Kekuasaan adalah amanah. Namun kekuasaan bisa menjadi pisau tajam yang bisa menusuk pemegangnya. Anas adalah korban rezim adigung dan adiguna alias sewenang-wenang. Antasari adalah korban kebodohan terkait perempuan Rani Yuliani dan konspirasi kekuasaan. SBY adalah korban kekuasaan dan mulutnya sendiri persis seperti Rizieq FPI. Sejak awal demo FPI dan partai agama PKS 411, nasihat Sunan Giri dan Sunan Kalijaga telah digeber dan dipaparkan. Namun baik SBY maupun Rizieq FPI abai karena dalam euphoria kemenangan semu yang hanya akan seumur jagung. SBY benar tentang kekuasaan sebagai panglima yang kini tengah mengarah pada dirinya.
Mari kita telaah bermainnya kekuasaan terhadap kasus Anas, Antasari Azhar, kasus kekuasaan 10 tahun SBY, dan sepak terjang Rizieq FPI dan SBY yang tengah menghadapi kekuasaan sebagai boomerang yang menghantam diri mereka lewat kekuasaan dalam diri Anas, kekuasaan Antasari, kehebatan SBY dan tentu kekuasaan Rizieq FPI sambil menertawai ngakak jungkir balik koprol menari menyanyi suka-cita senang bahagia gembira pesta-pora riang ria konsep kekuasaan dalam pikiran SBY selamanya senantiasa.
Anas Urbanigrum adalah korban kekuasaan dan ambisi kekuasaan. Anas yang begitu muda, cerdas, dan hebat adalah the rising star dalam dunia politik Indonesia. Anas adalah darah muda saat itu yang paling bersinar untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Cerdas, santun, dan kharismatis di kalangan muda sangat menjanjikan.
Anas bergerak cepat dan mencapai popularitas hebat dengan membuat klub-klub sepakbola binaan Partai Demokrat. Reputasi Anas meroket tinggi menenggelamkan Ibas, Agus, dan bahkan SBY. Dalam kekuasaan hebat, Anas Urbaningrum pun dijungkalkan lewat teriakan SBY dari luar negeri. Anas pun terjungkal oleh kekuasaan, lewat pertemanan mematikan dengan Muhammad Nazaruddin.
Hanya dengan mobil Harrier dan pencucian uang miliaran rupiah Anas Urbaningrum terjerembab tak berdaya akibat kekuasaan – sekaligus korban upaya meraih kekuasaan. Anas adalah korban ambisi kekuasaan untuk dirinya dan ambisi SBY tentang kekuasaan yang tidak mau berpindah ke tangan selain keluarganya seperti Ibas dan Agus kini menjadi bagian korban ambisi kekuasaan SBY.
Antasari Azhar pun adalah korban kriminalisasi kekusaan yang dipamerkan dengan blatant. Antasari yang tengah berupaya memenjarakan koruptor besan SBY Aulia Pohan pun menjadi korban kekuasaan
Pernyataan Antasari Azhar tentang Hary Tanoe dan SBY bukanlah pepesan kosong seorang Antasari. Mantan jaksa ini bukanlah sembarangan. Reaksi SBY yang kebakaran jenggot dan lagi-lagi curhat di Twitter dan Hary Tanoe yang berhati-hati mengomentari pernyataan Antasari adalah indikasi kebenaran pernyataannya.
(Memasukkan kasus Antasari versus SBY terkait Aulia Pohan ya g menyeret Hary Tanoe sungguh akan menguras energi yang besar terutama untuk SBY dan Hary Tanoe. Citra politik SBY yang memang sudah hancur akan semakin hancur. Bagi Hary Tanoe pun jelas akan merusak reputasi dan upayanya membangun Perindo bisa hancur – maka salah satunya adalah mengambil jarak untuk tidak membawa masalah ucapan Antasari ke ranah hukum. Namun karena SBY sudah melaporkan Antasari terkait kasus koruptor Aulia Pohan, maka Hary Tanoe akan terseret ke dalam pusaran Cikeas yang sedang linglung karena menyusul nanti Ibas akan digeret-geret ke ranah hukum untuk laporan terkait pengadaan barang di KPU.)
Antasari menjadi korban kekuasaan adigung dan adiguno. Pernyataan Antasari menghantam telak tentang praktek kekuasaan SBY yang begitu hebat – hingga seorang Hary Tanoe mau menemui Antasari dan menyampaikan pesan peringatan. Abai akan peringatan maka scenario kriminalisasi atas Antasari berlangsung dengan tiga alat sederhana: (1) perempuan Rani Yuliani, (2) Nazaruddin yang dibunuh, dan (3) SMS tidak jelas.
Rumah Sakit Mayapada pun tidak menyerahkan bukti material penting yakni baju Nazaruddin. Peluru pun menjadi persoalan terkait caliber. Tembakan dari jarak dekat atau jauh pun menjadi tidak jelas plus lobang kaca sebelah kanan pun menjadi pertanyaan kuasa hukum dan awam. Namun karena kekuasaan Antasari ditelan oleh kekuasaan dan korban akan kekuasaan.
Kekuasaan massif rezim SBY di semua peringkat peradilan mementahkan upaya hukum Antasari. Antasari kalah telak oleh kekuasaan kehakiman dan peradilan. Selain itu, Antasari pun kalah dan takluk kepada kekuasaan Rani Yuliani yang seorang caddy golf. Rani Yuliani begitu digdaya dan berkuasa atas Antasari sampai-sampai Ketua KPK mau menemui Rani Yuliani – dengan alasan apapun misalnya investasi atau asuransi atau member alias keanggotaan golf.
Artinya Ketua KPK Antasari Azhar takluk oleh kekuasaan memaksa Rani Yuliani yang sekarang kabur ke Yogyakarta dan disimpan dengan sekaligus pergantian nama, alamat, dan identitas karena tak lama lagi sidang pengadilan kembali akan dibuka dengan SBY sebagai energi baru perseteruan SBY-Antasari-Rani yang akan dijadikan saksi kembali ditambah dengan Hary Tanoe yang dibawa-bawa oleh Antasari.  Maka secara gamblang Antasari – jika tuduhannya menggelinding menuju kebenaran – adalah korban kekuasaan rezim SBY dan Rani Yuliani. (Rani Yuliani juga adalah korban kekuasaan yang tak mampu menolak selain memojokkan Antasari.)
Nah, Anas dan SBY benar tentang penyalahgunaan dan bermain api dengan kekuasaan. SBY benar bahwa bermain api bisa membuat terbakar. Maka permainan api oleh SBY pun kini akan semakin membuat SBY terbakar dan bisa menjadi abu oleh perbuatannya sendiri. Anas menyebutkan dalam cuitanTwitter tentang SBY yang sedang ngunduh wohing pakerti yang artinya sedang memetik buah akibat perbuatannya sendiri.
SBY lupa bahwa kekuasaan adalah amanah dan akan sirna dan silih berganti. Andaikan uapaya hukum Antasari di peradilan berbagai tingkatan diselesaikan dengan baik pada masa rezim SBY – SBY tidak akan memetik informasi tudingan Cikeas-Hary Tanoe saat ini. Ketika kekuasaan dijadikan alat kebaikan dan alat politik tingkat tinggi untuk kasus Antasari, maka saat ini tak akan ada kasus Cikeas-Hary Tanoe. SBY lupa membersihkan lantai yang kotor ketika meninggalkan kekuasaan selama 10 tahun – PR yang menjadikan SBY kini ngunduh wohing pakerti menurut Anas. SBY tidak memedulikan kata pasca berkuasa dan larut dalam perasaan kekuasaan abadi yang disebut pajabat-pejabat.
