[caption caption="Merah Putih sebagai Tujuan Membangun Presiden Jokowi I Dok Pribadi"][/caption]
Gelagat setahun Presiden Jokowi di tampuk kekuasaan makin kokoh. Berbagai upaya yang dirancang untuk kudeta Oktober 2015 hampir berlalu tanpa tanda terjadi. Justru yang tampak adalah kekuatan Presiden Jokowi dengan konsolidasi politik-hukum dan kebijakan ekonomi yang brilian. Mari kita tengok gonjang-ganjing revisi UU KPK yang bertujuan menggoncang hubungan Mega dan Presiden Jokowi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu dengan hati gembira ria riang sentosa senang suka-cita bahagia pesta-pora menari menyanyi senantiasa selamanya.
Langkah skak mat oleh Presiden Jokowi dengan konsolidasi politik brilian (1) menyeimbangkan Istana tidak dibayangi JK dan Mega serta Paloh yakni dengan mengangkat Jenderal Luhut Pandjaitan, (2) mengangkat Jenderal Sutiyoso sebagai Kepala BIN, (3) mengangkat politisi senior Pramono Anung, jelas telah menimbulkan implikasi politik yang hebat: kesetabilan jauh dari kegaduhan DPR dan Parpol.
Langkah Presiden Jokowi menempatkan Luhut Pandjaitan sebagai pilar kekuatan politik karena beliau Golkar dan jenderal jelas mampu meredam Paloh dan JK – pun Ibu Mega juga respect dengan kekuatan Bang Luhut Pandjaitan. Ditambah dengan Bang Yos, maka dipastikan kestabilan politik dan hukum pun akan terjaga. Hubungan politik-hukum dengan DPR pun mencair. Apalagi begitu PAN mengambil dua kaki, semakin kehilangan gigi koalisi Prabowo.
Tugas Jenderal Luhut dan Jenderal Sutiyoso pun ringan dengan kemampuan intelejen menelisik semua peta tingkah laku anggota DPR. Semua gerak-gerik anggota DPR terpantau sampai ke titik di mana mereka melakukan entertainment, rekening, aliran dana, perusahan rekanan para anggota DPR terpantau tanpa tedeng aling-aling: terbuka di mata Presiden Jokowi.
Kondisi seperti ini tentu bukan dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi untuk beterbangan di atas angin, namun Presiden Jokowi menggunakannya untuk membangun ekonomi kerakyatan. Maka memasukkan Menteri Susi Pudjiastuti dan sekarang Rizal Ramli adalah langkah tepat oleh Presiden Jokowi. Menteri Susi dan Rizal Ramli adalah foto-kopi karakter kerakyatan Presiden Jokowi. Maka menjadi sangat menarik ketika Rizal menjadi bagian dari internal auto-critics forces within the government – kekuatan yang mengritisi dari dalam sebagai bagian dinamika internal kabinet Presiden Jokowi.
Kondisi perbaikan politik dan ekonomi ini jelas merugikan bagi kalangan yang menginginkan kejatuhan Presiden Jokowi. Kondisi ekonomi yang memburuk pun lambat laun kembali merangkak. Pun ini dianggap merugikan lawan politik karena mengokohkan posisi Presiden Jokowi.
Nah, kondisi yang demikian itu ditambah lagi dengan upaya penguatan kebangsaan dengan adanya semacam wajib militer atau Pendidikan Bela Negara bagi WNI di bawah usia 50 tahun. Pas. Kebangsaan yang terkikis itu diperbaiki dengan penguatan kecintaan kepada NKRI. Maka, secara steady kekuatan politik dan ekonomi di bawah Presiden Jokowi kian menguat.
Namun, di balik itu, kelompok penentang mencari berbagai cara untuk membalikkan keadaan agar kisruh politik terus berlanjut. Seperti yang dilakukan oleh SBY yag tak ada angin tak ada petir tiba-tiba teriak bahwa SBY berada di garis depan menolak kudeta militer. Lah militer siapa yang mau kudeta?
(Anak bayi yang belum lahir pun akan tertawa ngakak mendengar SBY ngomong. Pancingan macam anak bayi yang belum lahir ala SBY 100% tak digubris oleh Presiden Jokowi. Biarkan SBY berkokok mengerami Partai Demokrat yang banci dan tak berprinsip. Di dunia dan akhirat tak ada namanya partai peenyeimbang, yang ada partai pemerintah dan partai oposisi. Itu yang benar dan sahih. Omongan SBY adalah omongan partai banci yang pendukungnya hanya keluarganya doang.)
Nah, semua tahu. Salah satu pilar kekuatan Presiden Jokowi adalah dukungan dan hubungan baik antara Ibu Mega dan Presiden Jokowi. Nah, kestabilan ekonomi dan politik bagi lawan politik adalah hal yang tak boleh dibiarkan. Perbaikan keamanan, politik, sosial dan ekonomi pantang terjadi. Itulah pandangan lawan politik. Maka harus dijegal. Rakyat bukanlah hitungan dalam politik. Rakyat hanya dibutuhkan pada saat pileg, pilkada, pilgub, dan pilpres. Itu mental politikus. Lain dengan kebangsaan dan kenegarawanan. Sebagian pemimpin politik yang berjiwa kenegerawanan ada pada diri Ibu Megawati dan Presiden Jokowi.
Karena bersatunya Megawati dan Jokowi menjadi salah satu pilar kekuatan politik Presiden Jokowi, maka terjadilah perlawanan oleh para the established yang mapan dan korup. Lagi-lagi perlawanan the established alias kalangan mapan dan korup terhadap Jokowi kian kencang. Caranya?
Tak puas dengan solusi kasus Budi Gunawan, dan naiknya bakal Kapolri pasca Badrodin Haiti yakni Budi Waseso, kini kalangan PDIP melancarkan serangan terbaru: pembubaran KPK. Publik dibuat terperangan karena Pimpinan PDIP dan partai disebut sebagai orang yang memerintahkan revisi UU KPK.
Tanda-tanda perlawanan the established atau kalangan mapan status quo kian kencang. Perlawanan di dalam birokrasi pemerintahan sungguh memrihatinkan. Kalangan dirjen, eselon 1, eselon 2 di pemeritahan adalah para pendukung status quo rezim pemalas membangun SBY.
Setelah menebar isu macam-macam gagal oleh baik SBY – yang mengompori tentang kudeta TNI yang tak ada angin tak ada topan tiba-tiba ngomong ngawur SBY tentang kudeta yang tak mendapat sambutan siapapun, maka muncul kini di DPR upaya memreteli kewenangan KPK.
Nah, berita yang dilemparkan adalah ide revisi UU KPK dari PDIP. Dan benar memang PDIP. Namun yang menjadi pesan penting adalah upaya memreteli kewenangan KPK dalam (1) penuntutan dan (2) penyidikan dan (3) pendakwaan adalah berasal dari pucuk Pimpinan PDIP (ini bisa diasumsikan Ibu Megawati.) Maka, DPR pun dengan senang merespon karena tujuan kisruh ini adalah (1) melakukan test terhadap Presiden Jokowi tentang kekuatannya menghadapi DPR, (2) test tentang hubungan antara PDIP Megawati dan Presiden Jokowi, (3) niatan DPR untuk membuat pemerintahan Presiden Jokowi tertekan oleh kisruh yang dibuat untuk menguatkan DPR, (4) merusak komitmen Presiden Jokowi terhadap pemberantasan korupsi.
Jadi, ide PDIP dengan mencatut nama Ibu Megawati adalah (1) keinginan sekeliling orang Ibu Megawati yang belum mendapatkan kue ekonomi dan menginginkan kegaduhan – seperti koalisi Prabowo – dengan berkolaborasi dan ditunggangi oleh para koruptor untuk merusak ipoleksosbudhankam – ideologi Pancasila, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, yang semakin membaik dalam masa jelang setahun pemerintahan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Dan (2) dapat dipastikan Ibu Megawati bukan orang yang menyuruh memreteli kewenangan KPK lewat revisi. Serta yang pasti, Presiden Jokowi tak akan menyetujui revisi UU KPK yang bernafsu melemahkan KPK. Jika pun terjadi DPR akan langsung berhadapan dengan rakyat.
Kesimpulannya revisi UU KPK hanyalah upaya kekisruhan kalangan status quo yang tak ingin kemajuan dan perbaikan ekonomi dan politik terjadi di bawah pemerintahan Presiden Jokowi.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H