Bahkan Jokowi haters – baik yang rasional maupun yang membabi buta – yang  karena diundang makan di istana berubah 180 derajat begitu habis disuguhi magis makanan Istana. Memang tidak salah berganti haluan, dan Presiden Jokowi juga tidak memermasalahkan, namun kehilangan daya kritisnya setelah makan menjadi hal yang merugikan karena menjadi tidak obyektif. Lain halnya yang memang dari sononya Jokowi lovers – yang baik rasional maupun membabi-buta – tetap akan menulis segaris dengan keyakinannya, tanpa memermasalahkan obyektivitasnya terkadang.
Nah, makanya ketika salah satu media sosial penting seperti Kompasiana artikelnya menjadi sewarna dengan Presiden Jokowi dan kehilangan daya kritisnya, Presiden Jokowi tak menghendakinya. Karena, akibat para Jokowi haters berbalik haluan menjadi Jokowi lovers dan itu tak merisaukan siapapun termasuk Presiden Jokowi. Presiden Jokowi justru tidak merasa pesan beliau ditangkap dengan baik dan kehilangan daya kritisnya.
Bagi Presiden Jokowi pun tak penting seseorang sebagai Jokowi lovers atau haters karena bagi Presiden Jokowi itu berbeda tipis; hanya masalah persepsi. Yang tidak elok di mata Presiden Jokowi adalah begitu diundang makan berubah menjadi tukang puji Jokowi yang kehilangan integritas; itu tidak bermartabat dan cenderung carmuk alias cari muka. Jadi? Tetaplah menulis dengan hati dan daya kritis tetap keluar dan yakinlah Presiden Jokowi tak mempan dengan sikap cari muka.
Yang pasti adalah Presiden Jokowi tidak menginginkan semua media sosial adalah warna dirinya. Warna yang cenderung mencari muka, membaik-baiki yang tak perlu, memuji-muji yang tak sesuai fakta. Presiden Jokowi bukanlah seorang presiden yang gila hormat dari rakyatnya. Justru suatu kehormatan bagi Presiden Jokowi ketika bisa berbagi kebahagiaan dengan rakyat.
Salam bahagia ala saya.
Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H