(Maka SBY begitu Gubernur Jokowi naik ke tampuk kekuasaan sebagai Presiden RI langsung mengumpulkan semua bekas menteri, dirjen bekas atau tengah menjabat untuk konsolidasi kekuasaan. Namun lagi-lagi SBY tidak memedulikan bahwa masa jabatan dirjen dan pejabat yang diangkatnya akan sirna setelah 2 tahun maksimal. Maka Presiden Jokowi pun mulai memreteli para dirjen dan pejabat yang diangkat oleh SBY – sebagai eksekusi hakikat kekuasaan poolitik untuk mengangkat orang-orang pilihan yang dipercaya oleh Presiden Jokowi dan kekuasaan politiknya.)
SBY pun sebagai penguasa harus mengakhiri kekuasaan yang selama sepuluh tahun sama sekali tidak berbuat apa-apa – dengan meninggalkan puluhan proyek-proyek besar yang mangkrak seperti Hambalang dan proyek listrik di Papua dan Maluku serta berbagai belahan Nusantara. SBY pun menjadi korban kekuasaan yang dipegangnya sendiri dengan melupakan fungsi kekuasaan sebagai alat untuk kesejahteraan rakyat. SBY melihat kekuasaan untuk diri dan keluarganya – termasuk besan si koruptor Aulia Pohan yang sejatinya sepele menjadi masalah yang menghancurkan reputasinya sendiri yang memang porak-poranda.
Pun SBY yang memanfaatkan sosial media dengan keluhan keluhan keluhan melulu menjadi bahan tertawaan para generasi millinea. SBY yang generasi kuno hanya  menjadi hiburan tertawaan para generasi millinea yang enerjik dan cerdas – dan memandang kekuasaan hanyalah alat politik yang tidak penting bagi generasi millinea. SBY menjadi korban kekuasaan megalomania masa lalu dan post-power syndrome yang menghajar kesadaran rasionalnya.
(Pilkada DKI menjadi pembuktian bahwa Agus tengah memetikngunduh wohing pakerti justru dari SBY dan sikapnya yang tidak istiqomah di TNI. Prediksi Ki Sabdopanditoratu menunjukkan Agus jika di TNI dalam 12 tahun ke depan bisa menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun hal itu runtuh akibat tunduk pada ambisi kekuasaan SBY.)
Pun SBY juga seperti Rizieq FPI menjadi korban euphoria dengan target Ahok. Antara SBY dengan Rizieq memiliki kesamaan tujuan yakni menyingkirkan Ahok dengan kekuasaan. SBY berhalusinasi tentang kekuasaan masa lalu untuk masa kini – jelas apkiran dan tidak berguna sama sekali. Kekuasaan masa lalu – yang sama sekali tidak berbuat banyak membangun selama 10 tahun – digunakan untuk ambisi dirinya lewat Agus. Sementara FPI memang musuh bebuyutan Ahok sejak masa menjadi Wagub DKI.
SBY dan Rizieq FPI melihat kekuasaan di depan mata. Maka kasus Ahok disetir tanpa control dengan aneka pernyataan yang justru membuat berbagai pihak pasang kuda-kuda. Aneka kekuatan dari pluralisme dan korban masa lalu dan serangan kekinian di bidanng hukum pun digarap dengan baik. Hasilnya peristiwa makar, Rizieq tersangka penistaan Pancasila dan kasus-kasus lain yang akan membui Rizieq, kasus chat pornografis Rizieq dan Firza Husein tengah bergulir, menjadi show-down sekaligus show of force – yang terpaksa dilakukan untuk meredam aksi komporan SBY yang berteriak-teriak soal hukuman kepada Ahok. Pun gerakan FPI yang radikal pun harus diredam secara sistematis dan taktis yakni dengan kekusaaan yang disebut hukum.
Maka keadilan hukum yang digemborkan oleh SBY pun berlaku dan justru keadilan itu menghantam dengan telak baik kepada SBY maupun kepada Rizieq FPI. Laporan SBY ke Mabes Polri pun akan menjadi bola liar pamer kekuasaan masa lalu dengan kekuasan masa kini – dengan aktor Antasari – SBY – dan Hary Tanoe. Bukan SBY kalau tidak serta-merta menuduh ketidakberdayaan dirinya sendiri dengan menuntut keadilan. Bahkan SBY pun menuduh penguasa di balik pernyataan Antasari Azhar.
Pun SBY menuduh grasi yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Antasari Azhar – yang 2 tahun lalu Ki Sabdopanditoratu telah menulis grasi akan dikabulkan oleh Presiden Jokowi – bermuatan politik. Jika pun benar bermuatan politik – SBY juga paham itulah hakikat politik dan kekuasaan serta kekuasaan untuk tujuan politik. Siapa yang berkuasa dialah penguasa hukum, ekonomi, politik, dan mimpi serta ambisi sekalian.  Â
Kini ketika kekuasaan SBY yang sudah dipreteli kekuasaan pun, SBY masih bermimpi dan halusinasi tentang kekuasan sebagai penguasa partai. Partai pribadi ini pun tidak memiliki sikap politik dan bersikap banci dan tidak jelas: malah menyebut sebagai partai penyeimbang. Satu-satunya partai di dunia dan akhirat yang menyebut diri sebagai partai penyeimbang. Ha ha ha. Maka menjadi mustahil sikap politik plin-plan tanpa arah dan oportunitis keluar dari semua teori politik SBY akan mendapatkan dukungan. Rakyat – bahkan Presiden Jokowi dan JK sekali pun – akan was was dan tidak memercayai orang semacam SBY.
Sikap politik yang tidak jelas – yang tujuannya hanya menguntungkan diri sendiri – membuat bayangan kekuasaan pun sirna. Kekuasaan yang seharusnya dipeluk oleh SBY justru dijadikan musuh politik. Presiden Jokowi yang jelas sebagai penguasa pun ditempatkan oleh SBY sebagai dan dianggap tidak ada apa-apanya, anak kemarin sore, tidak berkuasa, tidak berpengalaman, dan tidak kuat.
SBY menafikan posisi Presiden Jokowi sebagai Panglima Tertinggi TNI dan atasan Kapolri sekaligus sebagai end-user BIN. Data, fakta, informasi, dengan kekuasaannya, Presiden Jokowi bisa menelanjangi siapa pun – meskipun hukum formal tertulis dan UU berlaku – namun kekuasaan adalah tentang kekuasaan bukan lainnya. (Maka ketika hal baik tidak juga dianggap baik, kasus besar yang luar biasa selain E-KTP, kasus Century akan lebih menghebohkan lagi begitu Boedino nanti di-grilleduntuk mengungkap kebanaran mutlak.)
Sikap SBY yang mengagungkan kekuasaan pun dipraktikkan sama oleh Rizieq FPI. Anggapan dukungan massa sebagai kekuatan nyata membuat Rizieq FPI kebablasan. Teriakan revulusi ala FPI terkait Ahok menjadi senjata. Pernyataan dan sikap permusuhan terhadap Ahok berbuntut aksi penuntutan dan penggalian kasus yang bisa menjerat Rizieq FPI.
Tak hanya Rizieq, maka orang di lingkarannya pun terkena imbas aksi-reaksi penerapan hukum dan kekuasaan. Rizieq lupa yang tengah berlangsung hanyalah pemetaan intelejen dan alat mengatur ritme suhu politik yang pada akhirnya akan membuat Negara berdiri tegak di atas euphoria palsu dan sementara – yang mengecoh baik SBY maupun Rizieq.
Dan yang paling fatal adalah bahwa SBY dan Rizieq – dan juga Amien Rais – abai terhadap peringatan yang telah diberikan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Giri yang disampaikan oleh Ki Sabdopanditoratu. Beikut kutipannya dari Sunan Kalijaga dalam lagu Lir Ilir.
Kini mentari bukan di bawah SBY lagi, atau dalam kuasa politik si tukang mencla-mencle Amien Rais yang tak menepati janji nazar jalan Jogja-Jakarta kalau Prabowo-Hatta kalah, atau dalam genggaman kekuasaan pidato kemasylahatan dunia-akhirat Rizieq FPI saja, bukan.
Kini dunia kekuasaan telah berganti di tangan Presiden Jokowi dan juga paracah angonalias penggembala negara, dalam rahmat Allah SWT tentunya. Faktanya duhai wahai SBY, Amien Rais dan Rizieq FPI, ketahuilah bahwa tanaman sudah pada menghijau, kehidupan telah mulai baruTandure wis semilir.
Tanaman yang kalian secara sengaja tak sengaja taman telah tumbuh menjadi tanaman yang bermekaran di seantero negeri dan berkuasa hingga menjelma – secara ajaib – menjadi para penggembala yaknicah angon. Maka para cah angon itu ada yang menjalar di DPR, di Polri, di KPK, dan Kejaksaan.Cah angonada yang tumbuh di BIN, ada yang tumbuh di TNI, ada yang berkembang di pengadilan, di Densus 88, ada yang bertumbuh di media sosial, semuanya tumbuh subur dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh kalian wahai SBY, Amien Rais dan Rizieq FPI, dan sidang pembaca.
Selanjutnya, nasihat dari Sunan Giri lewat lagu Cublak-cublak Suweng yang kutipannya sebagai berikut.
Lagu Cublak-cublak Suweng harusnya dijadikan inspirasi agar karya lagu SBY langgeng sampai 100 tahun atau 200 tahun atau 400 tahun – bukan malah lagunya sember dan fals dinyanyikan hingga tak diingat oleh banyak orang. Kenapa lagu Cublak-cublak Suweng bisa bertahan terkenal selama 450 tahun?
Orang politik kayak kamu tidak usah nulis-nulis lagu SBY! Tidak akan berhasil kalau isinya nggak jelas dan tidak begitu bermanfaat bagi banyak orang. Lagu Cublak-cublak Suweng tetap langgeng karena memiliki isi ajaran hebat: ajaran kebenaran kehidupan duniawi dan ukhrowi. Dalam lagu ini juga mengajarka kebenaran hakiki, harta hakiki manusia.
Untuk itu SBY, silakan renungi lagu Cublak-cublak Suweng biar mendapatkan inspirasi yang indah dan lupakan politik karena politik cuma urusan duniawi semata yang tak akan kekal abadi dan tak akan menyelamatkan.
Nasihat pun disampaikan untuk Rizieq FPI dengan cara yang jelas.
Nah, untuk Rizieq FPI, selain lagu Cublak-cublak Suweng, lagu Sluku-sluku Bathok cocok buat ente. Bahwa hidup itu harus ingat kepada Allah SWT, berbuatlah ibadah sholat, karena kematian itu akan tiba-tiba, dan ketika sudah mati selesai sudah amalannya, ketika masih hidup bekerjalah mencari bekal untuk akhirat di dunia ketika masih hidup.
Kini benar apa yang disampaikan oleh SBY bahwa jangan bermain api dengan kekuasaan. Karena SBY, Rani Yuliani, Antasari Azhar, Anas Urbaningrum, Rizieq FPI yang merasa tengah berkuasa adalah para pemain kekuasaan. Dan ketika kekuasan tidak digunakan untuk kemashlahatan dan keadilan, maka kekuasaan itu akan menghantui dan menjadi boomerang. Anas pun menyampaikan secara tepat bahwa kini SBY tengah ngunduh wohing pakerti. Bahkan SBY dan Rizieq FPI berani abai akan nasihan Sunan Kalijaga dan Sunan Giri yang jelas akan menghantam balik secara tidak terbayangkan, termasuk ke Ibas dan kawan-kawan yang disebut juga oleh Antasari Azhar. Namun korban pertama kekuasaan di ring SBY adalah Agus yang hari ini akan menjadi pengangguran setelah mundur dari TNI.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H