Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Dilema Psikologi Politik di DKI: FPI, Anies, NKRI, dan Ahok-Djarot

15 April 2017   10:00 Diperbarui: 15 April 2017   19:00 4177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak dapat disangkal. Tekanan psikologi politik bagi warga DKI saat ini terlalu berat untuk dipikul. Polarisasi antar warga sedemikian besar. Pilkada DKI pun menjadi sangat sederhana jika dianalisis secara psikologis-politik. Semua unsur yang berkepentingan terpolarisasi berjuang untuk:  (1) FPI yang mengatasnamakan Islam radikal, dan (2) Ahok yang mengatasnamakan demi NKRI. Yang menjadi pokok masalah, pembuat galau, yang membuat masyarakat kebingungan adalah adanya pilhan fakta dan ilusi.

Mari kita telaah dilema pilihan warga DKI Jakarta secara psikologis sambil menertawai kelakuan FPI dengan kaki tangannya Anies dengan menari menyanyi berdansa bahagia suka-cita senang koprol jungkir balik riang ria selamanya.

Pertama, dilema tekanan psikologi-politik nomor satu khusus bagi warga DKI beragama Islam adalah kebingungan akibat simpang siur memaknai al Maidah 51.Secara gamblang ajaran Islam rahmatan lil alaminPBNU dengan Said Aqil Siradj menggaris bawahi bahwa Muhammad SAW tidak pernah membuat negara Islam, namun membuat negara Madani. Ini fakta sejarah kebenaran Islam yang pokok.

Konflik dan perdebatan tentang makna aulia dan fakta tentang kenyataan bahwa dalam zaman Rasullullah SAW tidak ada pemilihan umum – yang ada adalah musyawarah – yang tentunya musyawarah secara internal satu golongan yakni semua yang diajak berembuk adalah umat Islam. Maka menjadi wajar dan tak masuk akal jika pemimpin keagamaan (bukan umara) dipilih dari kalangan non-Muslim.

Fakta selanjutnya adalah Rasullullah SAW tidak pernah menciptakan Negara Islam. Rasulullah SAW menciptakan negara madani – civil society – maka disebutlah madinatul munawarah alias Madinah.

Ketika Rasullullah SAW masih hidup, kehidupan di Madinah menghargai seluruh agama termasuk Yahudi, Kristen, dan Zoroaster alias ajaran Zarathustra yang disebut Majusi, serta keyakinan lainnya. Muhammad SAW pun melakukan perdagangan dengan Yahudi dan Nasrani.

Diyakini pula sebelum Rasullullah SAW mangkat, tempat ibadah Sinagog, Kuil, dan Gereja berdiri di dan atau sekitar Madinah. Setelah Rasullullah SAW mangkat, maka yang tersisa adalah perseteruan politik dan pembunuhan demi pembunuhan yang mencampuradukkan Islam dan politik.

Kulminasi perseteruan politik menghasilkan Sunni dan Syiah yang saling mengaku dan menganggap diri sebagai Islam yang paling benar – padahal keduanya adalah Islam. Dan, Islam di dalam Al Qur’an tidak pernah diberi embel-embel sunni maupun syiah. Yang ada justru Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Dari sini telah jelas bahwa yang dimaksud aulia alias allies alias sekutu atau jika diartikan sebagai pemimpin, di sini bukan pemimpin politik; namun pemimpin agama. Mustahil masyarakat muslim memilih sekutu atau pemimpin keagamaan (aulia) selain dari golongannya. Sekali lagi bukan pemimpin politik.

Dilema dan tekanan psikologi ini sungguh berat yang bahkan digemborkan terkait dengan aqidah, dengan agama, dengan iman, dengan keyakinan, dengan surga dan bahkan neraka. Kalangan masyarakat Islam model ini secara rerata memercayai, dan jelas tidak salah memiliki persepsi sendiri terkait kebenaran mutlak keyakinan untuk memilih pemimpin (agama, bukan umara, apalagi pemimpin politik).

Maka terkait pilkada DKI Jakarta, warga Muslim menghadapi  dilemma ini semakin menemukan titik kulminasi ketika dihadapkan kepada kenyataan (1) memilih Ahok-Djarot yang telah nyata membangun DKI Jakarta, atau (2) memilih Anies yang didukung oleh FPI yang sering beringas dan provokatif.

Karenanya, dengan adanya guidance dan arahan dari PBNU tentang kenyataan bahwa Rasullullah SAW tidak pernah menggagas Negara Islam apalagi Kekhalifahan Islam – yang benar adalah negara civil society alias negara Madani, maka warga DKI dengan bebas tanpa takut neraka atau bermimpi masuk surga terkait Pilkada DKI. Pilkada DKI Jakarta tidak terkait dengan dosa, pahala, surga, atau neraka karena ini hanya urusan politik dan bukan urusan agama.

