Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bom Madinah dan Politik Kontradiktif Saudi Arabia di Timur Tengah

5 Juli 2016   11:12 Diperbarui: 5 Juli 2016   14:34 3568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bom mengguncang Madinah dan Arab Saudi semalam. Tak tanggung-tanggung empat bom meledak sekaligus di Jedah, Madinah dan kota di tenggara dan timur Saudi. Serangan di Madinah menjadi serangan yang menunjukkan keamanan Arab Saudi semakin rapuh. Sejak dua tahun terakhir terjadi 22 serangan bom di Arab Saudi. Terlebih lagi ledakan bom di Madinah terjadi di lingkungan masjid Nabawi – tempat tersuci kedua setelah Mekah.

Mari kita tengok latar belakang implikasi serangan bom di Madinah dan politik Arab Saudi di dalam negeri dan Timur Tengah dengan hati jauh dari bahagia ria riang senang suka-cita menyanyi menari jinngkrak-jingkrak dan menertawai politik kontradiktif Arab Saudi yang membawa kehancuran selamanya senantiasa.

Penguasa Saudi Arabia. Keluarga Saud muncul menjadi penguasa dengan strategi ala padang pasir. Ibnu Saud melakukan pernikahan dengan berbagai anak kabilah yang lemah untuk menguatkan posisi sebagai pemimpin suku. Maka seluruh kabilah utama dan emirat seperti Najaz, Hejaz, Riyadh dan lainnya di Jazirah Arab disatukan mulai tahun 1922 sampai 1932 ketika seluruh jazirah Arab ditaklukkan.

Untuk memertahankan kestabilan kekuasaan, seluruh anak-anak Ibnu Saud mendapatkan gelar pangeran dan putri – dengan hak kekuasaan hanya ada pada anak lelaki.  Maka dalam satu kesatuan hubungan kekuasaan dengan pernikahan, sehingga seluruh anak keturunan Ibnu Saud saling terkait dengan darah dan keluarga, maka diharapkan kedamaian dan kebahagiaan lahir bagi seluruh keturunan.

Ibnu Saud memiliki paling kurang 45 anak dari 23 istri yang tercatat. Istri pertama Ibnu Saud adalah Wadhah binti Muhammad bin Aqab dari Riyadh dan istri terakhir bernama Mudhi binti Abdullah Almandil Al Khalidi. Ibnu Saud juga menikah dengan berbagai istri dari berbagai wilayah dan negara seperti Baraka dari Yaman, Futayma dari Maroko, dan Nouf binti Ashalan keturunan Inggris.

Tugas yang amat susah mengelola kekuasaan berdasarkan pembagian kekuasaan yang rumit untuk 45 pengeran dan putri – yang tercatat. Dari kekerabatan pernikahan antar suku itu pula pembagian kekuasaan dilakukan untuk mengatur dan menguasai Jazirah Arab – dengan pertimbangan (1) asal suku, (2) urutan senioritas suku, (3) urutan senioritas urutan istri atau keturunan, (4) loyalitas dan kesetiaan.

Generasi ketiga keturunan Ibnu Saud telah mencapai angka ribuan. Persaingan penguasan pengelolaan kekayaan dari minyak menjadi masalah besar. Persaingan sepeninggal Ibnu Saud mulai meruncing dan menimbulkan gesekan. Puncaknya adalah pembunuhan Raja Faisal oleh keponakannya, Faisal bin Musaid bin Abdul Aziz Al Saud pada 25 Maret 1975.

Sejak pembunuhan itu, sistem keamanan dan sistem sel diterapkan di lingkaran Istana Kerajaan di Riyadh dan di istana-istana peristirahatan lainnya. Sistem perayaan dan acara keluarga dibagi berdasarkan keturunan dan dibangunlah berbagai bangunan sesuai peruntukannya seperti tempat pesta di bawah tanah khusus keluarga kerajaan – yang ribuan itu – tetap berdasarkan keturunan dan kabilah. Ini untuk mengurangi potensi keamanan.

Selain pernikahan, untuk menguatkan posisi Ibnu Saud atau Raja Abdul Aziz menggandeng gerakan Wahabi. Persekutuan ini berlangsung dan menjamin pengikut Wahabi di Arab Saudi yang sekarang berjumlah kurang dari 5 juta orang, tak sebanding dengan penganut Suni 28,5 juta dan Syiah dengan 89 juta di Teluk Persia. Kini, Wahabi secara menjadi organ dan resmi menjadi ideologi Kerajaan Saudi dan gerakan Wahabi yang puritan diekspor ke seluruh dunia.

Benteng puritan Wahabiah ini menjadi senjata utama tindakan membekap kebebasan beragama di Arab Saudi yang harus sejalan dengan paham Wahabiah. Maka, demi menguatkan diri, Wahabi menunjuk Raja Saudi sebagai pemelihara dua tempat suci: Mekah dan Madinah. Raja pun memberi kekuasaan pengeloloan kedua tempat suci Islam tersebut khusus kepada sekte Wahabi dengan menyingkirkan kalangan Sunni lainnya dan juga Syiah.

Jumlah masyarakat Wahabi di Saudi yang minim dan penganut Sunni dan Syiah yang mayoritas menjadi bom waktu. Kini Wahabisme di Arab Saudi semakin kedodoran. Demokratisasi yang dituntut oleh masyarakat Saudi di luar Keluarga Besar Kerajaan semakin membuat posisi Kerajaan dan Wahabi terancam. Aliansi pemanfaatan hukum ala Wahabi untuk melindungi kepentingan Keluarga Kerajaan semakin diketahui dan disadari oleh rakyat Saudi. Gerakan menentang Kerajaan Saudi pun bermunculan di dalam Saudi Arabia.

Tercatat sejak dua tahun terakhir ini terdapat 22 kali serangan bom dan teror di Arab Saudi. Pemicu utama gerakan dan perlawanan terhadap Keluarga Saud adalah (1) konflik kepentingan dan persaingan antar Keluarga Saud, (2) gerakan demokratisasi di Arab Saudi yang di bawah tanah, (3) semakin tidak populernya Wahabiah di Arab Saudi, (4) penguasaan kekayaan Saudi Arabia hanya di tangan penguasa monarki, (5) politik luar negeri dan dalam negeri yang kontradiktif dan membingungkan, sebagai akibat  (6) dari konflik internal Wahabi dan generasi baru Kerajaan Saud yang lebih pro demokrasi.

Politik luar negeri Saudi Arabia. Arab Saudi mendasari hubungan politik dengan dunia luar berdasarkan pada dua kepentingan: (1) menyebarkan Wahabisme, dan (2) kepentingan ekonomi. Pola hubungan yang didasari kebijakan puritan dan jumud Kerajaan Saudi yang wahabis, dan kepentingan ekonomi ini tampak sangat kontras dan kontradiktif. Semuanya bermuara kompromistis, hipokrit, dan standard ganda, baik dari pentolan Wahabisnya maupun dari Kerajaaan.

Standard ganda tersebut antara lain Arab Saudi tidak membela Palestina dan melakukan kontak dengan Israel. Bahkan Arab Saudi bersekutu dengan Amerika Serikat – tanpa Amerika Serikat Arab Saudi akan jatuh ke tangan Iran dalam seminggu. Baik Wahabi maupun Kerajaan Saudi pada saat bersamaan memusuhi Iran, Iraq yang berhaluan Syiah.

Dalam konflik Timur Tengah, posisi Arab Saudi selalu memihak yang disetujui oleh pentolan Wahabi. Contoh: pentolan Wahabi adalah pendukung ISIS dan menyerukan teroris Arab Saudi berperang di Syria dan Iraq, dengan harapan mengamankan Saudi Arabia. Wahabi pun mendukung Mursi dan Ikhawanul Muslimin (IM) di Mesir yang terjungkal.

Kini, ketika keterlibatan Arab Saudi yang hanya membenci Syiah sebagai pintu masuk intervensi di Yaman, Syria dan Lebanon, gerakan teroris berpaling ke dalam negeri Arab Saudi. Terdapat beberapa penyebab yang mengarah destabiliasasi Arab Saudi. Seperti (1) gerakan demokratisasi , (2) pelemahan Wahabi di Saudi membuat kekhawatiran baik pentolan Wahabi maupun Kerajaan. Selain itu (3) mis-manajemen dan korupsi negara dan (4) rasisme dan sukuisme dan kabilahisme di kalangan Keluarga Kerajaan.

Kondisi yang buruk itu ditutupi oleh Keluarga Kerajaan dengan berbagai cara. Namun, ketika Arab Saudi menjadi negara yang mengirimkan teroris ke Syria terbanyak, dan berhadapan dengan Assad yang didukung Russia, kesadaran bahwa politik luar negeri Saudi Arabia tidak sejalan dengan wahabisme sendiri. Keyakinan puritan para teroris menyadarkan bahwa Arab Saudi sendiri memiliki masalah dalam hal kekuasaan yang walaupun menggunakan Syariah memiliki hubungan dengan Amerika Serikat, Israel, Turki dan Eropa yang sekuler.

Pun permusuhan dengan Iran banyak dipandang oleh teroris ISIS sebagai upaya palsu melindungi kepentingan kekuasaan Keluarga Saud. Pun legitimasi penguasa Keluarga Saud dipandang oleh ISIS bukan sebagai kakhalifahan atau khilafah yang diinginkan ISIS. ISIS menginginkan Arab Saudi sepenuhnya mendukung ISIS bukan hanya membantu menyingkirkan Syiah di Yaman dan Syria serta memusuhi Iran.

Nah akibat dari politik luar negeri yang kontradiktif dan standard ganda, ditambah masalah dalam negeri, maka menjadi sangat beralasan destab ilisasi Arab Saudi di depan mata. Pun, gelombang penarikan dukungan oleh Amerika Serikat semakin besar dan menimbulkan kekhawatiran. Belum lagi Arab Saudi memusuhi Iran dan justru berteman dengan Israel. Rumit dan ruwet di tengah Jazirah Arab yang dikuasai oleh mayoritas Sunni dan Syiah dengan minoritas Wahabi yang hanya sekitar 5 juta orang itu.

Maka kini Madinah pun menjadi sasaran bom bahkan mendekati Masjid Nabawi akibat sikap politik dalam dan luar negeri yang aneh dan kontradiktif. Dan dipastikan Arab Saudi akan mengalami goncangan demi goncangan jika tidak disikapi secara politis dan akar masalah dibongkar: Wahabi dan Keluarga Kerajaan sendiri yang menjadi masalah.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun