[caption caption="Nikita salah satu pendukung Ahok I Sumber www.speakerscorner.me"][/caption]M. Sanusi koruptor anggota DPRD DKI Jakarta asal Gerindra terpojok. Terdapat dua pilihan di hadapannya: ungkap keterlibatan pihak lain di DPRD DKI Jakarta atau ancaman hukuman 20 tahun penjara. Posisi terpojok ini diperparah dari hasil pemeriksaan terhadap bos Agung Podomoro. Mari kita tengok perang kepentingan antara mengungkap keterlibatan pihak lain atau bungkamnya M. Sanusi untuk melindungi para koruptor lain dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita menertawai M. Sanusi dan para calon koruptor dari anggota DPRD DKI Jakarta dengan ngakak dan jingkrak-jingkrak atas tertangkapnya koruptor dari Gerindra dengan menari menyanyi pesta-pora selamanya senantiasa.
Belum selesai kasus UPS yang menyeret para anggota DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus M. Sanusi membuat kalang kabut M. Taufik, Prasetyo, Lulung, dan sebagainya. Melawan logika umum, Lulung langsung menyerang bahwa Pemprov terlibat, walau tak menyebut langsung Ahok. Kalang kabutnya para perampok uang rakyat ini semakin membuat wajah anggota DPRD DKI Jakarta senang dan cerah karena akan menuju pertobatan sebagai koruptor.
Berbeda dengan Fahmi Zulfikar dan M Firmansyah yang berhasil bungkam dalam kasus UPS dan melokalisir kasus pun karena yang menangani Bareskrim, bukan KPK. KPK memiliki kemauan melebarkan kasus dan menangkap bos Agung Podomoro dan melakukan pencekalan bos Agung Sedayu yang terkait dengan Perda Tata Ruang DKI Jakarta khususnya proyek reklamasi 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. (Proyek Reklamasi ini selain menguntungkan – bagi para pengembang dan segelintir orang – juga merugikan sekitar 500 nelayan pantai teluk Jakarta, yang disebut oleh LBH sampai 17,000 nelayan. Akibat lainnya pula adalah potensi banjir karena aliran sungai  Cisadane, Citarum, dan sungai-sungai lainnya terhalang oleh pulau-pulau buatan tersebut.)
Kini KPK tengah secara maraton memeriksa M. Sanusi dan melakukan tekanan untuk mengungkap keterlibatan para kolega lainnya di DPRD DKI Jakarta. Tekanan itu disertai dengan aliran bukti-bukti antara lain (1) komunikasi sadapan KPK, (2) komunikasi dan data di komputer, (3) komunikasi dan pertemuan dengan perantara dan (4) perantara dengan bos Agung Podomoro dan Agung Sedayu, (5) serta pengakuan bos Agung Podomoro, yang semuanya akan di-counter-benar-salahkan dalam pemeriksaan yang tengah berlangsung.
Upaya KPK itu disertai dengan tekanan untuk melakukan pengenaan pasal TPPU (tindak pidana pencucin uang) terhadap M. Sanusi. Hal ini sangat menakutkan karena itu jauh-jauh hari M. Taufik dan H. Lulung menyebut bahwa M. Sanusi adalah pengusaha properti sukses. Nah, bukti lain adalah M. Sanusi ini tidak pernah melaporkan harta kekayaannya.
Reaksi Prasetyo Edi Marsudi pun gelagapan ketika dimintai pendapatnya dan menyebut bukan urusan reklamasi pembahasan Perda DKI – namun tentang Tata Ruang dan Zonasi Teluk Jakarta; hal sama saja karena menyangkut reklamasi yang pembahasan perda-nya ditunda-tunda sebagai upaya bargaining position soal legislasi dengan pengembang yang diwakili korupya oleh Agung Podomoro.
Kaitan upaya berkelit M. Sanusi dan para anggota DPRD DKI dengan menyalahkan Pemprov dalam kasus M. Sanusi dengan upaya menggiring keterlibatan Ahok atau Gubernur DKI tentang izin reklamasi dari Pemprov dan aturan Tata Ruang yang disesuaikan dengan izin reklamasi dari Gubernur DKI menjadi sangat menarik. Yang jelas, dalam kasus Perda Tata Ruang di Teluk Jakarta – termasuk reklamasi 17 pulau di pesisir Jakarta yang merusak lingkungan – telah timbul korupsi secara masif, terstruktur, dan sistematis di DPRD DKI Jakarta.
Nah, melihat peta kasus korupsi seperti itu, jelas M. Sanusi akan menjadi kunci. Kini semuanya terpulang kepada M. Sanusi untuk memlih jalannya: (1) mengungkap keterlibatan teman-teman di DPRD DKI dengan hadiah hukumannya dikurangi, atau (2) menjadi bumper dan tameng dengan cara bungkam melindungi para koruptor lain dengan ancaman hukuman antara 13 tahun sampai 15 tahun dan pengenaan pasal TPPU dengan harta dirampas seperti Udar Pristono.
Dengan pilihan ini akan sangat menarik untuk menonton pucuk-pucuk pimpinan DPRD DKI yang berkomunikasi dan terlibat  dalam korupsi besar-besaran berjamaah oleh para anggota DPRD DKI Jakarta. Bola ada di tangan M. Sanusi. Mau jadi bumper atau membuka kedok para koruptor yang berbaju suci dan omongan busuk santun mengecam Ahok – yang dalam Pilgub DKI didukung oleh Nikita.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H