Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Santoso Tewas, Pesan untuk Presiden Jokowi, Prinsip "Actus Reus dan Mens Rea" di UU Terorisme

21 Juli 2016   10:45 Diperbarui: 21 Juli 2016   15:16 4034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Santoso berhasil ditewaskan. Tewasnya pentolan teroris Santoso alias Abu Wardah oleh operasi gabungan TNI-Densus 88 mendorong efektivitas kerja sama TNI-Polri dalam memberantas korupsi. Kini penguatan dilakukan dengan kewenangan TNI untuk melakukan tindakan. Namun, isu kerja sama ini berhasil menutupi pasal krusial, yakni prinsip actus reus dan mens rea (menindak dengan tanpa kecukupan alat bukti) dalam revisi UU Terorisme. Indonesia dan Presiden Jokowi dalam hal UU Terorisme musti belajar dari Internal Security Act (ISA) Singapura dan the Security Offences (Special Measures) Act Malaysia. Tanpa prinsip tersebut, revisi menjadi tidak bermakna, tidak bergigi.

Mari kita telaah upaya DPR yang lalai – dan unsur di bawah tanah terorisme – sekaligus peringatan kepada Presiden Jokowi dan DPR, yang terkecoh dan hanya mengarahkan pada upaya standar kerja sama TNI-Polri dengan hati jauh dari gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita menari menyanyi berdansa karena jauh dari harapan revisi UU Terorisme ala SOSMA dan ISA di Malaysia dan di Singapura selamanya senantiasa.

Tantangan terorisme di Malaysia, Singapura – Filipina dan Thailand – dan Indonesia sama: radikalisme Islam dan eksklusivisme ideologi. Kelima negara ini menghadapi ancaman terorisme dari unsur Jamaah Islamiyah, cabang Al Qaeda sejak berakhirnya Perang Afghanistan, plus ISIS yang melancarkan gerakan radikal terorisme di Asia Tenggara. Dari kelima negara itu Indonesia mengalami serangan terorisme paling banyak: lebih dari 100 serangan dan ancaman sejak 1999, diawali dengan rangkaian serangan Bom Natal. Terdapat ratusan penggagalan serangan oleh Densus 88 yang berhasil menyelamatkan ratusan potensi korban.

Puncak terorisme di Indonesia terjadi dengan serangan Bom Bali I dan Bom Bali II serta Bom JW Marriot, Kedutaan Besar Australia, dan tentu serangan terhadap BEJ, kini Bursa Efek Indonesia. Semua pelakunya adalah tiga kelompok dengan embrio: eks esktrimis Afghanistan dengan home ground kalangan pesantren radikal semacam Ponpes Ngruki, Jawa Tengah pimpinan teroris Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.

Tewasnya Santoso dimanfaatkan oleh kalangan pendukung khilafah – dalam hati dan bersembunyi di balik HAM dan teknik strategi meminjam sentiment SARA – untuk menjauhkan Revisi UU Terorisme dari doktrin pre-emptive measures . Pasal untuk melakukan tindakan ketika embrio terorisme muncul untuk ditindak tidak dimasukkan dalam UU Terorisme. Artinya revisi hanya mengatur pasal-pasal kerja sama, pengawasan, koordinasi, dan bukan tindakan untuk menumpas akar dan bibit terorisme. Indonesia seharusnya belajar dari Singapura dan Malaysia.

Internal Security Act  (ISA) alias Undang-undang Keamanan Dalam Negeri di Malaysia dan Singapura telah terbukti mampu menghancurkan bibit dan niatan terorisme yang mengancam Negara. Catatan tentang aksi terorisme di Singapura dan Malaysia menunjukkan angka jauh rendah dibandingkan dengan di Indonesia.

Singapura dalam sejarahnya hanya mengalami 3 kali serangan sejak 1965. Serangan pertama terjadi pada pemboman McDonald House, lalu pada 1974 serangan oleh Tentara Merah epang dan PLO, serta pada 1991 berupa pembajakan pesawat Singapore Airlines SIA 117 yang dilakukan oleh pendukung PPP Pakistan.

Berdasarkan ISA, Singapura melakukan penangkapan dan penggagalan terhadap rencana serangan teror pada 2001 dengan menangkap 15 orang. Rancangan serangan menargetkan kepentingan Amerika, Konsulat Jenderal, Komisi Tinggi Australia di Singapura, konvoi pasukan mariner Amerika, dan kapal perang Amerika di Singapura. Pada 2002, 21 anggota Jamaah Islamiyah juga ditangkap sebelum tindakan teror dilakukan.

ISA di Singapura berdasarkan informasi Kementerian Dalam Negeri Singapura didapatkan berbagai informasi dari teroris. ISA membolehkan penangkapan dan penahanan tanpa bukti awal yang cukup. Hasilnya, SIA mampu menghentikan gerakan teroris Jamaah Islamiyah di Singapura. Kutipan data intelejen dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan data menarik.

Di Singapura, para anggota Jamaah Islamiyah yang ditangkap pada Desember 2001 membeberkan bahwa visi awal mereka adalah Indonesia Islam yang belakangan diperluas menjadi visi Daulah Islamiyah Nusantara yang meliputi Malaysia, Indonesia, dan Mindanao, dengan Singapura dan Brunei tak terelakkan masuk ke dalamnya.

Dalam perang melawan terorisme, Singapura menerapkan strategi dengan program Total Defense alias Pertahanan Semesta. Pertahanan Total ini melibatkan sistem pertahanan (1) militer, (2) sipil, (3) ekonomi, (4) sosial, (5) psikologi. Kelima hal ini dijalankan secara komprehensif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun