Tahun 1966, terjadi perubahan cara pembangunan pertanian, dari usaha pembenahan kesemimbangan antara land, labor and capital langsung ke modernisasi dan intensifikasi guna meningkatkan produksi pangan. Periode tersebut disebut revolusi Hijau tanpa mengubah struktur agraria langsung melangkah ke modernisasi dan intensifikasi pertanian. Pada masa ini, tuan tanah menerapkan teknologi baru, mempunyai sawah dengan irigasi dan sukses jenis padi baru, mudah mendapat akses kredit dan mudah menyediakan keperluan lainnya terkait dengan program itu, terutama pupuk buatan dan insektisida. Revolusi hijau dilaksanakan senantiasa diiringi oleh efek diferensiasi serupa, namun dalam proses diferensiasi tahun 1970, telah ikut berperan berbagai faktor lain yang erat kaitannya dengan situasi waktu dan iklim politik negeri. Tahun 1975 pemerintah membagikan kredit kepada petani yang ingin menanam tebu di atas tanah sawah.
Tahun 1984/1985 Indonesia mencapai swasembada pangan, namun hanya petani kaya yang menerima keuntungan besar sedangkan petani kecil dan buruh tani terdesak keluar sektor pertanian dan terpaksa mencari nafkah di sektor informal di perkotaan. Sejak Agustus 1997, kurs rupiah anjlok 75%, pekerja pada bidang industri di kota terkena PHK, kembali ke desa tanpa uang, Tahun 1998 meletus kerusuhan yang berkaitan dengan situasi pangan, dilaksanakannya pemasyarakatan teknologi dibidang agrobisnis dan agraoindustri, namun teknologi pertanian tersebut menimbulkan ketegangan besar, kesempatan kerja di pedesaan menurun drastis, kesenjangan sosial antara petani kaya dan menengah di satu pihak dengan petani kecil dan buruh tani dipihak lan menjadi lebih lebar, banyak orang pergi ke pusat industri dan jasa di perkotaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H