Mohon tunggu...
Tori Minamiyama
Tori Minamiyama Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dari Negeri Sakura berusaha menghapus segala unsur kesedihan, bahaya dan kotor demi kehidupan yang lebih berarti. Suka bepergian kemana suka demi semburan nafas yang dahsyat dan sebuah semangat kehidupan...Menulis dan membagi pengalaman untuk bangsa!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menjadi Penerjemah di Kamar Bedah

6 Oktober 2012   23:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:09 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pertama kali melakukan tanggung jawab pekerjaanku menjadi seorang penerjemah Bahasa Jepang untuk para trainee atau pemagang dari Indonesia di Jepang sangat menyenangkan dan terasa enak dan nyaman. Aku hanya bermodal suara dan jika kuanggap perlu hanya membawa sebuah pulpen dan selembar kertas untuk mencatat hal-hal penting yang perlu disampaikan kepada peserta magang tersebut. Memang, dalam hal tertentu perlu juga mengolah data-data dengan komputer dan mencetaknya setelah penerjemahan selesai. Hal yang sangat menyenangkan yaitu apabila melihat peserta magang, terutama yang masih baru masuk dan bekerja di perusahaan Jepang merasa jelas dan tertolong dalam memahami penjelasan-penjelasan dalam Bahasa Jepang berkat usahaku bekerja menerjemahkannya kepada mereka. Perlu diketahui bahwa kebanyakan peserta magang yang datang di Jepang belum tentu langsung bisa berkomunikasi dan memahami Bahasa Jepang dengan baik, terutama bila menyangkut hal-hal yang sangat penting walaupun mereka sudah belajar Bahasa Jepang di Tanah Air sebelumnya. Selain itu, sangat bangga juga bila pihak perusahaan dan juga para pemimpinnya merasa yakin dan lega karena apa-apa yang disampaikannya bisa dipahami langsung saat itu juga oleh peserta magang di perusahaannya. Tetapi, ada hal-hal yang menyangkut pekerjaan tersebut yang tidak aku duga sebelumnya. Ternyata pekerjaan menjadi penerjemah tidak selalu seperti yang aku alami seperti tersebut di atas. Pada suatu ketika, aku harus  menjadi penerjemah di kamar bedah ! Sampai saat ini, kadang-kadang pekerjaan seperti itu masih aku lakukan, karena selain berusaha konsisten melakukan tanggangjawabku di dalam bekerja di perusahaan juga diselimuti oleh rasa kemanusiaan yang tinggi yang harus dilakukan demi sesama Warga Negara Indonesia yang tinggal dan bekerja di Jepang. Alasanku melakukan pekerjaan menjadi penerjemah di kamar bedah yaitu karena kadang-kadang di antara pekerja magang dari Indonesia mengalami kecelakaan kerja atau kecelakaan lalu-lintas selama mereka tinggal di Jepang dan perlu melakukan operasi luka-luka di Rumah Sakit di Jepang. Mungkin bila jenis luka dan proses operasinya ringan, jasa penerjemahan tidak terlalu dibutuhkan. Dan mungkin juga, bila Rumah Sakit yang bersedia mengoperasi pasien tidak terlalu memikirkan hak-hak pasien juga pastinya tidak akan memakai jasa penerjemah seperti aku. Sebenarnya, sejak lahir sampai saat ini aku paling takut melihat darah menetes bercucuran dan juga daging manusia diiris dan atau dibedah. "Inilah tantangan yang harus kuhadapi", pikirku saat itu. Lebih mengerikan lagi jika aku melihat alat-alat operasi bedah dicampur dengan bau obat-obatan yang bermacam-macam. Aku selalu membayangkan kejadian-kejadian yang tejadi di Rumah Sakit di kota asalku dan kota-kota lain di Indonesia walau belum pernah masuk dan dioperasi di kamar bedah satu kalipun. Kira-kira tiga tahun yang lalu, saat seorang pekerja magang dari Indonesia mengalami kecelakaan kerja yang harus dioperasi tangannya, dokter yang akan mengoperasinya menghubungi perusahaan pemagang tersebut dan harus disediakan seorang penerjemah. Singkatnyaaku pun kemudian tampil menjadi