Kedua, dilemma antara memilih Anies yang berafiliasi dengan FPI atau memilih Ahok-Djarot bagi warga DKI Jakarta. Bayangan kekuasaan FPI di Jakarta telah membuat keresahan bagi sebagian besar warga Muslim dan etnis Betawi. Makanya, secara sadar setelah sebelumnya FBR (Forum Betawi Rempug) mendukung Anies di putaran 1, maka kini FBR mendukung Ahok-Djarot.

FBR tidak akan membiarkan ormas FPI menjadi besar dan menenggelamkan keberadaan ormas etnis Betawi – yang mewakili 15% warga DKI Jakarta – namun sangat menentukan dalam pilkada DKI 2017 ini. Maka FBR pun turun gunung dan berkampanye untuk Ahok-Djarot – demi menghindari dan menolak dominasi FPI di Jakarta yang berpotensi menenggelamkan FBR.

Selain itu, dilemma dan ketakutan warga DKI terhadap FPI di satu sisi, namun melihat sosok Ahok sebagai non-Muslim pun akhirnya dijembatani dengan pemikiran warga DKI Jakarta dengan memilih Djarot sebagai representasi umara dalam Pilkada DKI Jakarta – bukan sedang memilih pemimpin agama.

Terlebih lagi gambaran sentimen keagamaan di Jakarta dengan Djarot diusir oleh jamaah usai solat Jum’at di Tebet menunjukkan sentimen anti keagamaan yang membahayakan kehidupan umat Islam di Jakarta. Hal ini harus dihentikan dan salah satunya upaya itu adalah tidak memilih Anies yang bersekongkol dengan FPI untuk menciptakan Jakarta Bersyariah yang hanya akan membuat ribet kehidupan di Jakarta.

Pun warga DKI Jakarta yang cerdas memahami agenda FPI yang menunggangi Anies – karena Anies sangat lemah manajemen dan karakternya, sehingga mudah disetir oleh FPI. Warga DKI Jakarta tidak bisa membayangkan Jakarta di bawah pengaruh FPI. Sementara kini di bawah Ahok-Djarot kehidupan di DKI normal dan bergerak maju.

Ketiga, dilemma antara program ilusi Anies dan FPI dengan program nyata Ahok dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dilema ini sungguh berat ditanggung oleh warga DKI akibat kampanye masif penuh tipu daya yang membius dan cerdas – seolah janji kampanye adalah kenyataan dan harapan di depan mata: padahal hanya ilusi semata.

Timses Anies – yang berisi orang-orang eks Timses Prabowo 2014 – sangat memahami cara kampanye dan topic kampanye, termasuk ilusi dan delusi sebagai jualan. Sah memang. Namun kelemahan mereka adalah mereka tidak siap dengan strategi counter-campaign dan bahkan counter against black and negative campaigns. Mereka culun di bidang ini.

Dalam psikologi ilusi lebih gampang dibuat dibandingkan dengan kenyataan atau fakta. Membangun ilusi apalagi delusi lebih mudah dibandingkan dengan mengerjakan dan membuat ilusi menjadi fakta nyata.

Maka terkait Rumah DP 0% dan juga terkait KJP Plus menjadi bahan tertawaan warga DKI Jakarta. Logika tentang KJP ya sudah ada dan secara nyata telah dipraktikkan oleh Ahok-Djarot – bahkan sejak zaman Gubernur Jokowi.

Tentang DP 0% untuk rumah secara orang tolol bin bahlul siapa pun tahu bahwa DP 0% akan membuat cicilan membesar dan akan membebani. Pun untuk membangun rumah di atas tanah Anies tidak bisa menunjukkan tempatnya. DP 0% dibantu atau dicicil tetap saja bagi yang berpenghasilan UMP dan di bawah Rp 7 juta akan sangat berat mencicilnya.

Sementara secara nyata program rumah susun bagi warga miskin DKI menjadi kenyataaan yang sudah diterapkan oleh Ahok-Djarot. Nah, warga DKI Jakarta pun sebagian termakan oleh ilusi dan delusi Anies dan sekondannya dan mentornya yakni FPI.

Kini, menjelang 4 hari pencoblosan, warga DKI akan merenungi dilemma antara ilusi yang memabukkan yang ditawarkan oleh Anies, dengan kenyataan fakta hasil kerja yang sudah dijalankan dan tengah dijalankan oleh Ahok-Djarot. Warga DKI Jakarta akan berpikir untuk memilih cagub penuh ilusi dukungan FPI yakni Anies, atau cagub petahana yang sudah membuktikan pekerjaannya secara nyata tanpa ilusi yakni Ahok-Djarot.

