Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

HUT ke-70, Pesan buat Jokowi: dari Badui sampai Dominasi Buku Asing dan Jatidiri Bangsa

19 Agustus 2015   00:11 Diperbarui: 19 Agustus 2015   00:11 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bangsa Badui Hadir di Istana I Sumber Kompas.com"][/caption]

Indonesia merdeka 70 tahun. Bangsa Badui atau Baduy Banten ikut upacara di Istana Merdeka kali pertama. Yang menarik, bangsa Badui atau Baduy memohon agama Sunda Wiwitan dimasukkan ke dalam kolom KTP. Permintaan suku Badui atau Baduy itu sangat patut diperhatikan oleh Presiden Jokowi di tengah kekhawatiran desakan budaya,agama dan peradaban asing. Kalau bangsa pedalaman khas seperti Badui telah menyuarakan pesan berarti ada hal yang penting dan mendesak. Salah satu indikasinya adalah rak buku di toko buku didominasi buku asing. Apa hubungannya dan implikasinya serta korelasinya dengan keluhan suku badui Banten yang prihatin? Mari kita lihat implikasi domininasi buku asing di rak toko buku Indonesia dengan identitas bangsa Indonesia dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita riang sentosa pesta-pora suka-suka selamanya senantiasa.

Semakin hari buku-buku asing mendominasi. Implikasinya, minat baca dan menulis masyarakat rendah. Implikasinya sungguh liar dan luar biasa merusak. Proses pematangan bangsa terganggu. Terdapat gap antara kepentingan (1) menemukan jati diri yang belum selesai, dengan (2) kebutuhan instan identitas diri kontemporer sebagai manusia Indonesia.

Dulu buku-buku asing sangat kuat. Ditulis dalam bahasa asing: Inggris. Kini buku-buku ecek-ecek K-Pop dan Naruto pun dialihbahasakan Indonesia. Buku-buku asing pun dialihbahasakan. Karya-karya anak bangsa kurang menggigit. Penyebanya adalah proses pencarian jati diri bangsa Indonesia yang belum selesai: selalu silau melihat kebudayaan dan peradaban asing.

Padahal jika bangsa Indonesia menguasai bahasa asing, maka sifat kaget dan kagum dengan dunia Barat terkikis. Sama tinggi sama pendek jika duduk dan berdiskusi. Sutan Takdir Alisjahbana menekankan penguasaan bahasa asing (Inggris dan bahasa asing Eropa lainnya) sebagai upaya menguasai ilmu pengetahuan dunia. Akibat banyaknnya penerjemahan, kemampuan berbahasa Inggris merosot, selain ilmu yang didapatkan juga: hasil terjemahan yang belum tentu otentik sama. Para mahasiswa Indonesia 90% tidak mampu menulis dalam bahasa Inggris dengan baik.

Kini, buku karya penulis Indonesia pun dipenuhi oleh buku-buku ringan nan tak ada isi: novel kelas pop, motivasi, cara menjual, cara kaya, dan seterusnya yang tanpa ada dasar pemikiran mendalam. Khas pop dan instan. Khasanah kebudayaan dan peradaban Indonesia tidak tergali dan terjaga dalam khasanah tulisan dan buku.

Peradaban dan kekayaan tergabung dan berasal dari seluruh kekayaan kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa seperti Jawa, Sunda, Batak, Tionghoa, Minahasa, Gorontalo, Using, Madura, Ambon, Kei, Moi, Mambrat, Ayamaru, Poso, Dayak, Nias, Aceh, Melayu, Badui, Bugis, Toraja, Makassar, Buton, Ternate, Bacan, Lampung, Sasak, Bali, Rote, Kubu, Alor, Atambua, Kupang, Mongondouw, Sangir, Talaud, Miangas, Siak, Banjar, Biak, Padang, dan kebudayaan asing Arab, India, Eropa. Oleh karena itu, buku-buku yang beredar di pasaran hanyalah buku-buku yang tidak memiliki daya kejut luar biasa yang mencerahkan.

Buku-buku yang terbit kehilangan daya tarik kontemporer – dianggap kalah dengan budaya Jepang, K-Pop dan Eropa serta India. Pertama, proses pencarian jati diri bangsa yang belum selesai menjadi penyebab utama tidak banyak hasil karya buku berbasis peradaban bangsa-bangsa di (daerah) Indonesia. Buku ilmu pengetahuan, filsafat, kebudayaan dipenuhi dengan ide pengubahan dan penyingkiran budaya daerah yang dianggap berseberangan dengan ajaran Arab (Islam), Tionghoa dan Eropa (Kristen). Agama hendak dijadikan barometer dan ukuran peradaban bangsa paling utama. Kemanusiaan dan kesalehan sosial kehilangan kemenarikannya dan hendak diganti dengan pemaksaan misalnya dengan paham Wahabi, anti-Kristus dan sebagainya.

Proses pencarian jatidiri atau identitas diri yang belum selesai itu bisa digambarkan dalam uraian tentang kisah keberagamaan bangsa Indonesia / Nusantara yang penuh akulturasi budaya dan keyakinan dan tidak sepenuhnya final. Penyebab salah satunya: local genius yang masih tak bisa dihapus dari setiap bangsa-bangsa di Indonesia seperti disebut di atas.

Dari peradaban kuno, local genius telah dibawa bangsa-bangsa di Indonesia dari daerah asal di Yunan, Tiongkok Selatan. Sejarah agama-agama di Indonesia dimulai pada awal abad ke-2 dan menemukan catatan pada abad ke-4. Hindu-Buddha menguasai masyarakat selama 1,400 tahun di Indonesia. Lalu pemelukan agama Islam di Indonesia secara mayoritas yang merata sejak 350-400 tahun lalu dan pemelukan agama Kristen 100-250 tahun menghasilkan kebudayaan khas: Islam Nusantara dan Kristen-Katolik Nusantara. Hanya Hindu-Buddha dan Konghucu yang justru masih menjadi roh kuat dalam diri orang dan semua pemeluk agama resmi di Indonesia.

Merebaknya buku asing – sebagai barometer kehilangan daya kekuatan jati diri – telah menyadarkan mayoritas pemeluk Islam tentang perlunya benteng. Salah satunya adalah mengembalikan kesadaran Islam rahmatan lilalimin yang berbasis kebudayaan dan peradaban local genius. Maka lahirlah Islam Nusantara. Oleh sebab itu maka terbentuklah Islam Nusantara, Nasrani Nusantara, Hindu Bali, Buddha Mahayana Nusantara. Itu untungnya sinkritisme antar agama di Jawa dan Nusantara sejak abad ke-4 Masehi masih berlangsung sampai sekarang.

Sikap, tabiat dan keyakinan beragama bangsa Indonesia memang tercampur-baur dengan berbagai peradaban asing Arab, India, Tionghoa dan Eropa. Kedatangan Wahabi di pertengahan abad ke-19 menghasilkan sikap perang melawan penjajah Belanda: kafir, menorehkan sentiment antar umat beragama yang berbahaya pada zaman kini. Ajaran keras Wahabi ini tak selamanya mendapatkan tempat di tengah keberagamaan bangsa-bangsa di Indonesia yang memiliki local genius. Kedua, kebutuhan identitas instan kontemporer yang tidak memiliki akar kuat. Ketidak-adaan dominasi local genius dalam keberagamaan bangsa menjadi penyebab labilnya keyakinan yang gampang terpengaruh oleh budaya dan tradisi serta peradaban baru. Itu tergambarkan dengan sejarah kedatangan agama-agama asing Hindu, Buddha, Konghucu, Islam, Kristen di tengah agama-agama dan keyakinan seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan serta agama-agama lokal lainnya.

[caption caption="Bangsa Badui Luar I Dok Pribadi"]

[/caption]

Bangsa Badui mampu bertahan karena memaknai dan menggunakan local genius dalam beragama: dengan agama Sunda Wiwitan. Bangsa Badui memelihara alam sekitar sebagai bagian dari kehidupan dan hidup mereka. Kearifan lokal yang bersumber dari local genius mampu memertahankan kehidupan yang alami, tentram, tanpa adanya kemiskinan absolut masyarakat modern. Kearifan lokal dan local genius bangsa Badui di Banten sanggup menghadapi tantangan keyakinan asing seperti Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Nasrani.

Kekhawatiran bangsa Badui ini sangat beralasan karena semakin banyaknya upaya memengaruhi bangsa Badui untuk memiliki KTP dengan identitas salah satu agama. Dengan mencantumkan agama tertentu, maka agama tertentu itu akan masuk ke bangsa dan wilayah Badui yang luas dan subur dengan mendirikan rumah ibadah.

Bangsa Badui menolak memiliki KTP karena dengan KTP itu maka identitas Sunda Wiwitan hilang dan hilanglah local genius yang selama berabad-abad menjadi penjaga keharmonisan hidup. Untuk itu, permintaan bangsa Badui tak boleh dianggap remeh dan harus dilakukan oleh Presiden Jokowi demi menjaga penjarahan budaya dan peradaban Badui. Terlebih lagi penjarahan tanah adat milik bangsa Badui yang subur dan mengandung banyak emas dan tambang yang luar biasa.

[caption caption="Perempuan Badui I Dok Pribadi"]

[/caption]

Jadi, justru bangsa Badui di tengah Upacara Bendera di Istana Negara tengah menyadarkan kepada bangsa Indonesia. Bahwa Presiden Jokowi diingatkan untuk menjaga local genius bangsa Badui tetap hidup. Juga adanya upaya kalangan umat beragama di luar Sunda Wiwitan yang akan menjarah kebudayaan dan kekayaan bangsa Badui. Bunusnya, gambaran kehilangan dan labilnya identitas bisa dilihat di toko buku. Plus munculnya kesadaran untuk kembali ke segala sesuatu yang berbau Nusantara. Islam Nusantara salah satunya upaya kembali ke akar local genius yang sesungguhnya: seperti bangsa Badui yang baru saja memberi pelajaran.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun