Pembunuhan atau genosida 1965-1966 memang benar-benar terjadi. Pembunuhan terhadap anak bangsa baik yang pro-PKI, anti-PKI, dan simpatisan PKI atau pun anti PKI terjadi. Yang menjadi kontroversi sampai saat ini hanya (1) jumlah, dan (2) pihak yang bertanggung jawab. Pengadilan International People’s Tribunal di Den Hague memerintahkan pemerintah Indonesia, c.q. Presiden Jokowi, untuk meminta maaf atas peristiwa genoside di masa rezim eyang saya Presiden Soeharto yang dianggap terbesar di dunia yang menewaskan antara 500 sampai 1 juta anak bangsa Indonesia.
Mari kita telaah peristiwa genosida 1965 dengan perspektif kenegaraan, politik, hukum, dan keadilan dengan hati jauh dari gembira ria riang senang suka bahagia menari menyanyi berdansa pesta-pora suka-cita tertawa selamanya senantiasa dalam konteks peristiwa di masa eyang saya Presiden Soeharto untuk dipertanggungkan kepada Presiden Jokowi.
Tak dapat disangkal bahwa telah terjadi pembunuhan pada 1965-1966. Orkestrasi pembunuhan disebabkan oleh lima kondisi yang terbangun dengan begitu saling mengait: (1) kekuatan masif PKI, (2) sentimen anti PKI, (3) posisi Presiden Bung Karno yang negarawan, (4) persaingan internal di TNI, dan (5) the rising star ambisius Mayjen Soeharto – di kemudian hari dikenal sebagai eyang saya Presiden Soeharto.
Pertama, kekuatan masif PKI. Pada 1965, dengan lebih 2 juta anggota, PKI menjadi organisasi terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Kekuatan masif PKI di pemerintahan begitu luar biasa. Meski hanya jumlah kursi tak melebihi 16%, keanggotaan PKI yang besar (2) telah membuat para partai seperti Partai Masyumi merasa tersaingi dan meminta Presiden Soekarno untuk membubarkannya sejak 1962.
Kelihaian PKI masuk ke dalam pemerintahan dengan memanfaatkan kecenderungan Bung Karno yang tengah menggelorakan Konfrontasi dengan Malaysia dan Perjuangan Dwikora Pembebasan Irian Barat pada 1962. Dipa Nusantara Aidit mampu merebut hati Bung Karno bahkan dengan pengusulan untuk membentuk Angkatan ke-5, Buruh dan Tani – dengan mendukung mobilisasi untuk keperluan konfrontasi dengan Malaysia.
Darah nasionalisme Presiden Bung Karno menggelegak. Di tengah para partai yang loyo dan berebut ideologi antara Islam dan Nasionalis, PKI tampil mendukung PNI. Para partai lain yang mengangkat ideologi wahabiah dan khilafah tersingkir. Bahkan akibat kecerdikan PKI, Partai Nahdlatul Ulam dan Masyumi saling berseberangan. Polarisasi para parpol menjadi menarik: PNI mendapat dukungan PKI dan Masyumi serta NU di posisi berseberangan.
NU yang selalu mewakili kalangan ahlus sunnah wal jamaah – dan selalu dekat dengan militer dan memang militer lahir dari rakyat – pada masa 1960-1965, ketika PKI sedang Berjaya hanya merapatkan barisan kepada militer. NU memercayai bahwa hanya kekuatan TNI yang bisa dan boleh menguasai senjata. Maka NU dan TNI menentang rencana PKI memersenjatai rakyat dengan angkatan ke-5-nya.
Posisi politik PKI yang dominan dalam pemerintahan Presiden Soekarno membuat polarisasi nyata kalangan pendukung PKI dan anti-PKI di dalam masyarakat bertumbuh. Presiden Bung Karno yang dikelilingi oleh banyak tokoh PKI seperti DN Aidit – yang asli Bangka-Belitung seperti juga Yusril Ihza Mahendra – dan Njoto yang sangat menguasai komunikasi personal dan menelikung.
Di kalangan rakyat kebesaran PKI menarik dukungan sehingga melahirkan gerakan revolusioner – yang bahkan hampit menyamai revolusi Bung Karno dalam skala gerakannya. PKI berhasil membangun jaringan di seluruh lini kehidupan, di jawatan, di pemerintahan, dan hanya sedikit berhasil di TNI. Organisasi massa bentukan dan underbouw PKI berdiri di seantero Indonesia.
Organisasi sayap dibentuk yakni CGMI, gerakan pemuda berbentuk Pemuda Rakjat, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Barisan Tani Indonesia (BTI), dibentuk. Corong media pun menggelora: Harian Rakjat. Dengan kelihaian komunikasi dan propaganda yang luar biasa, PKI membangun dirinya melebihi banyangannya sendiri.
Bahkan konseptor paling ulung di Indonesia, Presiden Bung Karno pun mengadopsi pemikiran paling kontroversial yang sampai saat ini masih terdengar aneh: Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunis) sebagai pilar bangsa. Pada masa itu, realitas politik dan kekuatan PKI mengelabuhi kenyataan polarisasi yang terbangun oleh intrik dominasi kekuasan PKI, antara kalangan anti PKI dan pendukung PKI – yang jelas membahayakan bangsa dan negara. Hanya saat itu penjaga netral adalah TNI, militer Indonesia.