Artinya Ketua KPK Antasari Azhar takluk oleh kekuasaan memaksa Rani Yuliani yang sekarang kabur ke Yogyakarta dan disimpan dengan sekaligus pergantian nama, alamat, dan identitas karena tak lama lagi sidang pengadilan kembali akan dibuka dengan SBY sebagai energi baru perseteruan SBY-Antasari-Rani yang akan dijadikan saksi kembali ditambah dengan Hary Tanoe yang dibawa-bawa oleh Antasari.  Maka secara gamblang Antasari – jika tuduhannya menggelinding menuju kebenaran – adalah korban kekuasaan rezim SBY dan Rani Yuliani. (Rani Yuliani juga adalah korban kekuasaan yang tak mampu menolak selain memojokkan Antasari.)
Nah, Anas dan SBY benar tentang penyalahgunaan dan bermain api dengan kekuasaan. SBY benar bahwa bermain api bisa membuat terbakar. Maka permainan api oleh SBY pun kini akan semakin membuat SBY terbakar dan bisa menjadi abu oleh perbuatannya sendiri. Anas menyebutkan dalam cuitanTwitter tentang SBY yang sedang ngunduh wohing pakerti yang artinya sedang memetik buah akibat perbuatannya sendiri.
SBY lupa bahwa kekuasaan adalah amanah dan akan sirna dan silih berganti. Andaikan uapaya hukum Antasari di peradilan berbagai tingkatan diselesaikan dengan baik pada masa rezim SBY – SBY tidak akan memetik informasi tudingan Cikeas-Hary Tanoe saat ini. Ketika kekuasaan dijadikan alat kebaikan dan alat politik tingkat tinggi untuk kasus Antasari, maka saat ini tak akan ada kasus Cikeas-Hary Tanoe. SBY lupa membersihkan lantai yang kotor ketika meninggalkan kekuasaan selama 10 tahun – PR yang menjadikan SBY kini ngunduh wohing pakerti menurut Anas. SBY tidak memedulikan kata pasca berkuasa dan larut dalam perasaan kekuasaan abadi yang disebut pajabat-pejabat.
(Maka SBY begitu Gubernur Jokowi naik ke tampuk kekuasaan sebagai Presiden RI langsung mengumpulkan semua bekas menteri, dirjen bekas atau tengah menjabat untuk konsolidasi kekuasaan. Namun lagi-lagi SBY tidak memedulikan bahwa masa jabatan dirjen dan pejabat yang diangkatnya akan sirna setelah 2 tahun maksimal. Maka Presiden Jokowi pun mulai memreteli para dirjen dan pejabat yang diangkat oleh SBY – sebagai eksekusi hakikat kekuasaan poolitik untuk mengangkat orang-orang pilihan yang dipercaya oleh Presiden Jokowi dan kekuasaan politiknya.)
SBY pun sebagai penguasa harus mengakhiri kekuasaan yang selama sepuluh tahun sama sekali tidak berbuat apa-apa – dengan meninggalkan puluhan proyek-proyek besar yang mangkrak seperti Hambalang dan proyek listrik di Papua dan Maluku serta berbagai belahan Nusantara. SBY pun menjadi korban kekuasaan yang dipegangnya sendiri dengan melupakan fungsi kekuasaan sebagai alat untuk kesejahteraan rakyat. SBY melihat kekuasaan untuk diri dan keluarganya – termasuk besan si koruptor Aulia Pohan yang sejatinya sepele menjadi masalah yang menghancurkan reputasinya sendiri yang memang porak-poranda.
Pun SBY yang memanfaatkan sosial media dengan keluhan keluhan keluhan melulu menjadi bahan tertawaan para generasi millinea. SBY yang generasi kuno hanya  menjadi hiburan tertawaan para generasi millinea yang enerjik dan cerdas – dan memandang kekuasaan hanyalah alat politik yang tidak penting bagi generasi millinea. SBY menjadi korban kekuasaan megalomania masa lalu dan post-power syndrome yang menghajar kesadaran rasionalnya.
(Pilkada DKI menjadi pembuktian bahwa Agus tengah memetikngunduh wohing pakerti justru dari SBY dan sikapnya yang tidak istiqomah di TNI. Prediksi Ki Sabdopanditoratu menunjukkan Agus jika di TNI dalam 12 tahun ke depan bisa menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun hal itu runtuh akibat tunduk pada ambisi kekuasaan SBY.)
Pun SBY juga seperti Rizieq FPI menjadi korban euphoria dengan target Ahok. Antara SBY dengan Rizieq memiliki kesamaan tujuan yakni menyingkirkan Ahok dengan kekuasaan. SBY berhalusinasi tentang kekuasaan masa lalu untuk masa kini – jelas apkiran dan tidak berguna sama sekali. Kekuasaan masa lalu – yang sama sekali tidak berbuat banyak membangun selama 10 tahun – digunakan untuk ambisi dirinya lewat Agus. Sementara FPI memang musuh bebuyutan Ahok sejak masa menjadi Wagub DKI.
SBY dan Rizieq FPI melihat kekuasaan di depan mata. Maka kasus Ahok disetir tanpa control dengan aneka pernyataan yang justru membuat berbagai pihak pasang kuda-kuda. Aneka kekuatan dari pluralisme dan korban masa lalu dan serangan kekinian di bidanng hukum pun digarap dengan baik. Hasilnya peristiwa makar, Rizieq tersangka penistaan Pancasila dan kasus-kasus lain yang akan membui Rizieq, kasus chat pornografis Rizieq dan Firza Husein tengah bergulir, menjadi show-down sekaligus show of force – yang terpaksa dilakukan untuk meredam aksi komporan SBY yang berteriak-teriak soal hukuman kepada Ahok. Pun gerakan FPI yang radikal pun harus diredam secara sistematis dan taktis yakni dengan kekusaaan yang disebut hukum.
Maka keadilan hukum yang digemborkan oleh SBY pun berlaku dan justru keadilan itu menghantam dengan telak baik kepada SBY maupun kepada Rizieq FPI. Laporan SBY ke Mabes Polri pun akan menjadi bola liar pamer kekuasaan masa lalu dengan kekuasan masa kini – dengan aktor Antasari – SBY – dan Hary Tanoe. Bukan SBY kalau tidak serta-merta menuduh ketidakberdayaan dirinya sendiri dengan menuntut keadilan. Bahkan SBY pun menuduh penguasa di balik pernyataan Antasari Azhar.
Pun SBY menuduh grasi yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Antasari Azhar – yang 2 tahun lalu Ki Sabdopanditoratu telah menulis grasi akan dikabulkan oleh Presiden Jokowi – bermuatan politik. Jika pun benar bermuatan politik – SBY juga paham itulah hakikat politik dan kekuasaan serta kekuasaan untuk tujuan politik. Siapa yang berkuasa dialah penguasa hukum, ekonomi, politik, dan mimpi serta ambisi sekalian.  Â