Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

1965-1966, Presiden Soeharto dan Presiden Jokowi dalam "Bapak Polah Anak Kepradah"

25 Juli 2016   01:14 Diperbarui: 25 Juli 2016   02:30 4776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto dan Bung Karno I Sumber Rosodaras.wordpress.com

Pembunuhan atau genosida 1965-1966 memang benar-benar terjadi. Pembunuhan terhadap anak bangsa baik yang pro-PKI, anti-PKI, dan simpatisan PKI atau pun anti PKI terjadi. Yang menjadi kontroversi sampai saat ini hanya (1) jumlah, dan (2) pihak yang bertanggung jawab. Pengadilan International People’s Tribunal di Den Hague memerintahkan pemerintah Indonesia, c.q. Presiden Jokowi, untuk meminta maaf atas peristiwa genoside di masa rezim eyang saya Presiden Soeharto yang dianggap terbesar di dunia yang menewaskan antara 500 sampai 1 juta anak bangsa Indonesia.

Mari kita telaah peristiwa genosida 1965 dengan perspektif kenegaraan, politik, hukum, dan keadilan dengan hati jauh dari gembira ria riang senang suka bahagia menari menyanyi berdansa pesta-pora suka-cita tertawa selamanya senantiasa dalam konteks peristiwa di masa eyang saya Presiden Soeharto untuk dipertanggungkan kepada Presiden Jokowi.

Tak dapat disangkal bahwa telah terjadi pembunuhan pada 1965-1966. Orkestrasi pembunuhan disebabkan oleh lima kondisi yang terbangun dengan begitu saling mengait: (1) kekuatan masif PKI, (2) sentimen anti PKI, (3) posisi Presiden Bung Karno yang negarawan, (4) persaingan internal di TNI, dan (5) the rising star ambisius Mayjen Soeharto – di kemudian hari dikenal sebagai eyang saya Presiden Soeharto.

Pertama, kekuatan masif PKI. Pada 1965, dengan lebih 2 juta anggota, PKI menjadi organisasi terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Kekuatan masif PKI di pemerintahan begitu luar biasa. Meski hanya jumlah kursi tak melebihi 16%, keanggotaan PKI yang besar (2) telah membuat para partai seperti Partai Masyumi merasa tersaingi dan meminta Presiden Soekarno untuk membubarkannya sejak 1962.

Kelihaian PKI masuk ke dalam pemerintahan dengan memanfaatkan kecenderungan Bung Karno yang tengah menggelorakan Konfrontasi dengan Malaysia dan Perjuangan Dwikora Pembebasan Irian Barat pada 1962. Dipa Nusantara Aidit mampu merebut hati Bung Karno bahkan dengan pengusulan untuk membentuk Angkatan ke-5, Buruh dan Tani – dengan mendukung mobilisasi untuk keperluan konfrontasi dengan Malaysia.

Darah nasionalisme Presiden Bung Karno menggelegak. Di tengah para partai yang loyo dan berebut ideologi antara Islam dan Nasionalis, PKI tampil mendukung PNI. Para partai lain yang mengangkat ideologi wahabiah dan khilafah tersingkir. Bahkan akibat kecerdikan PKI, Partai Nahdlatul Ulam dan Masyumi saling berseberangan. Polarisasi para parpol menjadi menarik: PNI mendapat dukungan PKI dan Masyumi serta NU di posisi berseberangan.

NU yang selalu mewakili kalangan ahlus sunnah wal jamaah – dan selalu dekat dengan militer dan memang militer lahir dari rakyat – pada masa 1960-1965, ketika PKI sedang Berjaya hanya merapatkan barisan kepada militer. NU memercayai bahwa hanya kekuatan TNI yang bisa dan boleh menguasai senjata. Maka NU dan TNI menentang rencana PKI memersenjatai rakyat dengan angkatan ke-5-nya.

Posisi politik PKI yang dominan dalam pemerintahan Presiden Soekarno membuat polarisasi nyata kalangan pendukung PKI dan anti-PKI di dalam masyarakat bertumbuh. Presiden Bung Karno yang dikelilingi oleh banyak tokoh PKI seperti DN Aidit – yang asli Bangka-Belitung seperti juga Yusril Ihza Mahendra – dan Njoto yang sangat menguasai komunikasi personal dan menelikung.