seorang penerjemah untuk proses operasi yang katanya akan memerlukan waktu sekitar 6 jam, tetapi aku hanya diharapkan berada di ruang operasi selama sekitar 3 jam lamanya. "Tsuyaku yoroshiku onegaishimasu (Mohon bantuannya untuk menerjemahkannya) ", kata dokter tersebut kepadaku saat bertemu di Rumah Sakit "Yorotsu Byouin" yang ada di Kota Tenri Propinsi Nara. Akupun sesaat setelah itu juga memberi jawaban kepada beliau, "Kochira koso Yoroshiku Onegai shimasu (Saya juga mohon bantuannya anda)". Keesokan harinya aku diharuskan datang pagi-pagi ke "byouto" atau komplek kamar pasien  untuk melakukan persiapan operasi tersebut. "Ohh, ternyata tidak langsung masuk kamar bedah selama tiga jam ya," pikirku dalam hati. Sambil memikirkan mencari waktu untuk bisa datang dihari persiapan itu, aku sempat berpikir lagi, "Wahh, jadinya kalau begitu aku harus menyediakan waktu berjam-jam lebih dari tiga jam itu di Rumah Sakit". Sekali lagi, dibayangi dengan rasa dan alasan kemanusiaan saja, aku datang di hari yang di janjikan yaitu satu hari menjelang hari operasi bedah yang akan dilakukan. Di hari itu, aku stand by di kamar pasien dari pagi sampai sore hari untuk menerima "tamu" yang datang keluar masuk kamar pasien yang menjadi "tanggungjawab" ku itu. Tamu-tamu yang aku maksudkan di sini yaitu utamanya adalah seorang laki-laki dokter bedah utama, yang menerangkan kepada pasien tentang kenapa tangannya harus dilakukan operasi, bagaimana caranya, makan waktu berapa lama dan detil-detil yang  berhubungan dengan operasi esok harinya. Setelah itu, lembaran-lembaran dokumen resmi pelaksanaan operasi ditunjukkan kepada pasien dan sekaligus menyuruhnya untuk menandatanganinya dengan saksi diriku sebagai wakil pihak keluarga dan sekaligus penerjemahnya. "Ohh, hal yang tidak aku duga sebelumnya sewaktu aku menjawab bersedia untuk menjadi penerjemah operasi", pikirku setelah sesaat dokter yang selalu memakai pakaian operasi warna hijau lengkap dengan maskernya keluar ruang pasien. Menjelang siang, datang juga seorang perawat perempuan yang sebelum masuk ruangan memastikan melihat nama pasien yang tertulis di sebelah kiri atas pintu. "Shitsurei shimasu (Permisi)", katanya sambil memastikan kebenaran nama pasien yang ada di sebalahku. Dengan sopannya layaknya orang Jepang umumnya, dia masuk dan menghormat menundukkan badan sambil memperkenalkan diri. Bersamaan dengan perkenalannya dia menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang perawat yang akan membantu dokter sepanjang proses operasi esok hari. Dikenalinya wajah pasiennya yang seorang laki-laki muda Indonesia dan mengamati bagian badan yang terluka sambil mencatat keadaannya di buku yang dia bawa. Disapanya diriku juga dan memohon dengan sopan bantuan nantinya untuk menjadi pernerjemahnya dalam berbicara, menyuruh dan bertanya kepada pasien.  Setelah selesai, dia mohon pamit dan seperti diawal atau sebelumnya, dia menundukkan badan lagi. "Ternyata perawat untuk operasi nanti ditangani oleh perawat yang baru dan khusus ya", aku berbicara kepada pasien disebelahku. Ternyata, sore hari kami kedatangan seorang "tamu" lagi yaitu seorang dokter bius yang akan bertanggungjawab menangani pembiusan saat proses operasi berlangsung nanti. Beliau menjelaskan kepada pasien dengan bantuanku menerjemahkannya setiap kata dan kalimat, bahwa karena pembiusan tidak akan langsung dilakukan seluruh badan pada tahap operasi awal, tetapi hanya bagian tangan yang luka saja, maka pastinya akan banyak menyuruh untuk melakukan hal ini dan itu nantinya. Untuk itu, sebelumnya dia minta maaf kepada pasien dan akan berusaha bekerja sebaik-baiknya bersama seorang penerjemah. Selain itu, salah satu pesannya yaitu supaya pasien tidak melakukan makan dan minum apapun setelah jam 9 malam di hari itu. Seperti dokter utama tadi, dia juga menyodorkan dokumen bukti kesepakatan untuk ditandatangani. Akhirnya, hari pelaksanaan operasi di kamar bedah tiba. Aku datang sebelum jam 5 sore dimana waktu operasi dimulai. Beberapa perawat dari ruang opname mengurus dan menyiapkan keberangkatan pasien menuju ruang operasi. Aku bersama dua orang perawat mendampingi dan mengantar pasien yang tidur diatas tempat tidur beroda menuju ruang operasi di lantai tujuh bangunan Rumah Sakit megah itu. Hatiku sedikit tidak tenang karena akan segera memasuki ruang bedah dan mulai bekerja menerjemahkan demi lancarnya proses operasi yang akan dilakukan. Walau hati agak bimbang karena sebelumnya belum pernah masuk ruang operasi, tapi aku berusaha menenangkan pasien yang agak ketakutan menjalani operasi hari itu. Di sepanjang lorong dan lift Rumah Sakit, kegiatan penerjemahan sudah mulai berlangsung karena dua orang perawat yang mengantar ke lantai ruang operasi selalu memberi pesan-pesan tertentu mengenai pelaksanaan operasi kepada pasien. Kami tiba di lantai tujuh dimana ruang operasi berada. Begitu pintu lift terbuka, aku langsung bisa membaca petunjuk yang tertulis di tembok tepat di depan lift. Petunjuk itu tertulis nomor-nomor ruang operasi sampai berpuluh-puluh ruangan banyaknya sesuai jenis penyakit yang perlu dioperasi. "Wow…banyak sekali ruang operasinya !", pikirku sambil membantu mendorong tempat tidur pasien berbelok ke arah pintu ruang operasi. Sesaat setelah itu, salah seorang dari perawat mengangkat gagang gelepon yang ada disebelah pintu ruang operasi yang masih tertutup dan berbicara dengan petugas yang ada di ruangan dalam, "Moshi-moshi, Indonesia no Ade to iu kanja-san ga kimashita. Onegai shimasu (Halo, pasien yang bernama Ade dari Indonesia sudah datang. Mohon pertolongannya)". Kemudian sesaat setelah gagang telepon diletakkan kembali pada tempatnya, pintu besar itu terbuka lebar-lebar dan muncul seorang perawat yang hari sebelumnya datang ke kamar pasien untuk memperkenalkan diri. "Yoroshiku onegai shimasu (Mohon bantuannya)", kata salah seorang perawat yang bersamaku. "Arigatoo gozaimasu (Terimakasih)", jawab perawat khusus operasi itu. "Kyou no tsuyaku mo onegai shimasu (Mohon bantuannya untuk penerjemahan hari ini)", tambahnya sambil memohon menundukkan badan padaku. Selanjutnya aku berpisah dengan dua orang perawat itu yang sebelumnya juga berkata, "yoroshiku onegai shimasu" kepadaku. Kini saatnya aku memasuki ruangan luas yang terdiri dari kamar-kamar bedah. Pasien yang tidur di tempat tidur beroda didorong oleh perawatnya, sedangkan aku berjalan mengikutinya sambil tak sengaja bisa melihat berbagai ruangan operasi sedang ada aktifitas bedah membedah. Saat itu yang aku rasakan pertama kali yaitu ruangannya dingin ! "Koko de kigaemashoo ka (Kita ganti pakaian di sini !)", kata perawat itu. Akupun dipakaikan berbagai perlengkapan pakaian operasi oleh pegawai yang lain di ruangan itu. Pertama kerudung penutup rambut dikenakannya di kepalaku, masker dikenakan di mulutku, pakaian seragam khusus operasi warna hijau di badanku, penutup kaki layaknya kaos kaki di kakiku. Tidak cukup itu, seluruh badanku disemprot untuk menghilangkan kotoran dan kuman atau menjadikan seteril. "Hairimashoo ka !", kata perawat khusus itu padaku. "Hai (OK)", jawabku sambil mengikutinya menuju kamar bedah. Tak lama aku sudah sampai pintu masuk kamar bedah. Di ruangan itu sudah menunggu dokter utama, dokter bius dan beberapa orang perawat yang lain. "Jaa, tsuyaku onegai shimasu (Selanjutnya, mohon penerjemahannya)", kata dokter utama dan diikuti pe rmohonansemua orang yang ada di ruangan itu. Akupun tak sempat