Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dwi Estiningsih dan Piagam Madinah dalam Keberagaman NKRI

25 Desember 2016   20:05 Diperbarui: 25 Desember 2016   20:19 4312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Heboh Dwi Estiningsih memang sesuai dengan pamahamannya sendiri. Menarik sekali pernyataan Dwi Estiningsih ini jika dikaitkan dengan isi Piagam Madinah yang mengatur hubungan antar umat beragama di Madinah pada zaman Rasullullah SAW dengan kehidupan pluralisme Indonesia dalam NKRI. Sesungguhnya perspektif pribadi Dwi Estiningsih yang mengatasnamakan Al Qur’an dapat dipahami secara lebih utuh dengan memahami konsep negara madani yang diciptakan oleh Muhammad SAW berdasarkan Piagam Madinah dan memahami roh, tujuan, dan esensi Al Qur’an bagi muslim dan non-muslim.

Mari kita telaah Piagam Madinah dalam konteks pluralisme NKRI sambil menertawai ngakaki ciutan Twitter Dwi Estiningsih sambil menari menyanyi koprol jungkir balik guling-guling bahagia senang suka-cita ria gembira selamanya senantiasa.

Menyebut ‘Pahlawan Kafir’ dari perspektif pribadi Dwi Estiningsih memang benar. Dwi Estiningsih memang sangat memahami Islam sebagai doktrin dengan harga mati. Pernyataan Dwi Estiningsih ini semakin menempatkan konsep euphoria radikalisme tengah menemukan momentumnya – sekaligus pertaruhan bagi eksistensi keberagaman alias pluralisme NKRI.

Menarik sekali pernyataan Dwi Estiningsih ini jika dikaitkan dengan isi Piagam Madinah yang mengatur hubungan antar umat beragama di Madinah pada zaman Rasullullah SAW dengan kehidupan pluralisme Indonesia dalam NKRI.

Bagi Dwi Estiningsih kebenaran adalah kebebasan berbicara dengan mengafirkan orang selain Islam – termasuk para pahlawan yang bukan Islam. Maka ketika seorang pahlawan kebetulan bukan beragama Islam – maka pahlawan tersebut mendapatkan dan digelari pahlawan kafir. Perspektif seperti ini tampak sederhana – namun jika ditilik memiliki makna yang hakiki dan memiliki kebenaran dogmatis-religius.

Dwi Estiningsih menyampaikan pernyataan dan penilaian tentang pahlawan kafir sesuai pemahaman jumud, sempit, dan taklid di luar konteks sebagai warga Negara Indonesia. Peran Dwi Estiningsih dalam pernyataannya adalah perspektif sempit pemahaman keagamaan – yang di-claim oleh Dwi sesuai dengan Al Qur’an.

Bahwa benar Al Qur’an menyebutkan tentang kafir, mukmin, muslim, Yahudi, Nasrani, Majusi alias Zoroaster. Al Qur’an memaparkan kalimat, peristiwa, sejarah, kisah, konsep, ideologi agama Islam, dan segala kejadian yang bertujuan untuk memberikan pemahaman iman Islam untuk tujuan rahmatan lil alamin yang sejalan menempatkan Islam sebagai ideologi damai – salamIslam.

Konteks hablum minannas (hubungan sesama manusia) dan hablum minallah (hubungan dengan Allah SWT) secara nyata tercantum dalam Piagam Madinah. Hak-hak dan kewajiban antar umat beragama disebut secara jelas dan hak untuk menganut agama Yahudi, serta keyakinan lain, dan Islam di antara warga negara di Madinah dihargai secara sama dan tidak dibedakan.

Dari Al Qur’an yang menyebut eksistensi kafir, Yahudi, Nasrani, Majusi alias Zoroaster dan agama-agama lainnya serta keyakinan lain menunjukkan adanya sunnatullah – hukum Allah, hukum alam, bahwa eksistensi agama-agama disebut dalam Al Qur’an. Bahkan Al Qur’an pun menyebut tentang lakum dinnukum waliyaddin: bagiku agamaku, bagimu agamamu.

Fungsi Al Qur’an sebagai pegangan dan petunjuk berlaku selamanya sampai akhir zaman dan semua ketentuan berlaku tanpa revisi dan memiliki kebenaran abadi. Maka pernyataan adanya toleransi tentang eksistensi agama-agama pun dijamin akan tetap ada sepanjang zaman dan dijamin oleh Al Qur’an dan Allah SWT.

Konteks kafir menurut Al Qur’an bisa memiliki makna kufur al-ni`mah alias kufur nikmat Al Baqarah: 152,  kufur at-tabarri alias melepaskan diri Al Mumtahanah: 4, kufur al-juhud berarti mengingkari sesuatu dalam Al Baqarah: 89, kufur at-taghtiyah bermakna menanam atau mengubur sesuatu Al Hadid: 20, dan kufur at-tauhid yakni menolak tauhid dalam Al Baqarah: 6.

Al Qur’an menyampaikan seluruh kebenaran bukan untuk ditujukan menyebarkan kebencian di antara umat manusia. Allah SWT pun adalah rabbul alamin – Rabb atau Tuhan bagi seluruh alam termasuk semua isinya. Al Qur’an sebagai petunjuk kebenaran bagi yang mau beriman namun tidak ada perintah untuk membunuh dan melukai orang kafir atau non-kafir. Kebenaran dan hidayah menjadi jaminan yang datangnya dari Allah SWT. Roh tentang pernyataan dalam Al Qur’an tentang kafir, kuffar  bukan ditujukan untuk membenci non-mukmin dan non-Islam.  

Maka Dwi Estiningsih yang melakukan cuitan untuk menyebut orang lain sebagai kafir hanyalah ciutan berdasarkan keinginan Dwi Estiningsih berdasarkan kehendak pribadi. Tentang tujuannya hanya Dwi Estiningsih yang tahu. Namun yang jelas Al Qur’an tidak pernah mengajarkan kebencian kepada umat lain selain non-muslim dan bahkan bagi agama-agama lain pun dijamin eksistensinya oleh Allah SWT. Dan Allah SWT pun adalah Tuhan bagi seluruh umat manusia bahkan alam semesta – Rabbul alamin, Tuhan seluruh alam semesta.

Jadi dalam kaitan Dwi Estiningsih apa yang dilakukan oleh Dwi Estiningsih kader partai agama PKS itu merupakan pandangan pribadi yang Dwi Estiningsih  harus belajar tentang Piagam Madinah yang mengatur komuniatas beragam, dan Al Qur’an, serta contoh perilaku Muhammad SAW, tidak pernah mengafir-kafirkan orang Yahudi, dan menyebut orang Yahudi sebagai Yahudi, dan jauh dari tujuan menyebarkan kebencian dan niat negatif.

Pun predikat dan istilah kafir seharusnya tidak digunakan untuk menyakiti dan menyerang orang lain dan hanya dalam hati disimpan sebagai bentuk mengatur hablum minannas – hubungan antar manusia; dan keimanan sebagai bentuk hablum minallah – hubungan dengan Allah SWT. Dan, ingat bahwa Indonesia ada karena perjuangan manusia Indonesia dengan berbagai agama yang berbeda – dan yang jelas belum tentu Dwi Estiningsih akan menjadi pahlawan nasional Indonesia dengan pandangannya  yang sempit seperti itu melihat sejarah.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun