Artinya, para pemuasa mampu (1) melawan godaan dari syaiton, setan, iblis, jin, dan godaan manusia yang membuat puasa menjadi lebih berat, (2) menjalankan puasa yang disebut sangat special oleh Allah SWT, (3) mampu membuktikan tingkat keimanan dan ketaqwaan tidak terpengaruh oleh aktivitas tak kondusif seperti bukanya warteg penyedia makan bagi para pemuasa, (4) memiliki pandangan inklusif terkait orang yang tak berpuasa termasuk 7 kelompok, dan (5) memberikan toleransi dan konsentrasi beribadah ikhlas tidak terlalu memikirkan pra-syarat di luar kemampuan para pemuasa untuk menghilangkannya, seperti adanya 7 kelompok orang tak berpuasa.
Dengan demikian, maka sebenarnya Negara tidak perlu melakukan razia terhadap warteg, orang tak berpuasa, karena meraka adalah koeksistensi antara pemuasa dan para orang tak berpuasa karena kondisi tertentu. Dengan kelapangan dan niatan husnudzon, maka insya Allah puasa yang dijalankan oleh pemuasa mendapatkan keridhoan dan sesuai dengan canangan dari Allah SWT.
Untuk itu tak perlulah melapangkan dan memanjakan para pemuasa dengan merazia dan merampas dagangan pemilik warteg, secara memalukan Negara merazia warteg – pun para non pemuasa juga harus menutup tempat makannya dan tidak show off alias pamer tak berpuasa. Itulah cara menjalani bulan suci Ramadhan baik para pemuasa maupun non pemuasa dalam kerangka kemajemukan dan pluralis saling menghargai – yang tak perlu dihargai itu koruptor.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H