Keempat, dekonstruksi kehidupan beragama Islam di Jakarta akibat pembiaran masjid digunakan sebagai alat politik Anies yang didukung oleh JK dan kerabatnya seperti Aksa Mahmud dan Erwin Mahmud, yang JK adalah pentolan Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Warga DKI Jakarta semakin tertekan melihat – FPI  belum berkuasa dengan anteknya Anies Baswedan – masjid sudah beralih fungsi sebagai pusat gerakan politik. Saking ngawurnya selain spanduk tentang haram dan slogan anti Ahok – bahkan pendukung Ahok tidak akan disholatkan jika meninggal, yang jelas melanggar hukum Islam fardhu kifayah tentang kewajiban bagi muslim yang masih hidup untuk menyolatkan muslim dan muslimat yang meninggal – maka Djarot pun diusir usai sholat Jum’at hanya karena masalah politik.

Warga DKI tak bisa membayangkan akan seperti apa kehidupan dengan Anies yang dikuasai oleh FPI – sementara kehidupan beragama dan kerukunan dalam kehidupan normal dan nyaman. Ilusi dan janji yang dibangun oleh Anies dan FPI tentang Jakarta Bersyariah telah membuat jamaah sholat Jum’at dan marbot masjid di Tebet kehilangan nalar dan mengusir orang yang usai beribadah.

Ini wujud berbahayanya menjadikan masjid sebagai alat kampanye politik suruhan Eep Timses Anies yang tak bertanggung jawab itu. Eep yang menyarankan masjid sebagai pusat dan gerakan kampanye Anies dengan dukungan FPI membuat warga DKI Jakarta resah.

Karenanya, tekanan warga DKI Jakarta ini membuat mereka mengalami kebingunngan antara ikut dengan kalangan marbot yang segregasis dan rasis meskipun terhadap Djarot misalnya yang nota bene Islam, atau ikut Islam rahmatan lil alamin ala NU dan GP Anshor. Ini dilemma besar bagi mereka.

Jelas dalam kondisi ini, warga DKI Jakarta akan berpikir jernih untuk memilih kehidupan yang aman dan damai seperti selama ini. Kampanye dan ilusi tentang Jakarta Bersyariah hanya menjadi hiasan yang diabaikan oleh warga DKI Jakarta – dan warga DKI Jakarta tidak akan menjadikan Jakarta Bersyariah. Penyebabnya, atas dasar apa Jakarta akan dijadikan Bersyariah di tengah pluralisme yang berdasarkan Pancasila.

Kelima, dilemma dukungan Prabowo kepada Anies yang didukung oleh FPI dan sekali lagi aliansi Prabowo dengan partai agama PKS. Publik DKI Jakarta semakin kebingungan melihat posisi partai nasionalis Gerindra terjebak didukung oleh FPI calegnya. Pun komitmen Anies untuk menciptakan Jakarta Bersyariah jelas menimbulkan kontradiksi ideologis yang menhancurkan peluang Prabowo menjadi Capres 2019.

Partai agama PKS menyingkirkan secara halus Prabowo dari peluang Prabowo di 2019 – yang sampai saat ini merupakan calon terkuat, dengan catatan jika mampu melewati UU Pileg dan Pilpres 2019. Jebakan strategis partai agama PKS adalah dengan membawa Prabowo ke gerbong dukungan FPI. Pertaruhan Prabowo ini dipastikan akan membingungkan publik Jakarta dan akhirnya memberikan penilaian kepada Prabowo yang tunduk pada strategi politik partai agama PKS.

Maka warga DKI Jakarta dan juga pendukung Gerindra dan swing voters, baik yang apatis maupun yang akhirnya militan, untuk berpikir menjauhi Anies – dan juga Prabowo. Hal ini terkait dengan strategi licik ala partai agama PKS yang pernah menjerumuskan Prabowo dengan survei dan quick and real count abal-abal tanpa data dan bukti yang menghibur Prabowo sebagai pemenang Piplres 2014.

Nah, kini warga DKI Jakarta juga tengah dibawa oleh ilusi Jakarta Bersyariah di bawah FPI yang dibawa oleh Anies dengan FPI dan partai agama PKS yang menunggangi Prabowo dan bahkan Sandiaga Uno yang habis-habisan uang namun kalah – sementara Anies tak keluar uang ha ha ha. Warga simpatisan Gerindra pun tak akan rela Prabowo dijadikan tunggangan kuda Troya oleh Anies yang sekondan FPI.

Jadi, dengan adanya lima dilemma tersebut, dapat dipahami betapa berat tekanan secara psikologi politik warga DKI Jakarta. Sekali lagi, bisa dipahami kondisi tekanan psikologi politik yang disetir oleh Timses Anies – dengan berondongan ilusi FPI yang akan menunggangi Anies dengan agenda politiknya yakni Jakarta Bersyariah – sungguh membuat warga DKI dalam tekanan.

Namun, yang pasti, warga Jakarta tak membiarkan kemenangan di pihak ormas Islam radikal FPI dengan kuda tunggangan Troya-nya si pecatan menteri tak becus Anies. Maka pilihan berat bagi warga DKI Jakarta adalah FPI-Anies-Sandi atau NKRI-Ahok-Djarot.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun