Nikita I Sumber Speakerscorner.me
Perlawanan Ahok untuk DKI 1 adalah perang ideologi melawan ideologi. Ahok memiliki ideologi yakni kerakyatan. Yusril dan M. Sanusi pun memiliki idiologi yakni ideologi pengacara. Pun perjuangan Ahok adalah perjuangan yang berdasar pada keyakinan ideologis yang berakar pada ideologi besar Ken Arok. Sementara ideologi Yusril Ihza Mahendra dan M. Sanusi bisa dilihat dari sepak terjangnya adalah ideologi pribadi.
Mari kita telaah jejak dan idelogi Ahok yang mengikuti ideologi para pendahulunya yang cemerlag dengan hati riang gembira senang suka-cita bahagia melihat sepak terjang Ahok dan menertawai ideologi lawan politik Ahok seperti Yusima alias Yusril Ihza Mahendra dan M. Sanusi sambil jungkir balik salto menonton perilaku meraka selamanya senantiasa.
Ideologi yang merupakan keyakinan di dalam diri manusia menguasai seluruh dasar sikap dan perbuatan manusia. Idiologi akan tergambar dalam perbuatan nyata – meskipun dipoles dengan berbagai sikap dan perilaku untuk menyembunyikan intensi dasar perbuatan yang didasari oleh idiologi tetap saja akan tampak di permukaan.
Sejarah Nusantara dan Indonesia selalu memiliki contoh kejadian masa silam. Bahwa ideologi perjuangan yang mengakar dan untuk kepentingan rakyat yang akan menang. Ken Arok sebagai orang di luar kekuasaan Keakuwuan Tumapel melakukan perlawanan ideologis: bahwa rakyat kebanyakan dan jelaya pun punya hak untuk berbahagia. Ken Arok yang lahir dan dibesarkan di kalangan pencuri dan perampok sangat memahami hak dan kewajiban.
Pun Ken Arok melihat sendiri ketimpangan kekuatan antara kekuatan resmi negara – yang korup – dan kekuatan di luar negara seperti perampok dan pencuri serta koruptor dengan kelemahan dan penderitaan rakyat akibat pajak dan upeti serta pungutan yang menghimpit rakyat. Rakyat pada masa itu hanya menjadi ‘abdi’ terhadap kekuasaan feodalisme dan kekuasaan Akuwu dan pemerintahan yang lebih tinggi.
Maka Ken Arok memimpin perlawanan politik secara langsung dengan membangun aliansi dengan kalangan yang dekat dengan Akuwu Tunggul Ametung seperti Kebo Ijo, Empu Gandring, Bango Samparan, Lohgawe, para brahmana dan para perampok . Target Ken Arok pun adalah simbol politik dan kekuasaan Akuwu: memeristri istri Akuwu Tunggul Ametung yakni Ken Dedes. Konsekuensi logisnya adalah dengan menyingkirkan Akuwu Tumapel  Tunggul Ametung.
Dengan strategi politik matang, memanfaatkan keris ciptaan Mpu Gandring, Kebo Ijo menjadi korban awal perjuangan ideologis dan ambisi Ken Arok: membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Selanjutnya dengan bantuan para brahmana yang berpengaruh di kalangan rakyat, Ken Arok mendirikan Kerajaan Tumapel dan akhirnya dikenal sebagai Kerajaan Singasari dengan gelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Ken Arok didukung rakyat menjatuhkan Raja Kediri Kertajaya.
Sebelum proklamasi kemerdekaan 1945, Bung Karno pun melakukan perlawanan ideologis terhadap pemerintah Hindia Belanda yang bukan hanya korup, bahkan menghisap darah rakyat. Bung Karno memiliki ideologi nasionalis-agamis yang mengalir dalam darahnya; terwujudkan dalam sikap membela rakyat dan negara di atas kepentingan pribadi. Pasca kemerdekaan, kasus 1965 dan mundurnya Bung Karno akibat kudeta halus Supersemar oleh eyang saya Presiden Soeharto yang tidak ingin pertumpahan darah lebih lanjut sebagai contoh kecintaan Bung Karno kepada rakyat dan bangsa dan NKRI yang didirikannya. Bung Karno didukung oleh rakyat mendirikan Negara Republik Indonesia.
Di zaman Indonesia modern, sejarah perlawanan di DKI Jakarta selalu terkait ideologi seperti perlawanan kepada rezim korup dan political establishment eyang saya Presiden Soeharto juga dilakukan oleh pendahulu Ahok: Ali Sadikin. Ali Sadikin juga simbol perlawanan dari arus utama dominiasi politik eyang saya Presiden Soeharto. Ali Sadikin adalah Gubernur DKI yang melawan politik eyang saya Presiden Soeharto pada pemilu 1971 di Jakarta. Ali Sadikin disokong rakyat berhasil membangun Ibukota Jakarta menjadi Kota Metropolitan.
Masa reformasi transisi kepempimpinan Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden Megawati menjadi titik penting perjalanan demokrasi; tidak ada perlawanan ideologis. Yang terjadi adalah peletakan dasar demokrasi tanpa adanya pembangunan yang terarah dan signifikan. Bahkan lanjutan perlawanan ideologis sama sekali mengalami stagnasi dan terhenti saat SBY muncul – 10 tahun tanpa membangun apa-apa.