Mohon tunggu...
Genwin Satria Nirbaya
Genwin Satria Nirbaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya merupakan warga sipil biasa yang kebetulan kuliah di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

warga sipil yang suka ngopi dan berdiskusi untuk mengisi waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Telaah General Budaya Gotong Royong Masyarakat Indonesia di Masa Kontemporer

15 Maret 2023   02:29 Diperbarui: 15 Maret 2023   02:31 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gotong-royong adalah suatu faham yang dinamis, yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya bersama, suatu perjuangan bantu-membantu (Kartodirjo, 1987).  Gotong-royong merupakan amal dari semua untuk kepentingan semua atau jerih payah dari semua untuk bersama. 

Dengan berkembangnya tata - tata kehidupan dan penghidupan menurut zaman, gotong-royong yang pada dasarnya adalah suatu azas tata-kehidupan dan penghidupan asli Indonesia dalam lingkungan masyarakat yang serba sederhana menjadi inspirasi Pancasila. Prinsip gotong royong melekat subtansi nilai-nilai ketuhanan, musyawarah dan mufakat, kekeluargaan, keadilan dan toleransi(peri kemanusiaan) yang merupakan basis pandangan hidup atau sebagai landasan filsafat Bangsa Indonesia.

Mencermati prinsip yang terkandung dalam gotong- royong jelas melekat aspek-aspek yang terkandung dalam modal sosial. Modal  sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial suatu negara. Negara-negara yang dikategorikan sebagai masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi (high trust societies) menurut Fukuyama yang termuat di dalam buku The Social Virtues and the Creation of Prosperity, cenderung memiliki tingkat keberhasilan ekonomi yang mengagumkan. Sebaliknya, masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (low trust societies) cenderung memiliki kemajuan dan perilaku ekonomi yang lebih lamban dan inferior (Fukuyama, 1995).

Jika di kontekstualisasikan dengan perkembangan masyarakat kontemporer di Indonesia saat ini, maka bisa dikatakan perkembangan modal sosial masyarakat Indonesia sedang mengalami proses hibridasi sosio-kultural (Faedlulloh, 2015). 

Kekacauan terjadi di dalam proses hibridasi sosio-kultural  ini mirip dengan konsep anomie yang digunakan oleh Durkheim yang termuat di dalam buku Dictionary of Sosiology (marshall, 2009 : 80) untuk menggambarkan kondisi relasi masyarakat atau individu dimana konsensus melemah, nilai-nilai dan tujuan(goal) bersama meluntur, kehilangan pegangan nilai-nilai norma dan kerangka moral, baik secara kolektif maupun individu.

Dalam beberapa dekade belakangan ini perlahan tetapi pasti sebagian besar tatanan kehidupan ekonomi, sosial-budaya dan politik dirasuki gaya hidup konsumerisme(komsumsi yang mengada-ada) dan kebebasan hampir tanpa kendali (Radiansyah, 2019). Fenomena itu juga ditandai dengan meningkatnya hasrat menghamba pada kekuasaan dan materi. 

Gotong royong tampaknya hanya berfungsi sebagai simbol belaka, sering didiskusikan tetapi kurang dipraktekkan dalam relasi sosial kehidupan masyarakat. Untuk menyesuaikan dengan perubahan sesuai arahan nilai-nilai baru maka diperlukan konstitusi dan norma-norma baru. Banyak perubahan yang dilakukan dengan penuh kesadaran tetapi cukup banyak perubahan yang dilakukan diluar kesadaran (Umanailo, 2018).

Karena ada desakan kepentingan politik ekonomi dari pihak-pihak tertentu(agen-agen) lewat berbagai macam institusi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sistem politik telah berubah ke arah sistem demokrasi liberal (Suleman, 2010). Setiap jenjang aparat eksekutif pemerintah, bupati, gubenur dan presiden serta anggota legistatif dipilih dengan sistem demokrasi liberal(one head one vote). Memang dengan sistem itu kedaulatan rakyat dapat dipenuhi dan dijalankan dengan baik karena dipandang sesuai tuntutan hak asasi manusia (Harefa, 2020). Namun, karena masyarakat belum siap untuk menjalankan sistem itu maka dalam pelaksanaan banyak terjadi anomali yang cukup menganggu relasi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Adaptasi terhadap perubahan sistem politik itu telah menimbulkan berbagai macam implikasi bagi relasi sosial masyarakat, baik di aras nasional maupun lokal (Nugraha, 2020). Proses politik kenegaraan di tingkat nasional dan lokal diwarnai dengan hasut-hasut menghasut, politik uang, saling menjatuhkan, fitnah melalui selebaran gelap. 

Eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh karena demi “demokrasi”, legislatif senantiasa melakukan kontrol terhadap hal-hal yang sebenarnya bukan jadi wewenangnya. Elit politik di legislatif dengan dalih menjalankan prinsip demokrasi di berbagai kesempatan menunjukkan kekuasaannya tanpa mengindahkan kepentingan bersama untuk kemajuan bangsa. Suara rakyat sebagai konstituen yang memilih mereka kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan (Prasisko, 2019).

