[caption caption="Jacob Oetama I Sumber Kompas.com"][/caption]
Apakah Anda termasuk salah banyak Kompasianers yang menelanjangi diri sendiri? Ya, tulisan Anda – apapun itu komentar di Facebook, Twitter, Tumblr, bahkan artikel di Kompasiana sampai buku – adalah gambaran pikiran Anda: potret keseluruhan Anda. Penulis besar dan bijak hanya akan menulis sesuai dengan keyakinan dirinya: karakter dirinya. Kisah wartawan senior namun sering menulis opini dan feature dan essay seperti Mochtar Loebis, BM Diah, Jacob Oetama, Rosihan Anwar dan Goenawan Mohamad, juga Mohamad Sobary menunjukkan karakter mereka. Berita yang mereka tulis adalah diri mereka sendiri. Mari kita tengok kebenaran tentang tulisan Anda yang memotret diri Anda sendiri dengan hati suka-cita senang bahagia riang ria pesta-pora gembira suka-suka senantiasa selamanya.
Pertama, Anda tak bisa mengelak bahwa tulisan Anda adalah potret diri Anda sendiri. Karena tulisan Anda adalah gambaran Anda, maka tulisan Anda sebenarnya bisa menelanjangi diri sendiri, baik secara positif, maupun negatif. Tergantung dengan arah dan garis tulisan Anda.Bagaimana kalau menyembunyikan diri sendiri dengan menulis kebalikan dari keyakinan diri sendiri? Tetap saja akan tampak Anda menelanjangi diri sendiri dengan tulisan yang Anda anggap bukan diri Anda.
Malah salah-salah Anda dikategorikan ke dalam kelompok yang Anda akan kaget: double personality. Kenapa? Karena tulisan Anda adalah gambaran Anda secara psikologis: apapun tulisan Anda. Fiksi, reportase, opini, ilmu dan apapun yang Anda tulis secara menyeluruh akan menggambarkan diri Anda sebenarnya.
Ya. Tulisan Anda adalah gambaran diri Anda. Tulisan atau artikel Anda adalah warna diri Anda. Semisal Anda mau berkelit dengan hanya menulis dan menampilkan reportase, dan bukan opini, maka Anda tetap tergambar dalam tulisan Anda. Di dunia wartawan biasa – bukan wartawan investigatif – sering terdapat spesialisasi berita yang ditulis atau dilaporkan oleh wartawan. Anda tak bisa mengelak.
Kedua, reportase yang dianggap fakta nyata di lapangan adalah gambaran keyakinan Anda. Tanpa ada landasan keinginan Anda pada bidang tertentu, Anda tak akan melaporkannya. Anda melaporkannya karena sesuai dengan keyakinan Anda. Kisah wartawan senior namun sering menulis opini dan feature dan essay seperti Mochtar Loebis, BM Diah, Jacob Oetama, Rosihan Anwar dan Goenawan Mohamad, juga Mohamad Sobary menunjukkan karakter berita yang mereka tulis. Tulisan mereka adalah gambaran keyakinan mereka.
Ketiga, orang tertarik menulis reportase didasari oleh pikiran dan keinginan subyektif yang ingin ditunjukkan kepada orang lain. Misalnya, Bung Taufik Uieks mewartakan reportase humanismenya, pluralismenya, dan keluasan pandangan dan pikirannya setiap saat. Itu artinya Bung Taufik Uieks memotret dirinya dengan reportasenya. Dari tulisan Bung Taufik tampak bahwa Bung Taufik senang bepergian jalan-jalan di dalam dan luar negeri: dan humanis.
Lalu, Ellen Maringka misalnya yang menuliskan berbagai hal keindahan kehidupan berumah tangga dan beranak pinak. Kesalehan dan kemenarikan Ellen Maringka yang cerdas, santun, matang dan cantik menjadi gambaran dirinya. Semua itu didapatkan dari tulisannya.
Keempat, dalam reportase fakta dan peristiwa digambarkan sebagai berita. Padahal, berita adalah hasil olah pikiran ketertarikan pada sesuatu oleh seseorang: bisa wartawan bisa orang biasa. Orang, termasuk kita para Kompasianers, sering berusaha netral dan obyektif dalam menulis dan beropini. Beda reportase dan opini sangatlah kecil dan hampir tak terlihat. Orang menulis reportase tertentu karena mengikuti subyektivitas dirinya, lalu mencari fakta yang sesuai dengan subyektivitas. Lantas reportase tadi dianggap menampilkan fakta.
Kelima, opini bukan selalu sebagai murni pendapat penulis. Opini adalah rangkaian fakta-fakta yang ‘dibelokkan’ dan ‘diarahkan’ sesuai denga keinginan penulis. Tujuan opini adalah untuk memengaruhi publik dan pembaca dan publik. (Reportase adalah opini yang tampak nyata dan terlihat.) Sedangkan opini adalah reportase gambaran suatu fakta yang imajinatif, analitis, dan mungkin belum atau tidak akan terjadi. Opini yang cerdas mengalahkan reportase fakta yang nilainya: hanya berita. Sedangkan opini justru sanggup memengaruhi peristiwa di masa depan dan masa lalu.
Keenam, kekuatan opini mampu mengubah peristiwa masa lalu. Kita ingat bagaimana Nugroho Notosusanto pada masa rezim eyang saya Presiden Soeharto dituduh mengubah sejarah. Nugroho dianggap membelokkan sejarah. Sejarah Indonesia modern banyak dibelokkan untuk kepentingan rezim eyang saya Presiden Soeharto. Sejarah Indonesia dalam pandangan Nugroho adalah sejarah dari sudut pandang militer: militer sentris.