banyak menjawab mereka karena selain merasa sedikit tegang karena mulai bisa melihat keadaan ruang bedah yang sesungguhnya, para tim dokter bedah yang sangat serius dan juga semua badanku tertutup rapat termasuk mulut yang seharusnya aku gunakan berbicara. Singkat kata, keadaan sudah sangat serius ! Ditempatkannya pasien Indonesia itu di tempat tidur operasi. Dalam tahap ini aku sudah harus memulai pekerjaan penerjemahan. Menyuruhnya mengangkat  badan dan berpindah ke tempat tidur operasi dengan Bahasa Indonesia. Dokter dan perawat berbicara hal-hal yang berkenaan dengan proses operasi satu persatu. Mulai dari lampu operasi bulat yang ada diatas pasien yang akan diturunkan berdekatan dengan badan pasien, baju yang harus dilepas dan diganti dengan baju atau kain khusus operasi warna hijau, rambut yang harus ditutup dengan kerudung, tangan yang akan disuntik dan dimasuki jarum infus, dan lain-lainnya. Semua itu aku terjemahkan dalam Bahasa Indonesia satu persatu sampai semuanya dilaksanakan dengan beres. Setelah beberapa saat obat bius disuntikkan ditangan kanan pasien, saatnya tim dokter operasi bekerja mengoperasi tangan Ade yang terluka parah. Tahap pertama dilakukan pembersihan dengan cara membuka perban dan melihat keadaan luka tangan. Dalam tahap ini tim dokter ingin menjelaskan keadaan dan hal-hal penting serta langkah operasi kepada pasien. Untuk itu aku terpaksa harus melihat tangan pasien untuk bisa menerjemahkan dengan baik. Seperti yang aku tulis sebelumnya, bahwa sebenarnya aku sangat tidak tahan melihat darah dan luka ditubuh manusia. Dalam keadaan ini, aku harus bisa dengan kuat dan tahan melihat bagian badan dan tangan yang terluka yang nyaris dan memang terlihat tulangnya. "Hhmnnn....apa boleh buat, aku harus melihatnya dengan jelas dan detil", pikirku menguatkan diri sendiri. Saat itulah aku mulai lagi menjelaskan keadaan tangan kepada Ade. Dokter  menyuruhnya mengangkat tangan, menggerakkan jari-jarinya satu persatu dan juga berbicara menenangkan hati Ade yang terlihat tegang dari sorot matanya. Aku menerjemahkannya lagi, sambil menenangkan hati Ade lagi. "Tim dokternya sangat profesional, jangan takut !", kataku padanya. Saat proses operasi berlangsung aku bisa lihat dan dengar pembicaraan dokter dengan tim perawatnya yang mencatatnya urutan hal yang dilakukan setiap menit dan detik di lembar kertas khusus. Bahkan apa yang aku katakan dan terjemahkanpun ikut dicatat dengan caranya yang sempat mengejutkanku. "Ohh, ternyata dicatat semua setiap detailnya", batinku sambil melihat kertas catatan yang selalu dipegang seorang perawat yang bertugas untuk itu. Saat itu juga, aku merasakan keseriusan tim dokter operasi bedah yang hanya memikirkan kondisi dan keadaan pasiennya. Melakukan hal yang terbaik yang telah dipersiapkan jauh-jauh  hari sebelumnya. Aku lihat lagi petugas pencatat, mencatat obat-obatan yang dipakai dokter dan masalahnya. Apa yang dirasakan Ade pun juga dicatatnya sepanjang proses operasi berlangsung. Tak sadar waktu telah berjalan hampir tiga jam lamanya aku bekerja di ruang bedah yang dingin. Mulai terbiasa melihat dokter memegang alat-alat operasi dan juga cara kerjanya bersama para perawat yang membantunya. Aku bahkan merasa menjadi satu tim dalam proses operasi itu karena penerimaan mereka terhadap diriku yang menjadi penerjemah yang bisa dikatakan sangat dibutuhkan mereka. Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya, aku hanya bekerja dan berada di dalam ruang bedah selama sekitar tiga jam saja. Proses operasi masih harus berlangsung dengan cara membius total badan Ade  sampai tidak sadarkan diri. Cara tersebut dilakukan karena ada bagian badan yang lain yang harus diambil daging dan kulitnya untuk ditempel ditangan Ade yang terluka parah. Untuk tahap ini tidak perlu jasaku menerjemahkannya karena Ade tidak sadarkan diri dan tidak bisa berkomunikasi karena akan tidur sampai dia dibawa lagi ke kamarnya. Di akhir pekerjaanku sebelum aku meninggalkan kamar bedah, aku harus menanda tangani bukti telah melaksanakan pekerjaan sampai tuntas. "Tori-san, sain onegai shimasu (Bapak Tori, mohon tandatangannya)", kata salah seorang perawat yang bertugas mencatat jalannya proses operasi tadi. "Kyoo wa doomo arigatoo gozaimashita ( Terimakasih banyak untuk hari ini)", kata dokter bedah utama diikuti semua petugas perawat kepadaku. Akupun akhirnya meninggalkan ruang bedah itu dengan diantar seorang perawat dan disambut oleh petugas di ruang ganti pakaian. "Otsukaresama deshita (Terimakasih atas jerih payah anda)", kata petugas yang menyambutku sambil membatu melepas penutup kepala dan pakaian operasi yang aku kenakan. Selanjutnya, aku pun turun sendirian sampai lantai dua dimana kamar Ade berada. Aku menunggu di ruang itu dan sesekali di hall luas di dekatnya sampai proses operasi selesai. Menunggu selama tiga jam adalah sangat lama bila duduk sendirian. Aku berusaha berbincang dengan perawat yang ada di komplek ruangan opnam dengan beberapa pasien dan perawat yang sejak pertama kali Ade mendaftar jadi pasien di Rumah Sakit itu. Saat melihat perawat itu, jadi teringat bahwa berobat dan menjadi pasien di Rumah Sakit di Jepang sangat nyaman dan banyak terbantu. Saat saya menerjemahkan kata-kata Ade pertama kali kepada dokter tentang keputusannya opname atau mondok untuk menjalani operasi, sang perawat itu atas perintah dokter langsung menguruskan semua hal dari pendaftaran, persiapan kamar dan lainnya sampai beres. "Wah, seperti menginap di hotel saja nih, semua dilayani dan disiapkan dengan cepat dan baik !", pikirku waktu itu setelah dipersilakan datang dan masuk kamar yang sudah tertulis nama Ade di pojok kanan atas kamarnya dan di dinding sebelah atas tempat tidurnya. Terbaca olehku juga nama perawat itu di bawah nama Ade sebagai perawat khusus yang bertugas mengurus Ade selama opname di rumah sakit itu. Waktu menunjukkan pukul 00:00 saat aku melihat jam dinding di kamar itu. Seorang perawat menghampiriku dan berkata, "Sujutsu owarimashita (Operasinya sudah selesai)". Aku segera menyamput kedatangan Ade di kamar opname yang diantar dua orang perawat. Aku hanya memandangi wajah Ade yang masih tertidur karena obat bius dengan tangan yang diperban dan diinfus. Aku juga hanya berdiri di sudut kamar karena semua urusan memindahkan tubuh Ade ke tempat tudur dari kereta dorong semua diurus dua orang perawat itu dengan baik. Aku tidak bisa bicara apapun dengan Ade sepatah katapun. Hanya perawatlah yang menerangkan semua hal yang berkenaan dengan operasi dan langkah selanjutnya setelah Ade sadar dari tidurnya sekitar satu jam lagi. Di tengah malam itu, karena sudah beres akupun dipersilakan pulang ke rumah karena pekerjaan atau urusan perawatan Ade semuanya akan dilakukan oleh para perawat. Maka karena itu, aku pun memutuskan pulang karena juga sangat paham kalau di Jepang itu tidak ada budaya menunggui orang sakit di Rumah Sakit dengan sharing atau numpang tempat tidur atau tidur di kursi-kursi atau di lantai sepanjang lorong. Pihak Rumah Sakit bisa dipercaya ! Aku melangkah pulang ke rumah di tengah malam sambil berpikir sendiri bahwa segala pekerjaan harus dilaksanakan dengan baik bukan hanya karena pelaksanaan sebuah tanggungjawab tetapi demi kehidupan ini dan rasa kemanusiaan saja ! Selanjutnya, sampai detik ini aku harus selalu siap untuk melaksanakan tugas seperti itu ! Salam kemanusiaan dari Jepang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun