Dalam posisi seperti itu, Presiden Jokowi tidak perlu bereaksi apapun terhadap keputusan IPT. Presiden Jokowi tidak perlu masuk ke dalam kontroversi G30S atau Gestapu karena Presiden Jokowi tidak perlu menjadi pahlawan kesiangan dengan mengikuti anjuran IPT.
Keputusan IPT bukanlah kesalahan Pemerintah RI saat ini dan jika merujuk kepada upaya pemulihan, bukan pula TNI atau Presiden Bung Karno atau ormas Islam atau para korban peristiwa 1965-1966, yang harus dipersalahkan, melainkan yang semestinya menjelaskan adalah eyang saya Presiden Soeharto. Eyang saya Presiden Soeharto-lah yang paling banyak tahu tentang peristiwa pembunuhan massal 1965-1966.
Namun, sayang eyang saya Presiden Soeharto telah masuk ke dalam surga – dan peristiwa itu dibawa ke keabadian sebagaimana naskah asli Supersemar pun ikut terbawa hilang ditelan bumi bersama dengan eyang saya Presiden Soeharto.
Jadi, Presiden Jokowi tidaklah perlu bertanggung jawab terhadap pemulihan keamanan yang dilakukan oleh eyang saya Presiden Soeharto pada 1965-1966. Jangan sampai terjadi “bapak polah anak kepradah” dalam peristiwa pembunuhan 1965-1966. Presiden Jokowi tidak mesti bertanggung jawab kepada kelakuan eyang saya Presiden Soeharto. Toh para presiden sebelumnya seperti Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden Megawati pun tidak mau memikul tanggung jawab politik terkait peristiwa 1965-1966.
Maka, membaca catatan panjang di atas, Presiden Jokowi (1) tidak perlu bertindak apapun untuk menanggapi International People’s Tribunal (IPT), (2) tidak perlu meminta maaf kepada para korban PKI, apalagi meminta maaf pada PKI, dan (3) keputusan pengadilan rakyat internasional itu tak bermakna yuridis apapun. Demikian Ki Sabdopanditoratu dan the Operators.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H