Pilpresma merupakan ajang pesta demokrasi masyarakat kampus untuk menentukan pilihan pemimipin yang akan dipilih mewakili kursi-kursi elite pada struktur Badan Eksekutif Mahasiswa. Seperti umumnya pemilihan umum yang mengadopsi sistem PEMILU Nasional, pesta demokrasi internal kampus juga menerapkan pola yang sama. Memilih Presiden Mahasiswa dengan cara voting langsung dibilik pencoblosan yang dipersiapkan. Kandidat calon Presiden Mahasiswa dan Wakil Mahasiswa didasarkan pada partai-partai bayangan yang fungsi, tugas dan strategi politiknya sedikit-banyak mengikuti gaya konvensional partai-partai nasional peserta pemilu nasional. Nyaris tak ada, namun yang pemilihan ini merupakan platform yang dilakukan di kampus dengan gaya mahasiswa yang notabene nyentrik, muda, dan intelek. Meski perlu banyak modal yang dikeluarkan untuk mencapai kedudukan tertinggi dalam struktur mahasiswa ini, beberapa mahasiswa kemudian terpanggil untuk maju dalam perhelatan akbar tahunan yang meski tidak banyak modal yang dimiliki, modal nekat-networking-dan niat tulus mengabdi untuk “rakyat” kampus kemudian menjadi komposisi dasar bakal calon untuk melewati proses seleksi oleh Komisi Pemilihan Umum kampus.
Baru-baru ini pesta demokrasi kampus dilakukan di Universitas Bengkulu, penulis yang sedang berjalan-jalan disekitaran Unib kemudian merasa rishi dengan selebaran amatiran yang dipakai sebagai alat kampanye, ditempelkan di sepanjang pohon rindang di pinggir jalan di kawasan gerbang Unib belakang. Penulis menghampiri pohon dan mendapati curriculum vitae dari calon nomor satu yang memuat gambar, nomor urut, dan visi-misi pasangan nomor urut satu, sedangkan nomor urut dua yang tak ingin kalah saingan ikut menempeli potongan kertas ukuran kecil berisi angka “2” yang menandakan nomor urut pasangan dua. Kenyataannya selebaran ini disebar diberbagai kaca, dinding, dan pohon-pohon disekitaran kampus yang sangat mengganggu pemandangan mata dan nilai keindahan lingkungan. Selain itu, penulis mengamati bahwa tidak seharusnya pelaku politisi kampus minim pendidikan politik dan menyebabkan kegagalan memetakan strategi partai-nya dalam mengikuti tahapan pemilihan umum, termasuk ketika pimpinan partai menunjuk tim pemenangan yang bertugas memberikan selebaran-selebaran kampanye partai, guna memenangkan partai untuk menduduki jabatan elite. Secara tersirat, jika ekspektasi “mengabdi untuk rakyat kampus” memang merupakan dasar yang dimiliki partai-partai kampus, maka urusan sederhana seperti tidak mengabaikan unsur-unsur keindahan dan tidak melibatkan pohon yang esensinya bukan merupakan media tempel booklet kampanye, harusnya menjadi kebijakan internal partai dalam pertimbangan massive kelompoknya. Gaya kampanye ini bisa dimaklumi karena turut mencontoh para calon legislatif yang lebih dulu melakukan hal yang sama untuk melancarkan aksi dengan dalih kampanye murah. Apakah motif yang sama juga diadopsi oleh calon-calon wakil rakyat kampus? Entahlah, menurut penulis sejatinya pohon juga merupakan “masyarakat kampus” yang meski bersifat semu, namun peran biologisnya turut memberikan sumbangsih bagi perputaran kesehatan “rakyat kampus”. Rendahnya apresiasi KPU kampus dalam menangani kasus ini terkesan terjadi pembiaran, pun ketika selebaran-selebaran di pohon ini masih dilaksanakan di masa tenggang pasca debat kandidat calon dari kedua partai. Hal mungkin yang kemudian dipertanyakan adalah mengapa hal demikian menjadi sedemikian remeh dan tidak diindahkan bersama, apakah mahasiswa sudah menjadi semakin tidak peka membaca kode-kode politik sebagai dampak sangat minimnya pendidikan politik ataukah mahasiswa sudah sedemikian pesimis terhadap kualitas politisi kampus yang serupa dengan politisi rakyat? Entahlah, tetapi harapan penulis seharusnya unsur estetika dan perilaku manusia pada alam perlu menjadi poin pertimbangan untuk dimasukkan dalam kriteria calon pemimpin baik pemimpin kelas teri maupun kelas kakap sehingga tidak lagi banyak pohon yang menjadi korban keegoisan kepentingan kelompok untuk melanggengkan kepentingannya dalam mencapai kekuasaan tertentu.
Tidak ada calon yang berharap mereka kalah, ekspektasi kemenangan merupakan hal yang lumrah ditemui sehingga esensi mengabdi pun abu-abu. Filosofi kemenangan menjadi nilai mutlak sehingga tak heran tiap-tiap kelompok partai melakukan beragam cara untuk menarik simpati calon pemilih. Keterwakilan kursi-kursi elite kampus oleh orang yang tidak tepat dapat membawa citra kampus yang negatif kemudian menyebabkan tujuan politik tidak tercapai dan sebagai penonton perilaku politik kita telah mendapati contoh yang salah dan sedikit-banyaknya dapat mempengaruhi pertimbangan di masa depan dalam menggunakan hak suara. Terlepas dari perkiraan angka golput yang tinggi, penulis berharap bahwa semua pelaku politik dan rakyat kampus dan didukung sistem yang taat azaz pada regulasi yang semestinya, dapat menggiring proses pemilu kampus yang lebih bijak. Tidak sekedar memilih dan mendulang hasil kemenangan pemimpin yang nantinya tidak ketahui maunya. Akhir kalam, harapan dari rakyat jelata kampus ini hanyalah “jika tidak bisa menanam pohon, minimal kita tidak merusaknya”. Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H