[caption caption="Afif teroris penyerang bom Thamrin I Sumber Kompas.com"][/caption]Serangan bom oleh ISIS di Thamrin dinyatakan didanai oleh Bahrun Naim dari Syria. Yang menjadi pertanyaan, kenapa baru setelah diketahui ada dana masuk dari terduga teroris dari Syria, aparat intelejen dan Densus 88 tidak bergerak cepat? Kenapa Malaysia dan Singapura mampu mencegah secara dini dan menangkapi terduga teroris hanya dengan aliran dana teroris yang diendus oleh intelejen?
Mari kita telaah perbedaan aturan undang-undang tentang terorisme dan ancaman terhadap negara di Malaysia, Singapura, dan Indonesia serta negara lain dengan hati gembira ria riang sentosa bahagia pesta-pora melihat kesigapan aparat TNI, Polri dan Densus 88 mengejar dan menangkapi teroris dan endusan penyandang dana pasca serangan bom Thamrin selamanya senantiasa.
Prancis, Indonesia, dan Australia bahkan Amerika Serikat memiliki kesamaan dalam menangani teroris. UU di beberapa negara itu tidak mengatur penindakan yang bersifat preemptive measures. Sementara Malaysia dan Singapura memiliki UU anti Teroris yang sangat ampuh bernama : Internal Security Act (ISA) yang sangat kuat yang mampu menangkap ‘para peniat pembahaya negara’ sebelum terjadi: preemptive measures.
Bahkan Malaysia lebih maju lagi dengan undang-undang baru: Prevention of Terrorism Bill 2015 and the Special Measures against Terrorism. Juga undang-undang lain yang mengatur lebih banyak seperti the Security Offences (Special Measures) Act 2012; Prevention of Crime Act 1959 and the Prisons Act 1995.
Malaysia dan Singapura memiliki UU yang mampu membuat tindakan sebelum kejadian terkait misalnya dana mencurigakan ke tangan teroris atau yang diduga teroris. Tindak itu disebut preemptive measures. Sedangkan Amerika Serikat, Australia, dan Indonesia bahkan Prancis masih tidak lebih maju disbanding UU anti teroris di Malaysia dan Singapura. Prancis baru saja meloloskan UU untuk melakukan tindakan preemptive measures terhadap ancaman teroris.
Gambaran terkuaknya pendanaan teroris penyerang Jakarta oleh Bahrun Naim dari Syria kepada para teroris – yang belum pasti karena aliran dana dari negara-negara Arab bisa jadi legal dan digunakan sebagai dakwah atau dana para TKI.
UU Indonesia hanya mengatur tentang ancaman teroris ketika (1) telah menunjukkan aktivitas bukti pelanggaran hukum, misalnya (2) menguasai bahan peledak, alat senjata, amunisi, kampanye dan gerakan radikal lainnya, (3) adanya petunjuk dan bukti terkait aktivitas pelanggaran hukum dan terorisme.
Maka begitu bom meledak di Thamrin, pada hari yang sama 16 Januari 2016, para otak serangan mulai ditangkapi di Balikpapan, Banten, Ciputat, Jakarta, Bekasi, Cirebon, Sukabumi, dll. Penangkapan ini akan semakin banyak karena dengan demikian telah memenuhi syarat adanya tindakan melawan negara dan teror.
Dengan demikian, Densus 88, PPATK akan semakin membuka aliran dana dengan dicocokkan kepada anggota keluarga para teroris yang sering digunakan sebagai alat aliran dana teroris. Para keluarga teroris selama ini memang dipantau dan diawasi dengan ketat pergerakannya. Tak ada ruang bagi mereka untuk melancarkan aksi balas dendam setelah kewaspadaan tinggi diterapkan kepada mereka.
Sebaiknya, Indonesia perlu mengikuti jejak Malaysia, Singapura dan Prancis yang mampu melakukan penangkapan tanpa adanya bukti gerakan setelah adanya kecurigaan aliran dana asing (dan dalam negeri) yang mencurigakan yang melibatkan para teroris eks Afghanistan, Iraq, dan Syria. Pencekalan terhadap teroris Indonesia yang hendak pulang ke Indonesia patut diaprisiasi. Pun para keluarga dan pelaku teror di Indonesia terus diwaspadai dan dipantau pergerakannya baik di Indonesia maupun di luar negeri. Tujuannya, dengan bantuan PPATK, agar aparat keamanan dan  Indonesia bisa melakukan tindakan dini preemptive measures dalam melawan teroris.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H