Di kalangan rakyat kebesaran PKI menarik dukungan sehingga melahirkan gerakan revolusioner – yang bahkan hampit menyamai revolusi Bung Karno dalam skala gerakannya. PKI berhasil membangun jaringan di seluruh lini kehidupan, di jawatan, di pemerintahan, dan hanya sedikit berhasil di TNI. Organisasi massa bentukan dan underbouw PKI berdiri di seantero Indonesia.

Organisasi sayap dibentuk yakni CGMI, gerakan pemuda berbentuk Pemuda Rakjat, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Barisan Tani Indonesia (BTI), dibentuk. Corong media pun menggelora: Harian Rakjat. Dengan kelihaian komunikasi dan propaganda yang luar biasa, PKI membangun dirinya melebihi banyangannya sendiri.

Bahkan konseptor paling ulung di Indonesia, Presiden Bung Karno pun mengadopsi pemikiran paling kontroversial yang sampai saat ini masih terdengar aneh: Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunis) sebagai pilar bangsa. Pada masa itu, realitas politik dan kekuatan PKI mengelabuhi kenyataan polarisasi yang terbangun oleh intrik dominasi kekuasan PKI, antara kalangan anti PKI dan pendukung PKI – yang jelas membahayakan bangsa dan negara. Hanya saat itu penjaga netral adalah TNI, militer Indonesia.

Sejarah berdirinya PKI pun – sebagai organisasi politik seteleh dibentuk pada 1914, para tokoh PKI adalah tokoh-tokoh Islam dan beragama Islam. Bahkan lambang PKI pun Palu Arit berada di tengah Bintang Segi Lima. Cara komunikasi politik simbolisme PKI mampu menarik rakyat beragama Islam untuk masuk ke dalam gerakan PKI sejak 1914, sampai pemberontakan 1926, dan 1948.

Ciri yang menarik dari komunis adalah gerakan yang revolusioner cocok untuk kalangan yang merasa tertindas dan menderita. Bayangkan hanya dalam 2 tahun PKI kembali bangkit setelah Pemberontakan Madiun dan pada 1955 meraih posisi keempat sebagai parpol terbesar. Bahkan lima tahun kemudian pada 1960 keanggotaannya mencapai 3 juta anggota.

Kedua, terbangun sentimen anti PKI. Kekuatan PKI yang cenderung revolusioner-progresif dengan (1) memandang remeh militer,(2) melihat sebelah mata parpol lain seperti NU dan Masyumi, (3) memerkuat bisikan kepada Presiden Bung Karno, (4) propaganda masif yang agitatif nan cerdas, (5) telah secara tidak sadar membuat polarisasi antara pendukung PKI dan anti PKI. Keadaan politik sosial yang terbelah pada masa 1962-1965 telah membuat kekhawatiran TNI dan kalangan penentang PKI di dalam masyarakat.

Ketiga, posisi Presiden Bung Karno sebagai negarawan. Dalam posisi dominasi PKI dalam politik seperti itu, Bung Karno yang memahami kekuatan nasionalis sesungguhnya ada di TNI dan rakyat, Bung Karno mengambil posisi antara TNI dan PKI. PKI dilihat oleh Bung Karno sebagai kekuatan nyata yang mengakar di masyarakat – dengan Bung Karno tampaknya melupakan posisi kekuatan terbesar rakyat Indonesia yakni NU (dengan Partai NU) dan Muhammadiyah (dengan Masyumi). Bung Karno terkecoh dengan kanyataan bahwa sesungguhnya yang berada di dalam keanggotaan PKI adalah anak-anak bangsa yang sebagian terbesar adalah masyrakat Islam baik di kalangan NU maupun Muhammadiyah.

Keempat, persaingan di tubuh TNI atau militer. Di dalam tubuh TNI pun tampak kesatuan yang solid di antara berbagai angkatan. Hanya di dalam Angkatan Darat ada berbagai organ yang saling memengaruhi bahkan menggambarkan kekuatan pengaruh antara 3 kelompok. Pertama, kekuatan senior Jenderal AH Nasution, kedua, perwira brilian Jenderal Ahmad Yani, dan ketiga, kalangan kelompok perwira binaan Mayjen Soeharto – kelak menjadi eyang saya Presiden Soeharto.

Catatan buruk Mayjen Soeharto ketika bertugas di Jawa Tengah sebagai Komandan Komando Daerah Teritorial Pangdam IV Diponegoro pernah dipecat oleh AH Nasution. (Pasca Gestapo 1965, AH Nasution yang juga menjadi target hanya dilukai namun setelah Supersemar AH Nasution dibungkam sampai akhir hayatnya.) Dengan Jenderal Ahmad Yani, fakta nyatanya adalah bahwa Presiden Bung Karno sangat jelas menjadikan Ahmad Yani sebagai putra mahkota untuk menggantikan Bung Karno sebagai pengganti Bung Karno di kemudian hari. Hal ini disetujui oleh AH Nasution dan mendapat dukungan kalanganrakyat karena Ahmad Yani adalah sosok militer hebat sebagaimana AH Nasution. Semua persyaratan revolusioner dan militer dimiliki oleh Ahmad Yani.

Posisi Ahmad Yani sebagai Putra Mahkota yang begitu hebat ini membuat PKI jengah. Kejengangan di TNI tidak begitu tampak jelas. Namun yang sangat jelas, hubungan mesra di antara kalangan militer itu membangunkan rising star di TNI yang baru: Mayjen Soeharto. Riwayat pernah dipecat menjadi catatan hitam bagi Mayjen Soeharto terutama terhadap AH Nasution – dan para pendukungnya termasuk Ahmad Yani. (Sentimen pengalaman pribadi ini terbawa menjadi kredo politik dan kekuasan kelak oleh eyang saya Presiden Soeharto – yang mengekusekusi keputusan dengan begitu dingin nyaris tanpa ekspresi berlebihan, paling tersenyum. Eyang saya Presiden Soeharto sangat jarang tertawa ngakak untuk menjaga kewibawaan.)

Bangunan sentimen politik dan sosial sejak 1960 sampai 1965 meledak ketika Bung Karno dianggap gagal bertindak, pasca Gestapo 1965. Pembunuhan politik terhadap para perwira tinggi termasuk Jenderal Ahmad Yani dan 6 perwira lainnya melahirkan the rising star Mayjen Soeharto. Peristiwa pembunuhan politik terhadap militer mendapatkan reaksi dan PKI – dengan Letkol Untung-nya – menjadi pihak tertuduh nomor satu. Sejak saat itu, sentimen anti dan pro-PKI merebak di semua level masyarakat.

Bung Karno mendapat tekanan dari kalangan militer untuk bersikap tegas terhadap PKI – yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap para jenderal. Namun, melihat rivalitas antara PKI dan TNI pada saat itu dan bayangan kekuatan nyata PKI – yang menjadi mitor – telah membuat Bung Karno sebagai negarawan yang mencintai rakyat, bangsa, dan negaranya dalam posisi sulit.

Posisi dilematis Presiden Bung Karno itu, ditambah dengan peristiwa pembantaian 7 jenderal TNI, menjadikan kesempatan bagi maneuver paling brilian the new rising star: Mayjen Soeharto. Dialah satu-satunya perwira tinggi selain AH Nasution – setelah tewasnya Ahmad Yani – yang ‘memajukan diri’ dan ‘menonjolkan diri’ untuk tampil menjadi ‘penyelamat bangsa’, dengan dua pertaruhan. Pertaruhan pertama adalah menyingkirkan PKI dari pemerintahan, kedua menaikkan diri sebagai ‘orang penting’ dengan embel-embel perwira TNI dan ‘dekat’ dengan Presiden Bung Karno.

Kondisi politik dan sosial pasca pembantaian para perwira tinggi militer pada 30 September 1965 yang (1) penuh ketegangan, dengan (2) sentiment antara PKI dan pendukungnya dengan para penentang PKI, (3) serta ketidaksenangan TNI dengan rancangan Angkatan Kelima dan (4) PKI yang dominan dalam pemerintahan, (5) posisi Presiden Bung Karno yang dilematis, menjadi kesempatan besar bagi the rising star Mayjen Soeharto – yang akhirnya mendapatkan legitimasi berupa Supersemar yang diperluas dan dimaknai sesuai dengan kemauan interpretasi Mayjen Soeharto.

