Antara pemindaian lokasi Patrialis Akbar dan Anggita perempuan itu di Grand Indonesia oleh KPK dengan informasi dari Kamaluddin yang lebih dulu ditangkap, maka secara pasti posisi mereka terdeteksi oleh tim IT dan komunikasi KPK. Selesai.
Penangkapan Patrialis Akbar yang berasal dari partai nasionalis PAN dan perempuan bernama Anggita ini sangat mirip dengan pentolan partai agama PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan Maharani Sucipto yang ditangkap di hotel Le Meridien. Luthfi Hasan Ishaaq dipantau karena komunikasi segitiga dengan perempuan pelacur Maharani, Ahmad Fathanah, dan Maharani.
Patrialis Akbar pun tertangkap ketika memanfaatkan uang korupsi – dengan struk masih tersertakan untuk penukaran – untuk berbelanja dengan perempuan Anggita sekalian mamanya biar afdhol. Dengan uang korupsi itu pula Patrialis berjanji akan membelikan apartemen mewah seharga lebih dari Rp 2 miliar.
Jadi sesungguhnya para koruptor di Indonesia adalah para manusia yang hidup di alam kemajuan teknologi, namun pada saat yang bersamaan meremehkan kemajuan teknologi. Telepon seluler dianggap sebagai telepon independen di udara yang tak tersentuh.
Padahal, dengan adanya cellular itu maka keberadaan pemegang telepon seluler dengan mudah akan terdeteksi. Sebagai gambaran, kasus tertangkapnya Om Tommy Soeharto di Bintaro pun diawali dengan penggunaan telepon genggam yang digunakan untuk menelepon rekan dekat Om Tommy.
Hakikat telepon adalah alat komunikasi antar individu. Meskipun membuang nomor cellphone setiap menggunakannya, dengan membeli nomor baru sekali pun, tetap saja tujuan yang ditelepon adalah orang-orang yang terkait dengan di penelepon. Hal ini terjadi dalam semua kasus penangkapan penjahat dan juga penangkapan koruptor. Karena koruptor akan menghubungi orang dekat secara berkala. Begitu pun kasus kejahatan lainnya akan dapat dikenali dengan mudah, sepanjang informasi awal valid.
Hal inilah yang menyebabkan DPR dengan dipenuhi rasa ketakutan. DPR pun berencana akan merevisi pasal penyadapan UU KPK agar para koruptor tidak mudah disadap. Padahal penyadapan dan pemindaian adalah alat utama untuk mengawasi dan mencegah korupsi dan menangkap koruptor. Kini revisi UU KPK sedang disingkirkan karena protes rakyat dan media.
Dengan tertangkapnya Patrialis Akbar melalui penyadapan telepon dan komunikasi telepon dengan perempuan Anggita, maka dipastikan DPR akan kembali tahun ini bersemangat mengusik UU KPK. Kenapa? DPR dan DPRD sebagai salah satu lembaga pengirim koruptor terbanyak di Indonesia memiliki kepentingan ketakutan ditangkap KPK.
Pun berbagai penangkapan terhadap pejabat dan anggota DPR/D dan gubernur, bupati, walikota, semuanya melibatkan komunikasi telepon dan penyadapan. Komunikasi silang dan teratur dengan keluarga, rekan, pacar, sahabat, skondan, dan para pencoleng lainnya pun menjadi pintu masuk membongkar korupsi.
Para koruptor cerdas seperti Angelina Sondakh menggunakan kata sandi tertentu seperti apel Washinton untuk mengelabuhi sadapan KPK. Ustadz Ahmad Fathanah dan pentolan partai agama PKS Luthfi Hasan Ishaaq menggunakan istilah pusthun baik untuk perempuan maupun untuk uang. Justru dengan bahasa aneh dan sandi seperti itu kecurigaan makin menebal – dan sekaligus jika menggunakan bahasa biasa juga akan tertangkap juga. Tidak ada cara berkelit dalam komunikasi lewat telepon – baik telepon celluler maupun telepon terpasang di tempat.
Selain itu, titik lemah terlemah dari para koruptor adalah wanita atau pria. Contohnya antara lain Angelina Sondakh yang tergoda lelaki lain selain Adji Massaid. Juga koruptor Ahmad Fathanah, Wawan kakak Andhika calon wagub Banten, Akil Mochtar narkoba dan perempuan, dan Patrialis Akbar yang terseret dan tertangkap KPK juga karena keterkaitan komunikasi dengan perempuan atau laki-laki lain.