Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Deparpolisasi, Rahasia Politikus dari Zaman Kuno, Teokrasi, dan Modern

13 Maret 2016   23:49 Diperbarui: 14 Maret 2016   08:47 2705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ahok I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]Deparpolisasi. Wah. Istilah baru kegeraman PDIP. Ahok melakukan langkah politik berani dan nekad: mencalonkan diri lewat lajur independen. Jelas tindakan Ahok memarahkan kalangan partai politik yang dekat dengan Ahok yakni PDIP. Bukan Ibu Megawati yang mencak-mencak, namun jelas kalangan di lingkaran Ibu Megawati, yang kepentingannya terganggu. Politik adalah alat kekuasaan. Maka ketika kepentingan diri dan kelompok golongan para anggota partai terusik, serangan bertubi dilakukan oleh parpol. Mari kita telaah gebrakan Ahok dan hakikat partai politik dalam rangka kekuasaan dan alat mencapai kekayaan bagi diri dan golongan dengan hati gembira ria riang girang senang bahagia suka-cita pesta-pora menertawai kemarahan partai atas deparpolisasi oleh Ahok dengan senang sentosa selamanya senantiasa.

Sejak awal Ahok tahu parpol adalah alat kekuasaan. Maka Ahok selalu keluar masuk parpol untuk meraih kekuasaan. Tujuan politik Ahok berbeda dengan para politikus: untuk kepentingan diri dan golongan. Namun Ahok pun menyadari hanya akan menggunakan parpol jika parpol tak berniat memanfaatan dirinya. Ahok justru selalu menggunakan parpol hanya sebagai kendaraan politik, dengan meninggalkan partai tanpa keuntungan sama sekali.

Sejatinya, parpol adalah kepanjangan tangan kekuasaan dan penguasa yakni pemilik partai. Maka manusia semacam SBY, Yusril, dan Amien Rais menyadari partai sebagai alat kekuasaan dan berkuasa, maka mereka menggenggam partai sebagai dedengkot alat tawar kekuasaan. Kekuasaan politik digunakan oleh para politikus untuk memenuhi hasrat berkuasa dan motif ekonomi. Politikus berbicara atas nama rakyat yang sesungguhnya atas nama kepentingan diri sendiri.

Sangat sedikit politikus yang memang berjuang untuk rakyat. Untuk Indonesia Bung Karno adalah contoh politikus yang mencintai rakyatnya. Bung Hatta demkian pula. Tan Malaka, Sjahrir sedikit politikus yang berjiwa pemimpin. Ketika politikus memerhatikan dan membela kepetingan rakyat, maka saat itu berubah menjadi pemimpin. Dan di Indonesia kita hanya mengenal sedikit pemimpin: Bung Karno salah satunya. Yang lainnya tentu eyang saya Presiden Soeharto. Yang lainnya belum masuk ke dalam kelompok pemimpin. Ahok sebagai politikus sedikit berubah menjadi calon pemimpin.

Makna dan hakikat politik hanyalah cara, upaya dan taktik sistematis untuk berkuasa yang sudah ada sejak zaman munculnya peradaban manusia. Ketika kisah Adam dan Hawa yang berhadapan dengan malaikat, setan dan ajaran Tuhan di surga pun politik sudah dipraktikkan saat itu. Intrik politik antara setan dan Adam dengan mengatasnamakan Tuhan adalah wujud praktik politik pertama kali yang tercatat dalam kisah manusia dan setan.

Yang paling awal, politik dengan konsep teokrasi adalah sejarah nyata representasi pas antara manusia, Tuhan, dan setan adalah gambaran politik dasar sejak zaman peradaban manusia dimulai. Praktik para penguasa sejak zaman Mesir Kuno, Romawi, Yunani, Persia, India, Maya, Inca, Tiongkok bahkan dalam peradaban suku-suku bangsa terasing di Afrika, Amerika serta Aborogin – termasuk suku Papua – memanfaatkan dan memraktikkan politik untuk berkuasa.

Sejarah politik berawal dari mitos tentang kekuasaan yang dihubungkan dengan keberadaan Tuhan atau dewa. Peradaban mula-mula di Mesopotamia adalah bukti awal adanya praktik politik dengan adanya hukum pertama yang tertulis yakni Kode Hammurabi yang tercatat pada tahun 1754 SM – sekitar 3,750 tahun lalu. Inilah indikasi kekuasaan politik paling kuno yang tercatat dalam sejarah peradaban manusia. Kode Hammurabi memuat 282 aturan kehidupan berdasarkan keputusan dan peraturan penguasa politik yakni Hammurabi.

Dengan adanya undang-undang yang dibentuk oleh penguasa, dengan batasan rakyat di suatu tempat – yakni wilayah Mesopotamia dan Babilonia- maka terbentuklah entitas politik yang disebut pemerintahan yang pada akhirnya membentuk suatu negara atau kerajaan. Bentuk-bentuk negara dalam perkembangannya nanti mengikuti pola kekuasaan politik.

Di bawah kekuasan raja, maka entitas negara itu disebut kerajaan. Pola kekuasaan politik dengan kekuasaan demokratis biasanya disebut pemerintahan republik. Dalam perkembangan selanjutnya bentuk pemerintahan demokrasi – modern dan Islam juga – mengenal demokrasi parlementer. Juga ada kekuasaan yang disebut demokrasi presidensial dengan pusat kekuasaan di lembaga kepresidenan.

Dalam hal ini, Hammurabi, dalam sumpah pernyataannya menyampaikan secara jelas menghubungkan dirinya dengan Marduk, Tuhan tertinggi dari bangsa Babilonia. Tujuan menghubungkan dirinya dengan dewa atau Tuhan adalah praktik politik yang mengikuti naluri keturunan sejarah Adam-Hawa dengan kasus setan di surga.

Dalam perkembangan selanjutnya, raja, kaisar – sebagai representasi pelaku dan penguasa yang memanfaatkan politik untuk kekuasaan – selalu mengidentifikasi diri dengan Tuhan. Raja-raja Mesir Kuno semuanya mengidentifikasi diri sebagai raja-dewa alias Raja sekaligus Dewa. Penyembahan terhadap Dewa tertinggi selalu merepresentasikan dan direpresentasikan kepada penyembahan terhadap wakil dewa di Bumi yakni raja Mesir yang bergelar firaun –alias pharaoh.

Pengaitan antara raja dan dewa adalah taktik politik paling jitu untuk (1) menakuti-nakuti rakyat sebagai bawahan, (2) memberikan status tertinggi kepada raja sebagai keturunan dewa atau Tuhan, (3) bertindak atas nama dewa atau Tuhan dalam memerintah dan menguasai rakyat, (4) mengelabuhi rakyat untuk kekuasaan dirinya.

Bangsa-bangsa lain di dunia pun memiliki pola serupa dalam memraktikkan politik dalam kekuasaan mereka. Bangsa Yunani, Romawi, Persia selalu menempatkan politik sebagai bagian dari keuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia dengan rakyat sebagai subyeknya. Maka dalam bahasa Inggris sampai saat ini rakyat di bawah kekuasaan raja disebut subject – yakni subyek kekuasaan politik raja.

Kebudayaan Jepang menempatkan kaisar sebagai keturunan Dewa Matahari – Ameterasu Kumikami. Dengan menggunakan dewa sebagai alasan legitimasi berkuasa, kaisar memiliki tempat yang tinggi di atas rakyat, bahkan sampai sekarang.

Praktik sejarah politik itu semakin berkembang dalam kebudayaan Yunani, ketika kekuasaan para raja berbenturan dengan kepentingan rakyat banyak. Pola dan taktik politik semakin berkembang dan menuntut adanya partisipasi publik. Rakyat yang semakin menyadari tentang kekuasaan akhirnya mendapatkan inspirasi dengan pemikiran mereka tentang kekuasaan dan politik.

Pertanyaan mendasar tentang tujuan kekuasaan raja dipertanyakan. Maka lahirlah prinsip hak untuk menempatkan kekuasaan raja untuk kepentingan publik. Muncullah tuntutan yang disebut: demokrasi. Bahwa kekuasaan itu diperuntukkan untuk rakyat dengan kekuasaan. Lebih lanjut lahirlah pemerintahan demokratis dengan konsep res publica yang bermetamorfose menjadi republic – kembali kepada rakyat.

Maka dalam memehami perkembangan politik, selalu dikaitkan dalam konteks politik (1) zaman kuno, (2) teokrasi alias agama, dan (3) modern. Ketiganya memiliki alur alasan yang sama dan mendasar dalam praktik politik yakni bahwa politik adalah kekuasaan yang dikaitkan dengan legitimasi dari kekuasaan absurd yang digunakan sebagai dalih oleh politikus untuk berkuasa.

Pada zaman kuno, para pelaku politik menggunakan Dewa atau Tuhan sebagai tameng keabsahan kekuasaan bagi diri penguasa politik seperti kaisar, raja, dan penguasa lainnya. Contohnya adalah penguasa politik Mesir Kuno yakni firaun, di Jepang kaisar, di Jogjakarta Sultan sebagai representasi model penggiringan kekuasaan atas nama Tuhan. Dalam praktik politik zaman kuno tidak ada partisipasi rakyat dalam menentukan kekuasan raja, kaisar atau penguasa. Rakyat hanya menjadi pengabdi dan melayani penguasa.

Politik pada zaman modern ditandai dengan perwakilan yang disebut demokrasi. Demokrasi menyaratkan rakyat atau individu memilih wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat berdasarkan ketentuan proporsional. Untuk memudahkan keterwakilan politik ini, maka dibentuklah partai politik. Partai politik memiliki tujuan untuk berkuasa.

Kekuasaan politik itu digunakan untuk membuat aneka peraturan yang diperuntukkan untuk kepentingan kekuasaan para penguasa. Politik digunakan untuk membangun kekuasaan, memertahankan kekuasaan, dan mendapatkan keuntungan ekonomi dengan memergunakan kekuasan legislasi atau membuat peraturan berupa undang-undang.

Pada politik Islam, alias teokrasi, kekuasaan politik dikembalikan kepada kepentingan Tuhan. Dasar politik Islam bertujuan untuk kekuasaan dengan mengatasnamakan agama dan perintah Allah SWT untuk tujuan kemaslahatan masyarakat. Konsep politik Islam sepenuhnya bertujuan untuk mengamankan kepentingan agama dan masyarakat berdasarkan perintah Allah.

Maka dalam politik Islam modern lahirlah partai politik berbasis agama Islam, seperti partai agama PKS, misalnya di Indonesia. AKP di Turki dengan azas Islam. Di Palestina – yang belum berbentuk negara – ada partai politik Hamas sebagai kepanjangan dari ideologi Islam radikal Ikhawanul Muslimin di Mesir – yang sudah dilarang dan dilabeli sebagai organisasi teroris di Mesir. Partai agama PKS dan AKP di Turki adalah kepanjangan dari ideologi wahabiah dan Ikhawanul Muslimin selain yang ada di Mesir.

Maka dalam politik Islam ini, terjadi penyesuaian antara modernitas politik yakni demokrasi berdampingan dengan teokrasi atau kekuasan berdasarkan dan atas nama Tuhan. Partai politik dalam politik Islam selalu memiliki ambiguitas atau ketidakjelasan antara demokrasi sesungguhnya yang sekuler dengan ideologi keuasaan Tuhan atau Allah SWT, selain pula misi politik pribadi yang menunggangi agama selalu berseberangan dengan esensi kekuasaan sekuler. Politik Islam selalu berhadapan dengan kenyataan demokrasi yang sejatinya sekuler dan tidak ada hubungannya dengan Islam, Tuhan, Allah SWT, dan ideologi politik yang memang targetnya hanya kekuasaan semata.

Namun demikian untuk kepentingan kekuasaan, maka politik Islam justru memanfaatkan sentimen rasa dan keyakinan kepada Tuhan sebagai tameng, sebagai dalih, sebagai alasan, untuk mendapatkan kekuasaan yang sekali lagi dikembalikan – katanya – untuk kepentingan Tuhan, dengan iming-iming surga dan pahala.

Dengan demikian menjadi gamblang bahwa sejarah kekuasaan politik – yang dalam perkembangannya dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan kekinian pada zamannya – sejak zaman kuno, modern, dan Islam memiliki tujuan dan praktik cara mendapatkan kekuasaan yang sama dan identik. Kekuasaan selalu digambarkan oleh politikus atau penguasa, raja, kaisar, anggota partai politik untuk kepentingan rakyat.

Namun sesungguhnya, dalam sejarah politik, politik selalu digunakan untuk mendapatkan kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan diri pelalu politik – bukan untuk kepentingan rakyat. Rakyat hanyalah subyek dan alasan atau dalih dari politikus untuk mendapatkan kekuasaan, kekuasaan untuk uang, lalu uang untuk kekuasaan, sebuah siklus tanpa putus.

Maka menjadi dapat dimengerti kemarahan partai politik yang merupakan reinkarnasi sejarah sejak perselisihan kepentingan politik di depan Tuhan antara manusia (Adam dan Hawa atau Eva) dengan setan atau iblis serta malaikat. Para politikus praktis terbagi menjadi tiga kelompok yang merepresentasikan (1) manusia (politikus biasa yang hanya memenuhi kepentingan diri dan golongannya), (2) iblis (para koruptor contohnya), dan (3) malaikat (pemimpin).

Jadi dalam perseteruan antara Ahok, parpol dan masyarakat secara jelas tergambar pengelompokan para politikus ke dalam kegolongan (1) manusia, (2) iblis, dan (3) malaikat. Suka atau tidak suka memang demikian adanya. Ahok teruslah maju suatu saat bisa menjadi pemimpin seperti Bung Karno dan eyang saya Presiden Soeharto – dan jangan meniru pengangguran 10 tahun seperti SBY atau Presiden Jokowi yang kalah telak dan ketakutan hanya melawan Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid ,,,hehehe.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun