Untuk itu pondasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia harus memiliki kemampuan untuk mengakomodasi seluruh stake-holders bangsa dan negara Indonesia. Solusinya adalah ideologi yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan religius, sekuler, dan tradisional serta bersifat universal.
Kisah dan latar belakang kelahiran Pancasila menjadi menarik untuk menunjukkan roh asli Pancasila yang mampu secara tepat digali dan dilahirkan oleh Bung Karno. Catatan tentang hikmat penemuan Pancasila dilandasi oleh tujuh latar belakang yang sangat mencengangkan.
Pertama, Bung Karno menyatukan seluruh potensi bangsa-bangsa di Hindia Belanda – dengan menjadi Indonesia – dengan melakukan down-graded, penurunan status bangsa (nation) seperti bangsa Langsa, Nias, Jawa, Sunda, Batak, Minang, Banjar, Moi, Ayamaru, Aceh, Bengkulu, Lampung, Ambon, Rote, Bali, Osing, Palembang, Melayu, Manado, Dayak, Sasak, dan ratusan nation lainnya hanya menjadi suku-bangsa alias sub etnik bangsa (baru) yang diciptakan oleh Bung Karno: bangsa besar Indonesia.
Dengan menghapus dan menurunkan nation Jawa, Ambon, Sunda, Madura, dll. itu, maka potensi pecah-belah Indonesia sebagai a new-born nation Indonesia menjadi lebih kecil – itulah penumpasan pemberontakan di Indonesia seperti Permesta dan DI TII dengan mudah dapat dipatahkan karena rasa nasionalisme baru sebagai bangsa (nation) baru Indonesia lahir.
Kedua, Bung Karno mengakomodasi seluruh isme, ideologi, agama, kepercayaan – dengan menyampingkan konflik eksistensi tuhan dalam polemik atheisme dan theism karena sesungguhnya atheism dan theism adalah hanya sekedar isme yang paradoksikal dan tak perlu diperdebatkan – yang diyakini oleh bangsa-bangsa (atau suku-suku bangsa) yang terdiri dari ratusan keyakinan dan kepercayaan baik dalam bentuk agama maupun kepercayaan tradisional.
Oleh sebab itu, maka kepercayaan tradisonal yang menjadi peletak dasar penganutan agama-agama impor seperti Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Kristen, Katholik, tetap hidup seperti kepercayaan bangsa Sunda asli di Badui dan Sunda Wiwitan, kepercayaan tradisional Sirri di Sulsel, Kejawen di Jawa tetap hidup sampai sekarang dan tetap tidak diganggu dalam konteks keyakinan.
Dengan kecerdasan historis dan spiritual, Bung Karno memilih kata absurd akomodatif yang sejuk: ke-Tuhan-an yang maha esa, yang diterjemahkan sebagai suatu keyakinan terhadap eksistensi tuhan yang satu – semua manusia secara alamiah meyakini tuhan tidak banyak: satu, yakni satu tuhan, bukan meyakini tuhan ini tuhan itu. Believe in (One) God. Ketuhanan yang maha esa.
Ketiga, dari ratusan nations (bangsa-bangsa) yang telah di-down-graded oleh Bung Karno menjadi suku-suku bangsa itu, tentu kelanjutannya adalah menyatukan dengan satu kalimat ajaib: Persatuan Indonesia.Â
Bung Karno selalu menyebut sejarah dan nasib dijajah Belanda selama 350 tahun sebagai sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ada nasib bersama, we are in the same boat, sehingga bangsa-bangsa Indonesia merasa sebagai satu kesatuan. Beruntung Sumpah Pemuda 1928 meletakkan dasar bangsa, bahasa, dan tanah air Indonesia.
Keempat, di mata Bung Karno penyatuan bangsa-bangsa tersebut hanya akan mungkin dilakukan jika dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, spiritual, kesejarahan, dan politik yang manusiawi yakni semua bangsa-bangsa anggota bangsa besar Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama, setara dan sederajat dalam peradaban yang maju dan berkembang. Dan, itu hanya ada dalam kemanusiaan – humanity.Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kelima, Bung Karno memandang bangsa dan negara besar Indonesia yang berakar pada demokrasi gotong-royong sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur tradisional dan akulturasi kepercayaan dan agama-agama impor (asal luar Indonesia).Â