Hasrat memenuhi tuntutan materi(uang) telah mengesampingkan nilai-nilai moral (etika) yang terkandung dalam gotong royong(Harefa, 2020).  Tanpa disadari pembusukan moral(korupsi, teror, intimidasi, prasangka dsb) merebak dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial maupun politik. Nilai-nilai sosial dan moral dalam kehidupan sosial-politik telah melonggar kalau tidak boleh dikatakan hancur berantakan karena dorongan hasrat mengejar rente ekonomi(keuntungan ekonomi) sesaat (Supriyadi, 2020). Keadaan inilah yang menimbulkan kekecauan sosial karena perubahan seakan tanpa arah.

Tidak hanya itu kehidupan sosialpun mulai bersifat individualis disertai dengan merebaknya gejala aleniasi dan kekerasan, baik verbal maupun simbolik. sehingga kehidupan terasa hampa tanpa makna mulai menjadi hal yang biasa dalam masyarakat Indonesia (Bourchier, 2022). Jauh sebelum memasuki era kemerdekaan “lebih tepatnya masa pra-konolialisme”, sebenarnya masyarakat Indonesia telah memiliki sebuah sistem sosial masyarakat yang memiliki integritas  kuat antar setiap individu, yang memiliki dan mempresentasikan kepada nilai-nilai non-materialis yang lebih mengarah pada moralitas (Saddam, 2020).

Akan tetapi dengan perkembangannya nampak masyarakat Indonesia masih memiliki kesulitan dalam melakukan adaptasi dan akulturasi yang sesuai dengan idealisme bangsa yang sudah berabad-abad berlaku, sehingga terjadilah berbagai krisis di segala bidang sosial kehidupan (Budiarto, 2020). Dalam situasi seperti itu interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat diwarnai dengan tingkah yang mengarah pada demoralisasi dan dehumanisasi. Agar tidak terpuruk ke dalam jurang kehancuran atau disintegrasi sosial kolektif(gotong royong) maka kita perlu menumbuhkan kembali kesadaran kolektif dengan kembali pada nilai-nilai modal sosial yang terkandung dalam budaya gotong royong.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, G. (2020). Indonesia dalam pusaran globalisasi dan pengaruhnya terhadap krisis moral dan karakter. Jurnal Pamator: Jurnal Ilmiah Universitas Trunojoyo, 13(1), 50-56.

Bourchier, D., & Jusuf, W. (2022). Liberalism in Indonesia: Between Authoritarian Statism and Islamism. Asian Studies Review, 1-19.

Faedlulloh, D. (2015). Homo cooperativus: Redefinisi makna manusia indonesia. Proceeding Masa Depan Manusia Indonesia: Prospek dan Pemberdayaan.

Fukuyama, F. (1995). Trust: the social virtues and the creation of prosperity London. Hamish Hamilton.

Harefa, D., & Fatolosa Hulu, M. M. (2020). Demokrasi Pancasila di era kemajemukan. PM Publisher.

Kartodirjo, S. (1987). Gotong royong: Saling menolong dalam pembangunan masyarakat Indonesia. dalam Nat J Colletta dan Umar Kayam, Edt. Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, 254-271.

Khitam, H. (2022). Islam And Capitalism: The Dynamics Of Religion And Contemporary Indonesian Work Orientation. Al-A'raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, 19(1), 53-74.

Nugraha, S. (2020). Partisipasi Masyarakat Bagi Pemerintah Daerah Dalam Sistem Demokrasi Di Indonesia. MORALITY: Jurnal Ilmu Hukum, 6(1), 15-28.

Prasisko, Y. G. (2019). Demokrasi Indonesia dalam Masyarakat Multikultural. Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, 3(1), 1-12.

Radiansyah, R. R. (2019). Konsumerisme Hingga Hiper-Realitas Politik Di Ruang Publik Baru Era Cyberspace (Antara Kemunduran Atau Kemajuan Bagi Pembangunan Negara Indonesia Yang Demokratis). JISIPOL| Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 3(2), 30-47.

Saddam, S., Mubin, I., & SW, D. E. M. (2020). Perbandingan Sistem Sosial Budaya Indonesia Dari Masyarakat Majemuk Ke Masyarakat Multikultural. Historis: Jurnal Kajian, Penelitian Dan Pengembangan Pendidikan Sejarah, 5(2), 136-145.

Scott, J., & Marshall, G. (Eds.). (2009). A dictionary of sociology. Oxford University Press, USA.

Suleman, Z. (2010). Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta. Penerbit Buku Kompas.

Supriyadi, S. (2020). Praktik demokrasi dan kapitalisme di Indonesia dewasa ini. Jurnal Citizenship: Media Publikasi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan.

Umanailo, M. C. B., Nawawi, M., & Pulhehe, S. (2018). Konsumsi Menuju Konstruksi Masyarakat Konsumtif. Simulacra, 1(2), 203-212.

Waluya, B. (2007). Sosiologi: Menyelami fenomena sosial di masyarakat. PT Grafindo Media Pratama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun