Mohon tunggu...
Venny Tjiang
Venny Tjiang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an invisible treasure

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

In My Eyes - Chapter 4

5 Juni 2012   13:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338528026318332114

Enjoy :) Chapter 4 Recap: Tiba-tiba semua terjadi begitu cepat. Dari arah berlawanan, sebuah mobil yang kehilangan kendali berbelok ke hadapanku. Aku tidak sempat memikirkan apa-apa ketika kudengar teriakan Lana yang memekikkan telinga. Benturan keras yang kurasakan di sekujur tubuhku, lebih menyakitkan daripada apapun yang pernah kurasakan seumur hidupku. Suara pecahan kaca, gesekan dan benturan besi terdengar sangat kencang. Kurasakan tubuhku terputar-putar mengikuti putaran mobilku hingga mobilku berhenti terguling. Teriakan kesakitan Lana memenuhi pikiranku. Aku sendiri kini tidak lagi merasakan sakit. Aku bisa mencium bau darah bercampur bensin. Kakiku terjepit sesuatu yang besar sementara tanganku berusaha menggapai sesuatu, mencoba mencari apapun untuk berpegang. Sekilas kurasakan wajahku dipenuhi dengan cairan yang kuduga darah. Lalu semuanya menjadi kabur dan gelap. Aku tertidur dalam kegelapan yang menyakitkan. Saat itu aku hanya berharap aku akan terbangun lagi di kamarku seperti yang lalu. ……………………………………………………………………………………………………….. Sayup-sayup kudengar bunyi sirene sementara tubuhku sedikit bergerak ke kanan dan kiri. Mungkin aku sedang berada di dalam ambulans, pikirku. Aku mencoba membuka mataku namun tak bisa. Aku tidak merasakan apapun pada tubuhku. Bukankah seharusnya aku mengalami kesakitan? Tapi yang kini kurasakan hanya kegelapan dan kedinginan yang amat sangat, membuat tubuhku bergetar tak karuan. Aku mendengar seseorang disampingku memberi perintah. Aku tidak dapat menangkap kata-katanya. Kemudian kantuk yang luar biasa menderaku, mataku semakin berat dan terasa berair. Dan aku sekali lagi jatuh dalam kegelapan yang lebih dalam. … Entah berapa lama aku tertidur, tapi ketika aku bangun yang kurasakan pertama kali adalah kesakitan yang luar biasa pada kepala, paha kanan, dan kedua mataku. Aku menjerit pelan menahan sakit. Kurasakan perban mengelilingi kepala dan mataku. Aku tidak berani membuka mataku karena takut perih yang kurasakan makin menjadi. Kaki kananku terasa sangat berat seakan sedang tertindih batu dari atas. Dimana aku? “Ella,” “Kak Rey?” aku menoleh ke arah datangnya suara kak Rey, “Apa yang terjadi? Dimana aku?” Kak Rey memegang tanganku yang menggapai ke arahnya, “Kamu di rumah sakit.” “Rumah sakit?” tanyaku sembari mengingat apa yang terjadi. “Kamu mengalami kecelakaan mobil 5 hari yang lalu,” jawab kak Rey mengingatkanku. “5 hari yang lalu?” tanyaku terperangah, “aku pingsan selama 5 hari?” “Iya.” Aku mendengar ada nada kesedihan dari jawabannya. “Kak, katakan yang sebenarnya. Apa yang terjadi padaku? Kenapa mataku diperban dan kakiku terasa sangat berat?” aku menuntut penjelasan. Aku menunggu jawaban kakak, kenapa perlu waktu lama baginya untuk menjawabku? “Kecelakaan itu membuat tulang paha kaki kananmu patah,” belum sempat aku menyanggahnya kak Rey melanjutkan, “tapi kamu sudah dioperasi tiga hari yang lalu untuk dipasangkan pen.” Aku hanya diam, mencerna semua perkataannya. Itu artinya aku mungkin baru bisa berjalan normal kembali berbulan-bulan kemudian. “Lalu bagaimana dengan ini?” tanyaku sambil menunjuk perban di mataku. “Itu…kita harus menunggu penjelasan dari dokter,” jawabnya singkat. Aku tahu pasti ada yang tidak beres karena itulah mataku terasa perih dan harus diperban. Ingatanku melayang kembali pada kecelakaan itu dan tidak sadar aku meringis. Cepat-cepat kubuyarkan ingatanku. “Kak” “Hmm?” “Dimana Lana? Dia tidak apa-apa kan?” “Dia…masih tidak sadarkan diri. Luka di kepalanya cukup parah.” Aku menahan nafasku. Rasa khawatir langung menghampiriku, “Dia akan baik-baik saja kan?” “Kita berdoa saja untuknya. Keluarganya tidak pernah meninggalkannya sendirian di rumah sakit.” Kak Rey berusaha menenangkanku. “Aku ingin melihatnya,” gumamku pelan. “Tunggu hingga perbanmu dibuka dan kamu juga perlu melakukan fisioterapi dulu, supaya kamu bisa berjalan dengan tongkat.” Aku menghela nafasku. Rasanya aku ingin sekali cepat melihat dan berjalan lagi. Aku ingin memastikan Lana baik-baik saja. Tiba-tiba suara pintu terdengar membuka disertai suara seseorang berjalan masuk ke ruangan. “Daniella, kamu sudah sadar sayang?” aku merasakan tangan mama mendekapku. Air mataku hampir menetes, tapi terhenti karena perih di mataku semakin menjadi membuatku mendesis. Refleks aku mengulurkan tanganku berusaha melepaskan perban dari mataku. Tangan mama langsung menghentikanku, “Jangan sayang.” “Mataku sakit, ma” rengekku. “Aku akan panggil dokter Hadi,” kudengar Kak Rey beranjak keluar kamar. Tidak berapa lama kemudian kudengar beberapa langkah kaki mendekatiku. “Halo Daniella, bagaimana kabarmu?” Tanya seorang pria yang kuasumsikan adalah dokter Hadi. “Buruk?” jawabku lebih seperti pertanyaan, “ Mataku perih, dok.” Kudengar suaranya berdeham pelan. “Begini, saya harap kamu tidak khawatir karena semua hal ini bisa kita tangani,” lanjut dokter Hadi, “Kornea matamu terkena goresan kaca mobil yang pecah. Akibatnya adalah kedua kornea matamu menjadi rusak dan….untuk sementara kamu tidak akan bisa melihat.” Tanpa sadar aku memekik tertahan, panik langsung menyelubungiku, “Aku buta?” “Hanya untuk sementara saja, sampai kamu mendapatkan donor kornea. Saya sudah menghubungi bank mata, namun saat ini sedang terjadi kelangkaan pendonor. Mungin kamu harus menunggu beberapa saat karena kita harus mengimport dari luar.” “Berapa lama, dok?” “Saya tidak bisa memastikan. Tapi seharusnya tidak akan makan waktu terlalu lama. Kita berdoa saja agar segera ada pendonor. Sekarang kamu istirahat dulu, saya akan memeriksamu sebentar. Nanti sore kamu akan mulai menjalani sesi terapi” Sementara aku merasakan ada tangan-tangan yang sedang memeriksa denyut nadiku, berbagai pikiran berkecamuk di benakku. Bagaimana aku harus menjalani hidupku di dalam kegelapan? Aku tidak akan bisa melukis untuk sementara waktu. Kata ‘sementara’ itu saja sepertinya akan memakan waktu lama. Aku mendesah pelan. Kenapa semua ini terjadi padaku? Apa yang telah kulakukan sampai Tuhan menjadi marah padaku? Dalam waktu satu bulan ini sudah berbagai kejadian buruk menimpaku. Ini tidak adil! Sore itu aku dibawa dengan kursi roda menuju ke ruang fisioterapi. Aku akan belajar berjalan memakai tongkat, ah ini memalukan sekali, buta dan pincang! Lebih parah lagi, aku jadi tidak bisa menemani mama ke persidangan perceraiannya. Untung kak Rey sedang cuti kuliah, sehingga ia yang menemani mama. Aku sebenarnya juga ingin mensupport mama saat ini, karena pasti akan ada banyak air mata di sana. Tapi apa dayaku? Kurasakan tangan dokter Marina memegang bahuku, “Daniella, kita sudah sampai. Hari ini tidak terlalu banyak pasien yang menggunakan ruangan fisioterapi ini, jadi kamu tidak usah takut akan menabrak seseorang,” katanya lembut, “Mari saya bantu berdiri.” Tanganku menggapai tangan dokter Marina dan mencoba untuk berdiri. Baru lima detik berdiri dengan menumpu di kaki kiri, kurasakan seluruh aliran darah di tubuhku mengalir naik sampai ke puncak kepalaku. Seketika itu juga pusing melandaku dan aku terjatuh kembali ke kursi roda. “Tidak apa-apa, kita akan mencoba sekali lagi dengan perlahan. Pusing yang kamu rasakan akan hilang setelah beberapa saat,” kudengar dokter Marina menjelaskan. Ia sepertinya tahu apa yang kurasakan, bagaimanapun juga ia adalah salah satu dokter bagian fisioterapi di rumah sakit ini. Ia pasti sudah berpengalaman. Aku mencoba kembali berdiri, kali ini dengan sangat perlahan. Perasaan pusing tadi menghampiriku lagi, tapi coba kutahan. Setelah beberapa menit, pusing itu hilang namun kaki kananku terasa sangat berat. Sebagian badanku bertumpu pada dokter Marina berusaha agar tidak terjatuh kembali. “Ini tongkatmu.” Dokter Marina menyempilkan dua tongkat di bawah ketiakku. Ia mengajarkanku bagaimana menggunakan tongkat itu perlahan. Seharusnya aku bisa belajar lebih cepat bila mataku ini bisa melihat. Dokter Marina terpaksa harus menjelaskan satu-persatu tekniknya hingga aku mengerti. “Benar begitu!” puji dokter Marina, “Jangan bertumpu pada ketiakmu, nanti kamu bisa jatuh dan ketiakmu akan sakit. Kamu harus bertumpu pada kedua tanganmu” Aku tersenyum mendengarnya sambil mencoba mengatur posisi tongkat di tanganku. “Iya, angkat perlahan kaki kananmu. Oh tidak usah terlalu tinggi, kakimu pasti masih sangat berat. Nah, itu sudah cukup, coba kamu bergerak maju kedepan. Gerakkan tongkatmu bersamaan. Bagus sekali!” Baru beberapa langkah berjalan, atau lebih tepatnya melompat, keringatku yang sebesar jagung sudah mengucur deras. Kaki kiri dan kedua tanganku pegal sementara kaki kananku mulai terasa sakit. “Kita istirahat sebentar. Setelah 10 menit, kita akan mulai latihan lagi,” Dokter Marina mungkin sadar aku sudah sangat kelelahan dan aku berterima kasih padanya. … Zach’s POV Aku sudah melihatnya sejak ia pertama kali masuk ke ruangan ini. Mataku tidak sekalipun melepaskan pandangan dari gadis itu. Dia memang masih muda, tapi dari raut wajahnya, terlihat seakan ia sudah mengalami apa yang bahkan orang dewasa pun mungkin belum pernah alami. Postur tubuhnya tinggi dan langsing. Meskipun dalam balutan gaun rumah sakit yang lebar, aku tetap bisa melihat lekuk tubuhnya yang indah. Rambut panjangnya yang hitam kecoklatan tergerai lembut melewati bahu. Meskipun dililit perban di sekitar matanya, aku bisa melihat wajah cantiknya. Bibirnya terbentuk sempurna. Sangat seksi. Hidungnya mancung, tidak seperti orang Indonesia kebanyakan. Dan warna kulitnya, meskipun tidak putih pucat namun aku yakin ia berdarah campuran. Aku bahkan sempat mengira ia seorang model top, ketika aku melihatnya pertama kali tadi. Tapi bukan karena paras cantiknya ataupun posturnya yang menggoda yang membuatku tak berhenti menatapnya. Entah apa itu, tapi aku merasakan sebuah tarikan yang membuatku ingin sekali melompat ke arahnya. Ada sesuatu darinya yang membuatku ingin sekali mendekatinya. Mungkin kharisma atau aura atau entah apapun itu, tapi aku tidak bisa menolaknya sama sekali. Ah…ini bodoh sekali. Kenapa aku jadi gugup seperti ini hanya karena melihat seorang gadis remaja, gerutuku. Tapi tetap saja aku terus mengikuti gerak-geriknya. Apa yang terjadi padanya? Apakah ia buta? Apa yang terjadi pada kakinya? Dengan penasaran aku mengikuti sesi terapi berjalannya. Kulihat ia berusaha menyembunyikan kesakitan dan kelelahannya tapi gagal. Dokter di sebelahnya dan juga aku, bisa melihat ia sudah kepayahan meski hanya beberapa langkah. Aku sangat lega  ketika melihatnya diperbolehkan istirahat. Kuberanikan diriku mendekatinya ketika kulihat dokter itu pergi meninggalkannya. Jantungku berdegup semakin kencang, kuambil kursi didekatku dan duduk disampingnya. Aku memperhatikan bagaimana reaksi terkejutnya ketika merasakan ada seseorang yang tiba-tiba muncul didekatnya. Ia menolehkan kepalanya sedikit kearahku namun tidak berkata apa-apa. “Hai!” sapaku ramah. Dia hanya diam. Wah, gadis ini mungkin pemalu. “Aku Zach,” aku memegang tangannya dan menggerakkannya sedikit, seperti sedang berjabat tangan. Gadis itu terlihat kaget dan langsung menarik tangannya dengan kasar. “Sori,” aku menawarkan senyumku tapi kemudian sadar ia tidak bisa melihatnya. “Aku juga pasien disini. Sudah beberapa hari. Dan asal kau tahu saja, disini sangat membosankan!” Kulihat ia tersenyum. Ah senyumnya seperti mencerahkan hariku. Oke, itu terlalu gombal dan lebay. “Siapa namamu?” tanyaku menyelidik. Kulihat ia ragu sedetik lalu namanya meluncur keluar dari bibir indahnya yang tersenyum. “Daniella Atmodjo”, jawabnya. Kutebak ayahnya pasti pribumi asli, dilihat dari nama keluarganya yang sangat Indonesia. Darah campurannya pasti dari ibunya. “Senang berkenalan denganmu, Nila” “Aku bukan ikan!” seyumnya memudar terganti dengan cemberutnya yang membuatnya terlihat menggemaskan. “Semua orang memanggilku Ella, bukan ‘ikan Nila’. “ Aku tak tahan untuk tidak tertawa. “Maafkan aku, tapi bibirmu barusan malah membuatmu seperti seekor ikan.” Mulutnya langsung menganga, kaget. “Aku tidak mau bicara padamu, orang asing!” tangannya terlipat di dadanya dan ia menoleh kearah sebaliknya. Wow, she’s a little spit fire! “Namaku Zach,” aku mengingatkannya. “Dan aku bukan ikan!” ketusnya. “Okay, okay. Maaf, aku nggak bermaksud mengejekmu. Aku hanya bosan berada di rumah sakit ini berhari-hari dan aku hanya ingin berteman denganmu. Jadi…kita teman sekarang?” Ia terlihat berpikir sebentar lalu mengangguk. Aku tersenyum melihatnya. Ia sedekat ini dan terlihat makin mempesona. “Jadi apa yang membuatmu di sini?” tanyaku sambil bersandar di kursiku. Aku melihatnya mendesah pelan, seakan berusaha melepaskan semua masalahnya. “Kecelakaan,” jawabnya singkat. Aku mengangguk paham. Bisa kutebak dengan melihat sedikit luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya, terlebih dengan kaki dan matanya. “Kakiku patah dan kornea mataku terluka. Untuk sementara aku tidak akan bisa berjalan normal dan melihat,” lanjutnya. Hatiku terasa perih saat mendengarnya. Ya ampun, aku baru sebentar bertemu dengannya tapi dia sudah bisa mempengaruhi emosiku. “Kamu pasti akan segera sembuh,” tidak tahu kata-kata lain apa yang harus kukatakan untuk menghiburnya. Kulihat dia tersenyum tipis, “aku perlu menunggu kornea mata import dan…” tangannya mulai memijit-mijit kaki kanannya, “harus melatih langkahku. Kurasa butuh beberapa bulan untuk bisa sembuh total.” Dia gadis yang kuat. Dia berusaha menyembunyikan kepedihan di suaranya, tapi itu malah membuatku ingin memeluknya, membiarkannya menangis di pelukanku. Arghh….kutepis pikiran itu jauh-jauh. Dia pasti tidak akan suka dipeluk orang yang baru dikenalnya. Dari sudut mataku, kulihat dokter yang menemani Nila tadi muncul dari sebuah ruangan lain, mendekati kami. Dengan gusar aku berdiri dari kursiku dan menatap Nila sekali lagi. “Kurasa sebentar lagi kamu akan sedikit sibuk. Baiklah, sampai jumpa lagi, Nila.” Aku memegang bahunya sekilas. Kulihat dahinya mengkerut mendengarku memanggil namanya. Aku melangkahkan kakiku kembali ke mejaku, berkutat kembali dengan puzzle yang sedang kukerjakan tadi sebelum Nila masuk ke ruangan ini. Uh, aku benci puzzle ini. Entah apa gunanya sampai dokter Wahid menyuruhku mengerjakan mainan anak kecil ini. Otakku toh tidak berubah makin tajam…atau pintar. Sembari melanjutkan puzzleku, sesekali aku melirik Nila yang kini sedang belajar menaiki tangga buatan. To be continued...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun