Selain itu, kolaborasi bandar narkoba, teroris, dan koruptor dalam mengganggu stabilitas politik dan ekonomi Indonesia pun tak akan dibiarkan. Pemetaan terhadap para teroris dan afiliasinya yang sudah di depan mata dengan ujung tombak unit anti teroris Densus 88 tetap akan diberikan kekuasaan imunitas bahkan langkah pre-emptive untuk menciduk bau teror akan dilakukan dengan UU anti teroris.Â
Soal DPR yang akan membuat Dewan Pengawas Densus 88 biarkan saja sebagai mainan anak kecil agar banyak rapat di DPR sekaligus dapat uang saku hehehe.
Cara Presiden Jokowi mengatasinya adalah dengan memelototi secara pribadi dan konsisten proyek-proyek infrastruktur. Presiden Jokowi bersikap tegas dan harus memecat para pejabat yang menghambat pekerjaan – ingat SBY mengumpulkan para dirjen dan pejabat yang diangkat SBY selepas SBY pensiun dari 10 tahun penganggurannya tanpa membangun apa-apa. Hanya dengan cara tegas seperti itu Presiden Jokowi akan mencapai target pembangunan.
Terkait terorisme, pemetaan pelaku dan potensi pelaku sudah di genggaman aparat TNI, Polri dan BIN, bahkan upaya pemojokan secara sistematis dilakukan dengan operasi intelejen intensif yang tak diketahui oleh publik. Mantap.
Kedua, infiltrasi Golkar dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Golkar sejak awal digiring oleh the Operators untuk maju mendukung Presiden Jokowi dengan cara melemahkan posisi Golkar ststus quo.Â
Penyematan dan penyebutan Papa Minta Saham dan masuknya Papa Minta Saham si Setya Novanto, narapidana korupsi Nurdin Halid, Zaini pelalu video porno dalam kepengurusan Golkar sudah tepat.Â
Terlebih lagi di Golkar masih duduk mentor penguasa Golkar sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar sebagai posisi yang dulu diduduki oleh eyang saya Presiden Soeharto sungguh langkah tepat.
Golkar akan masuk kabinet namun hanya akan diberikan posisi anak bawang. Para pentolan Golkar seperti Jusuf Kalla dan Jenderal Luhut Pandjaitan dapat disebut sebagai posisi strategis.Â
Golkar hanya perlu diberi posisi yang tidak melibatkan urusan politik dan ekonomi. Itu strategi Presiden Jokowi. Kenapa? Posisi strategis rawan menjadi alat tawar Golkar seperti kasus SBY yang disetir oleh sopir yang tidak piawai Aburizal Bakrie.
Jadi kepengurusan Golkar di bawah Setya Novanto dan ARB jelas akan melemahkan Golkar dan Golkar tak akan laku mengusung siapapun karena dianggap menjadi antek mereka, selain mendukung Presiden Jokowi. Ical dan Setya Novanto tak akan laku menjadi capres, bahkan gubernur maupun walikota pun tak akan terpilih. Dalam posisi seperti itu, sedikit hiburan politik dan kekuasaan dalam bentuk drama di DPR sudah cukup memuaskan bagi Golkar. Selesai!
Ketiga, pemanfaatan posisi menteri, dirjen, dan dirut BUMN, untuk membesarkan para parpol. Tantangan ini sungguh eminen di tengah politik korup. Partai politik besar dan berhasil hanya jika memanfaatkan uang sebagai energi politik entah dengan mengumpulkan iuran atau korupsi.Â