[caption caption="Gerakan Koalisi Perempuan Indonesia I Sumber tomyompyek.blogspot.com"][/caption]Menteri Ristek M. Nasir melarang keberadaan lesbian, gay, biseksual, transjender (LGBT) masuk kampus adalah melanggar hak azasi manusia. Padahal LGBT tidak dilarang masuk ke Istana Presiden dan Negara. Dorce Gamalama sebagai trans-jender pun hadir di Istana Negara dalam kapasitas sebagai seniman Indonesia atas undangan Presiden Jokowi. M. Nasir perlu memahami LGBT dari kaca mata sejarah panjangnya, bukan karena kegiatan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia dan Universitas Indonesia (UI) dan UIN Jakarta.
Mari kita telaah sejarah LGBT dalam sejarah manusia di dunia dan di Indonesia yang merupakan hak azasi yang dijamin oleh alam semesta dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia girang melihat fenomena hak azasi manusia di Indonesia selamanya senantiasa dengan menari menyanyi berdansa menikmati keberagaman kehidupan.
Lesbian, gay, biseksual dan transjender (LGBT) merupakan orientasi seksual adalah hal yang sangat personal dan merupakan hak azasi manusia. Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia dan Universitas Indonesia (UI) dan UIN Jakarta menimbulkan kontroversi. Larangan Menteri Nasir menimbulkan kasus ini melanggar hak azasi manusia. LGBT adalah fenomena global belakangan dan mulai mendapatkan tempat di seluruh penjuru dunia.
LGBT adalah kenyataan sejarah sejak lahirnya umat manusia sebagai bagian dari evolusi alam semesta. Melihat sejarah evolusi sejak zaman dinasaurus, kelompok alat reproduksi dibagi menjadi empat (1) jenis perempuan (betina), (2) jenis lelaki (jantan), (3) jenis hermaprodit (lelaki sekaligus perempuan), (4) tanpa kejelasan jenis kelamin. Berbagai jenis hewan menggambarkannya dengan jelas. Ada sapi perempuan, ada ikan tanpa jenis kelamin, ada berbagai jenis binatang dan fauna tanpa jenis kelamin.
Pada zaman Mesir Kuno, Romawi, Yunani, Persia, India, Maya dan Inca, serta Tiongkok dan peradaban besar lainnya, eksistensi LGBT menjadi bagian dari perjalanan sejarah umat manusia. Di Nusantara, dilihat dari sisa-sisa gambaran kehidupan kerajaan di Nusantara, LGBT tetap mendapatkan tempat di tengah dua jenis kelamin mainstream: pria dan wanita. Banyak relief panel di level Karmawibhangga di Candi Borobudur menggambarkan realita nyata eksistensi LGBT – terutama lesbian dan gay serta biseksual, transjender belum ada karena belum ada teknologi kedokterannya.
Dalam sejarah kelanjutannya, kebudayaan di Nusantara mengakomodasi keberadaan LGBT seperti dalam kebudayaan Bugis Makassar. Keberadaan para Bissu di Sulawesi Selatan menjadi contoh eksistensi panjang keberadaan LGBT di Indonesia.
Maka melihat eksistensi LGBT di seluruh dunia, banyak negara bahkan mengatur pernikahan sesama LGBT alias pernihan sesama jenis yang merupakan wujud penegakan HAM. Belanda, Irlandia, Swedia, Prancis, Australia, Amerika Serikat, dan banyak negara maju lainnya telah mengesahkan pernikahan sesama jenis sebagai perwujudan HAM – dengan dasar nilai-nilai kemanusiaan, bukan nilai yang lainnya.
Pun jika melihat sejarah Nusantara dan Indonesia, bangsa Nusantara dan Indonesia tidak pernaha memermasalahkan keberadaan LGBT secara berlebihan. Menghargai hak orang lain, toleransi, dan orientasi seksual adalah bagian dari keyakinan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, dalam sejarah manusia di Indonesia, bahkan Presiden Jokowi pun menerima Dorce Gamalama sebagai transjender di Istana Negara sebagai bagian dari toleransi terhadap manusia – termasuk  perbedaaan keyakinan dan kepercayaan orientasi seksual.
Maka kebijakan Menteri M. Nasir melarang eksistensi dan pergerakan hak azasi manusia terkait LGBT ini merupakan pelanggaran HAM. Para mahasiswa dan mahasiswi dan juga dosen yang memiliki orientasi seksual tersendiri tak akan bisa dikontrol. Mereka harus tetap menyuarakan secara santun dan beradab perjuangan menyuarakan nilai-nilai kesamaan hak azasi manusia. Maka lanjutkan pembelaan terhadap hak minoritas di Indonesia sebagai negara demokrasi.
Untuk itu, Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia dan Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Islam Negeri Jakarta dalam (1) menjalankan pembelaan dan konsultasi harus pula menerapkan berbagai penyesuaian dan tidak show of force. Lakukan (2) pembelaan dan konsultasi serta advokasi LGBT dengan bijaksana seperti gaya halaqah, usroh, dan pengajian under-ground yang rapi seperti yang dilakukan oleh partai agama PKS dengan kegiatan misalnya LDK (lembaga dakwah kampus) sebagai reinkarnasi gerakan bawah tanah zaman rezim eyang saya Presiden Soeharto. Juga kedua universitas UI dan UIN menjadi contoh koeksistensi nilai toleransi dan koeksistensi perbedaan keyakian, termasuk orientasi seksual dalam negara demokrasi Indonesia.
Jadi, terkait larangan oleh Menteri Ristek M. Nasir, langkah mencegah keberadaan LGBT di kampus tak akan efektif dan melanggar HAM. Kenapa? Larangan terhadap LGBT adalah mirip dengan mengendus pikiran orang yang tersembunyi. LGBT tetap akan eksis di kampus sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H