Enak benar ajaran Husein Hasni ini, pikirku.
Aku mulai berpikir ala Husein Hasni. Karena segalanya boleh dilakukan dalam hukum darurat, maka aku mengajukan permintaan.
"Sayang, aku yakin Bib Husein cinta sama aku," kataku di balkon apartment aku.
"Ya tentu," sahutnya sambil keluar memakai jubah kebesaran ala orang Yahudi, yang ditiru oleh banyak orang Arab.
Aku mulai bercerita pada Husein. Tentang seluruh kehidupan aku. Sampai aku kenal dengan dia. Aku mulai mengarungi duniaku sejak aku usia 13 tahun. Badan bongsorku, salah satu penyebab, yang menghiasi kisah penggalan hidupku. Kelas 5 SD, Pak Agus guru olahragaku, adalah orang pertama yang memberiku kesan. Tentang seorang lelaki.
Pak Agus orang pertama di luar keluargaku yang menyebut aku cantik. Aku tersipu. Usiaku saat itu 10 tahun. Namun akibat aku suka serial Korea dan K-Pop membuat aku mengerti maksud Pak Agus. Cantik bagiku adalah pujian. Terlebih di rumah aku hanya sama Mama. Mama lebih sibuk dengan cucian tetangga, untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.
"Ah bisa aja, Pak Agus, Indah lebih cantik dari diriku," sahutku membandingkan diriku dengan Indah, teman sebangkuku.
Tiga tahun kemudian, kelas dua SMP. Pak Agus menjadi orang pertama yang menodaiku. Meski saat itu aku tak tahu benar tentang penodaan. Aku tak merasakan apa-apa, selain perih di selangkangan.
Kini, kalau ingat peristiwa itu, aku hanya menerawang ke langit-langit, dengan berlinang air mata. Aku justru teringat pesan Mama. Agar aku berhati-hati bergaul. Aku tak paham makna berhati-hati.
Waktu berlalu. Aku lulus SMP. Mama menitipkan aku di tempat Tante di Kota Jakarta -- 1925 km sebelah timur kotaku. Saat ini, aku sekolah di sebuah SMA lab terkenal di bilangan Jakarta Timur. Sekolah yang membuatku begitu bangga. Sekolah elite.
Bayang kenangan tiga tahun sebelumnya tetap ada di pelupuk mata. Bayangan tubuh Pak Agus, atau tepatnya setan Agus, di atas tubuhku begitu menyiksa hariku. Dari lantai 21 apartment di kawasan Menteng, aku memandangi perkampungan.