Dukungan Presiden Jokowi kepada Ahok ini tentu menyulitkan posisi Presiden Megawati dan PDIP yang alergi terhadap Ahok. Namun, di sisi lain Presiden Jokowi semakin menunjukkan sikap independen seperti mengangkat Tito Karnavian dan mengorangkan Budi Gunawan tanpa mengangkat menjadi Kapolri dengan pertimbangan jabatan yang kurang dari satu tahun.
Dalam posisi itu, Ibu Megawati dan PDIP mengalami kebingungan. Belum lagi ada upaya mengarahkan dan menyeret Ketua DPRD DKI Jakarta dan para pentolan lainnya dalam kasus Agung Podomoro. Belitan terhadap Edi Marsudi semakin membuat Ring 1 PDIP dan Ibu Megawati kebingungan menentukan sikap: (1) mendukung Ahok berarti menelan ludah sendiri dan orang lain, (2) mengusung calon lain tak ada yang bisa menandingi Ahok. Bingung.
Keenam, warga DKI Jakarta bukan orang bodoh. Fakta penting lainnya, warga DKI tidak memermasalahkan SARA dalam memilih pemimpin. Ini sudah terbukti Jokowi-Ahok menang. Pun kinerja Ahok di DKI Jakarta dalam melayani warga dengan uanga APBD DKI yang besar dapat dirasakan oleh warga DKI Jakarta.
Primordialisme ala Lulung, cercaan FPI, narasi bekas narapidana korupsi M. Taufik, koruptor M. Sanusi, politik janji ala Yusril, sodoran gambaran mimpi ala Sandiaga Uno, dan mimpi Sjafrie Sjamsoeddin, tak berhasil menarik warga DKI Jakarta. Warga DKI Jakarta bilang yang penting bukti bukan janji. Nah lho. Maka jelas PDIP pun semakin merana.
Maka karena keenam sebab di atas PDIP dan Presiden ke-6 Megawati Soekarnoputri mengalami kegalauan dengan risiko dipecundangi oleh Golkar, NasDem, dan Hanura dan di 2019 akan mengalami kehilangan suara karena sikap anti kebenaran dan anti mendukung calon yang jelas akan menang. Sesuatu yang bertolak belakang dengan keyakinan PDIP dengan Ibu Megawati-nya. Galau pada kahirnya.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H