Â
[caption caption="Mafia Petral dan Migas Muhammad Riza Chalid I Sumber Tribunnews.com"][/caption]
Â
Kasus Setya Novanto kembali bergulir. Namun kini perimbangan kekuatan antara Presiden Jokowi dan Setya Novanto dan Muhammad Riza Chalid kembali seperti semula. Penyebabnya adalah justru ada di pihak Presiden Jokowi dan juga maneuver Golkar. Tak pelak kasus Papa Minta Saham ini menjadi ajang unjuk kekuatan antara Presiden Jokowi dengan kedua pesuara dalam rekaman yang melibatkan Ma’roef Sjamsoeddin, mafia migas dan Petral Riza Chalid dan tentu Setya Novanto.
Mari kita telaah beberapa hal terkait perang antara Presiden Jokowi – yang tak terima namanya dicatut dalam kasus Papa Minta Saham – dengan the mighty, the untouchable and the unstoppable Setya Novanto dan mafia dan koordinator korupsi terbesar Indonesia selama puluhan tahun Muhammad Riza Chalid yang kini buron dengan hati gembira suka-cita pesta-pora menari menyanyi senang bahagia riang girang selamanya senantiasa.
Pertama, pengorbanan dan keberanian Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin. Presiden Jokowi tentu memahami dengan seksama sejak awal kasus, bahwa kasus Setya Novanto ini harus diselesaikan secara hukum. Makna selesai adalah Presiden Jokowi harus menang melawan mafia. Dukungan dan pengorbanan keberanian Sudirman Said dan peran penting Maroef Sjamsoeddin tak bisa dianggap sebelah mata.
Keberanian kedua orang itu tak bisa dianggap sepele  dan harus dihargai oleh Presiden Jokowi karena yang dilawan adalah mafia semacam Muhammad Riza Chalid dan orang kuat Indonesia Setya Novanto. Pun Maroef Sjamsoeddin adalah anggota BIN yang 100% mendukung Presiden Jokowi dengan keberanian muncul di muka publik – karena memang dia pejabat tinggi BIN, kalau anggota biasa jelas tak diketahui publik, maka test kasus Banyu Biru membuktikannya. Maroef dan juga Sudirman Said jelas telah mengorbankan diri menjadi incaran mafia dan koruptor yang menyerang balik.Â
Kedua, kekuatan konsolidatif Presiden Jokowi. Dalam politik, kekuatan adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah kekuatan. Presiden Jokowi harus mengeksekusi keputusan penting untuk membangun kepentingan politik dengan kecerdasan tinggi seperti selama ini. Kemampuan melakukan keputusan senyap oleh Presiden Jokowi dalam berbagai kasus sensitif berisiko politik tinggi seperti pencalonan Budi Gunawan sebagaimana dipraktikkan secara sempurna.
Presiden Jokowi, demi untuk menguatkan konsolidasi politik dan untuk kelancaran pembangunan selain tentu keselamatan dari gangguan politik, harus membuat keputusan politik dengan berpedoman pada tujuan politik: memenangi kekuatan dan kekuasaan.
Ketiga, mencontoh ketegasan sikap politik seperti eyang saya Presiden Soeharto terhadap lawan politik. Presiden Jokowi harus mencontoh eyang saya Presiden Soeharto ketika kekuasaan telah digenggam, eyang saya dengan tegas menyingkirkan siapa pun yang tidak sejalan secara politik. Apalagi Presiden Jokowi memiliki tujuan Nawa Cita yang begitu bermanfaat bagi rakyat. Sedangkan eyang saya Presiden Soeharto menggunakan kekuatan politik untuk menghantam dan meredam siapapun yang akan mengancam kekuasaannya.
Bahkan pendukung eyang saya Presiden Sooekarno sendiri yang bermanfaat menumpas dan berperan ikut membunuhi orang-orang yang dituduh anggota PKI seperti Sarwo Edhie Wibowo. Juga pesaing berat politik AH Nasution pun disingkirkan secara politik. Pun dengan kekuasaannya, anak keturunan Presiden Soekarno pun diasingkan secara politik selama puluhan tahun, hingga muncul kasus 27 Juli 1996, yang membuat salah satu teman saya Sony hilang sampai sekarang.