Naiknya kekuatan baru politikus-militer, perwira ambisius, the rising star Mayjen Soeharto. Antara September 1965 sampai dengan 6 bulan berikutnya, kondisi politik menjadi genting, dengan puncaknya Supersemar menjadi alat bagi Mayjen Soeharto untuk (1) memulihkan keadaan, dengan membubarkan PKI, (2) lalu mengambil-alih pemerintahan, (3) pembersihan pemerintahan dari unsur PKI, (4) mengembalikan hegemoni TNI dengan menyingkirkan peran dan pengaruh PKI di semua lembaga dan pemerintahan. Presiden Bung Karno terperanjat dan marah besar Mayjen Soeharto bertindak dan menganggap Supersemar sebagai penyerahan kekuasaan.

Berbagai sentimen yang sudah terbangun, segera setelah G 30 S atau Gestapu 1965, Mayjen Soeharto langsung menyatakan PKI bertanggung jawab atas peristiwa itu. Maka perburuan dilakukan terhadap semua pimpinan PKI, anggota dan simpatisanya. Selain Letkol Untung yang dianggap sebagai pemimpin pembunuhan atas yang disebut Dewan Jenderal, DN Aidit pun diburu dan dieksekusi pada 23 November 1965 – kurang dari dua bulan sejak 30 September 1965. Pembunuhan tanpa pengadilan berlarut dan bahkan pengadilan kilat terjadi. Hari ini dipustuskan bersalah, esok dilakukan eksekusi.

Pasca 30 September 1965, pembunuhan politik baik yang dilakukan oleh (1) PKI, maupun oleh ‘rakyat’ di Jawa Tengah dan Bali, maupun yang dilakukan oleh ‘rakyat’ dengan koordinasi dan pembersihan atas perintah dari kepanjangan tangan Mayjen Soeharto, berlangsung secara masif. Ratusan ribu rakyat baik anggota PKI atau simpatisan yang dibunuh oleh ‘rakyat’ dan rakyat yang dibunuh oleh PKI terjadi akibat terbangunnya sentimen atheism PKI.

Pembunuhan menjadi begitu leluasa terjadi di Jawa Tengah di dalam masyarakat yang terbangun antara partai politik Islam. Di Bali pembunuhan terjadi dengan atas nama pembelaan ideologi Hindu – namun khusus di Bali unsur TNI justru membantu melakukan pencegahan hingga tidak semengerikan yang terjadi di Jawa Tengah dan sedikit di Jawa Timur.

Pada masa 1965-1966, berbagai sentimen antara (1) keagaamaan melawan ideologi komunis merebak, (2) persaingan partai politik Islam dengan PKI, (3) Presiden Bung Karno yang tidak menghendaki pertumpahan darah antara anak bangsa, (4) persaingan di tubuh TNI AD khususnya dengan munculnya the rising star Mayjen Soeharto, (5) jebakan politik sehingga PKI bertindak di luar logika sebagai partai penguasa dengan peristiwa pembantaian 7 perwira yang dipimpin oleh Letkol Untung, serta (6) momentum untuk bermanuver bagi Mayjen Soeharto untuk menggantikan Presiden Bung Karno.

Dalam posisi kuat itu sejak 30 September 1965 sampai November 1966, rangkaian pembunuhan terjadi baik terhadap anggota, simpatisan, dan bukan anggota PKI yang dituduh sebagai PKI atau simpatisannya. PKI pun melakukan perlawanan dengan melakukan pembunuhan – baik sebagai upaya perlawanan atau pertahanan diri sebelum dan pasca Gestapu 1965. Pembuhan sebagai serangan balik – sejak penetapan PKI sebagai yang bertanggung jawab yang dilontarkan oleh Mayjen Soeharto – oleh musuh PKI yang termakan 6 sentimen dan kondisi sosial politik, dilakukan secara masif.

Yang sampai sekarang masih gelap adalah berbagai macam eksekusi oleh PKI terhadap rakyat maupun oleh musuh PKI terhadap anggota atau simpatisan atau yang dituduh angota/simpatisan PKI, secara sadar dan jelas tampak adanya pembiaran dan bahkan memiliki komando pemulihan bernama Letjen Sarwo Edhie Wibowo. Namun, semua tindakan pemulihan itu mengakibatkan pembantaian baik anggota PKI maupun musuh PKI dengan jumlah ratusan ribu antara 500,000 sampai 1,000,000 nyawa melayang.   

Kini, Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) di Den Haag memerintahkan Presiden Jokowi untuk meminta maaf. Apa yang harus dilakukan oleh Presiden Jokowi?

Dalam konteks sejarah yang terpapar di atas, hanya Presiden Gus Dur yang berani berinisiatif melakukan rekonsiliasi – dengan meminta maaf atas nama tokoh NU atas keterlibatan NU dalam pembunuhan 1965-1966. Namun, Presiden Gus Dur saat itu bertindak bukan atas nama Pemerintah Indonesia. Presiden Gus Dur pun melihat peristiwa pembunuhan 1965 bukan hanya mengorbankan rakyat terkait PKI, namun juga rakyat yang menjadi korban pembunuhan oleh PKI. Peristiwa pembunuhan 1965-1966 adalah peristiwa yang absurd dan tidak ditemukan motif yang jelas selain bangunan sentimen berbagai pihak yang terbangun seperti tersebut di atas.

Untuk itu, Presiden Gus Dur pun tak berani bertindak meminta maaf atas nama pemerintah RI – padahal Presiden Gus Dur memiliki dukungan kuat NU. Alasannya adalah yang menjadi korban peristiwa 1965-1966 bukanlah institusi pemerintah baik TNI, Presiden Bung Karno, maupun PKI atau musuh PKI. Yang pasti adalah peristiwa pembunuhan 1965-1966 menjadi kelanjutan atau trigger bagi pembunuhan atas para anggota PKI dan bahkan musuh PKI juga menjadi korban. Jumlah 500 ribu sampai 1 juta jiwa melayang bukanlah sebagaimana disebut oleh IPT Den Haag yang seolah menggambarkan peristiwa pembunuhan yang didalangi jelas oleh satu pihak.

Peristiwa genosida Rwanda, Bosnia, Nazi, Kamboja, Palestina, secara jelas menunjukkan pihak yang melakukan pembunuhan. Genosida 1965 adalah peristiwa pembunuhan antar kelompok kepentingan – dengan tangan kotor dan maneuver kepentingan untuk merebut kekuasan dari Presiden Bung Karno.

Dalam posisi seperti itu, Presiden Jokowi tidak perlu bereaksi apapun terhadap keputusan IPT. Presiden Jokowi tidak perlu masuk ke dalam kontroversi G30S atau Gestapu karena Presiden Jokowi tidak perlu menjadi pahlawan kesiangan dengan mengikuti anjuran IPT.

Keputusan IPT bukanlah kesalahan Pemerintah RI saat ini dan jika merujuk kepada upaya pemulihan, bukan pula TNI atau Presiden Bung Karno atau ormas Islam atau para korban peristiwa 1965-1966, yang harus dipersalahkan, melainkan yang semestinya menjelaskan adalah eyang saya Presiden Soeharto. Eyang saya Presiden Soeharto-lah yang paling banyak tahu tentang peristiwa pembunuhan massal 1965-1966.

Namun, sayang eyang saya Presiden Soeharto telah masuk ke dalam surga – dan peristiwa itu dibawa ke keabadian sebagaimana naskah asli Supersemar pun ikut terbawa hilang ditelan bumi bersama dengan eyang saya Presiden Soeharto.

Jadi, Presiden Jokowi tidaklah perlu bertanggung jawab terhadap pemulihan keamanan yang dilakukan oleh eyang saya Presiden Soeharto pada 1965-1966. Jangan sampai terjadi “bapak polah anak kepradah” dalam peristiwa pembunuhan 1965-1966. Presiden Jokowi tidak mesti bertanggung jawab kepada kelakuan eyang saya Presiden Soeharto. Toh para presiden sebelumnya seperti Presiden BJ Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden Megawati pun tidak mau memikul tanggung jawab politik terkait peristiwa 1965-1966.

Maka, membaca catatan panjang di atas, Presiden Jokowi (1) tidak perlu bertindak apapun untuk menanggapi International People’s Tribunal (IPT), (2) tidak perlu meminta maaf kepada para korban PKI, apalagi meminta maaf pada PKI, dan (3) keputusan pengadilan rakyat internasional itu tak bermakna yuridis apapun. Demikian Ki Sabdopanditoratu dan the Operators.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun