Presiden Megawati Soekarnoputri dan elite PDIP benar-benar di persimpangan terkait pencalonan Ahok sebagai gubernur DKI. Tekanan dari pendukung, posisi Presiden Jokowi yang mendukung Ahok, dan sikap Ahok yang melakukan politik zigzag membuat Presiden Megawati dan PDIP dalam posisi kelimpungan. Kondisi diperparah oleh fakta tidak ada calon yang laku di DKI Jakarta yang bisa menandingi Ahok. Dan PDIP pun meradang.
Mari kita telaah 6 penyebab kegalauan PDIP terkait pencalonan Ahok dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia menari menyanyi berdansa suka-cita pesta pora selamanya senantiasa sambil menertawai ngakai elite Ring 1 PDIP yang kebingungan mencari calon setengah mati di tengah elektabilitas Ahok semakin moncer.
Pertama, sikap PDIP menunggu keberhasilan kriminalisasi terhadap Ahok dengan berbagai kasus setingan seperti Sumber Waras tak berhasil. Upaya sistematis keroyokan antara Golkar lama Ical yang memiliki kader di BPK menjerat Ahok lewat Sumber Waras gagal total. Pun harapan KPK yang dianggap culun dan baru di bawah tekanan Polri tak berpihak ke kubu para politikus di BPK.
Kasus UPS, dan bahkan kasus lama Bus Karatan, juga gagal membui Ahok dan justru memenjarakan kalangan DPRD DKI Jakarta. Pun masih bergulir terus menyeret banyak orang. Ahok tetap melenggang kangkung tak tersentuh.
Terakhir kasus Podomoro yang menjerat kalangan DPRD DKI Jakarta dan akan melebar ke jantung pimpinan DPRD DKI Jakarta juga gagal dialihkan ke Ahok. Justru fakta-fakta semakin nyata muncul bahwa justru rapat-rapat di DPRD DKI Jakarta diarahkan oleh para pentolan Agung Podomoro yang korup, dengan melibatkan calo kasus M. Sanusi dan kawan-kawan.
Kedua, elektabilitas Ahok semakin meninggi. Survei dari CSIS, Carta Politika, dll. menunjukkan elektabilitas Ahok di atas 50 persen jauh di atas politikus loyo Yusril, tukang membuat taman dan membagi dana hibah di Surabaya Risma, politikus dadakan culun Sandiaga Uno, pedangdut Ratna Sarumpaet dan Ahmad Dhani, dan sebagainya. Posisi Ahok yang menjulang ini menjadikan Presiden Megawati jelas meradang. Pasalnya Ibu Mega hanya memilih calon berdasarkan elektabilitas survei.
Ketiga, dukungan Golkar, NasDem, dan Hanura kepada Ahok. Dukungan tiga partai kelompok Golkar ini jelas membuat Ahok di atas angina: bisa maju melalui jalur parpol dan jalur independen sekaligus. Padahal awalnya PDIP bersikap jual mahal dan mengajak Ahok untuk bersabar menunggu keputusan Ibu Mega. Namun karena pelintiran dan sepak terjang Ring 1 PDIP yang dekat dengan kalangan DPRD DKI Jakarta yang kurang bisa menikmati anggaran APBD DKI, Ahok diadu banteng dengan Ibu Megawati.
Awalnya kelihatan Ibu Mega di atas angina dan tersinggung berat dan menyebut Ahok melakukan deparpolisasi terhadap parpol. Ahok pun menoleh ke Teman Ahok sebagai benteng penjagaan agar peluang maju ke pencalonan tetap terjaga. Hasilnya 1 juta dukungan KTP berhasil didapatkan dan menjadi kartu as memojokkan partai termasuk PDIP.
Keempat, PDIP gagal mendapatkan calon yang mampu menandingi Ahok. Berbagai upaya PDIP dengan Gerindra serta parpol lain yang getol mencari sosok selain Ahok gagal total. Yang muncul justru politikus tak laku dan menteri yang dipecat rezim SBY, si Yusril yang tak tahu malu. Presiden Megawati pun tertawa geli melihat Yusril bermohon-mohon minta PDIP mencalonkan Yusril – suatu hal yang kalangan Ring 1 yang waras saja tak mau mendukung. Bahkan PAN melalui tukang mencla-mencle Amien Rais yang tak membayar nazar dan akan segera menemui bayarannya menyebut asal bukan Ahok sebagai gubernur.
Calon lain yang dibayangkan PDIP si Risma tukang taman dan pembagi dana hibah juga tak laku di DKI. Djarot pun tak mampu menandingi. Wacana semakin liar menyebut siapa saja: Buwas, Sjafrie Sjamsoeddin, dll yang semuanya tak mampu menandingi Ahok.
Kelima, dukungan Presiden Jokowi kepada Ahok. Tak dapat disangkal Presiden Jokowi memiliki kepentingan mengamankan Jakarta agar tidak diobok-obok oleh orang selain sohibnya. Kriminalisasi terhadap Ahok terkait UPS, Sumber Waras, Podomoro yang hendak diarahkan kepada Ahok dari koruptor M. Sanusi, pengungkitan kasus Bus Karatan, penjualan dan pembelian tanah milik sendiri di Cengkareng, menjadi perhatian Presiden Jokowi.