saya menjadi pendamping anak di desa Ledokombo Jember, saya mendapati bahwa anak-anak dan masyarakat desa lebih disiplin dalam hal mengurusi sampah. Tidak seperti yang banyak diklaim oleh banyak pihak, penyumbang sampah terbesar tentu di area urban yang merupakan tempat produksi dan distribusi dari tingkat rumah tangga hingga perusahaan, bentuk sampahnya juga beragam mulai dari sampah plastik hingga limbah industri. Pada sebuah rencana kegiatan membuat bank sampah di desa, saya melakukan pendataan bahwa jumlah produksi sampah di satu dusun bahkan di desa itu jumlahnya sangat sedikit, agak berlimpah ketika ada kegiatan ramai seperti pesta pernikahan dan kegiatan pengajian yang sudah menggunakan air mineral untuk konsumsi bagi tamu yang hadir.Â
Selebihnya produksi sampah cenderung stabil, tiap rumah tangga hanya mampu mengumpulkan tidak lebih dari satu karung sampah per minggu. Akumulasi itu sudah termasuk sampah plastik, daun, dan sampah rumah tangga yang berbentuk sederhana lainnya. Di tingkat desa, jumlah sampah lebih bervariasi seperti jenis besi, kabel, kardus, kertas, botol kaca, dan perkakas rumah tangga berbahan besi atau alumunium.Â
Bila di kota, pengepul sampah akan kebanjiran sampah di berbagai tempat sementara pengepul sampah di tingkat desa akan berkeliling seminggu satu kali, mengambil sampah yang sudah dipilah-pilah lalu menawarkan bentuk penukaran seperti menukar sampah dengan alat-alat rumah tangga (benda rumah tangga yang terbuat dari bahan plastik hingga panci alumunium).Â
 Anak-anak dan masyarakat di desa lebih menyadari pentingnya menjaga lingkungan, karena mereka sadar bahwa implikasi kerusakan lingkungan sangat bersentuhan langsung kepada mereka. Misalnya sampah yang dibuang ke sungai dapat mengotori sungai yang digunakan sehari-hari untuk kebutuhan mandi, mencuci terkait kebutuhan rumah tangga, untuk membersihkan hewan ternak, juga untuk keperluan mengairi sawah di ladang.Â
Dalam kehidupan di desa yang masih murni, sungai juga menjadi tempat rekreasi masyarakat ketika sore hari. Maka kesadaran tersebut diimbangi dengan sikap disiplin dalam upaya membuang sampah pada tempat yang telah mereka sediakan. Pengetahuan ini tidak diperoleh dari teori tetapi mereka berlatih kepekaan diri terhadap kondisi sekitar, tidak hanya berpusat pada kepentingan individual.Â
Hal ini sangat kontras bila dilihat dalam konteks wilayah perkotaan, dimana sampah cenderung diserahkan kepada para petugas kebersihan yang dilegitimasi dalam sebuah profesi. Padahal sebagai manusia kita berkewajiban untuk menjaga lingkungan sekitar, tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Berlatih membuang sampah pada tempatnya memberikan saya pengalaman bahwa bersetia pada komitmen harus melalui proses latihan yang tidak singkat, saya menjadi lebih peka dan sadar pada tanggung jawab saya secara individual (saya harus berlatih menemukan tempat sampah yang mungkin tidak berada di dekat saya), berlatih merawat diri sebaiknya dimulai dari hal-hal kecil karena setiap proses memberikan manfaat kepada kita baik secara langsung ataupun tidak langsung.Â
Maka bertanggungjawab atas sampah sendiri adalah sikap mental yang baik dan tidak akan mengurangi apapun dari diri kita, salah satunya adalah merawat diri dari informasi-informasi hoax yang banyak muncul di sosial media. Kebersihan tidak hanya upaya menjaga keseimbangan secara fisik (lingkungan) namun juga menjaga keseimbangan nalar dan jiwa.Â
Selamat berlatih :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H