Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pasal Penghinaan Presiden: Jokowi Lebih Baik Tiru Soeharto, bukan SBY dan Sarpin

9 Agustus 2015   08:31 Diperbarui: 9 Agustus 2015   08:31 3061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maka ketika pasal Penghinaan Presiden tersebut hendak dijadikan undang-undang, pro dan kontra menyeruak. Publik terpecah menjadi tiga faksi. Faksi (1) pendukung Presiden Jokowi, (2) faksi penentang Presiden Jokowi yang WTS (waton suloyo), dan (3) faksi pengamat.

Para pendukung presiden terpecah menjadi dua (1) mendukung pasal penghinaan presiden beralasan untuk memberikan payung hukum dan melindungi agar tak terjadi pasal karet. Alasannya, jika pasal yang digunakan adalah pasal pencemaran nama baik, seperti yang digunakan oleh Sarpin untuk menjerat hakim Komisi Yudisial, itu pasal karet.

Faksi (2) sebagian pendukung Presiden Jokowi bergabung ke dalam kelompok oposan – termasuk penentang Presiden Jokowi – juga khawatir pasal itu dianggap menghidupkan lagi trauma kepada cengkeraman eyang saya Presiden Soeharto. Faksi (3) pengamat berada pada posisi penentang pasal ini dan bergabung dengan para pendukung capres Prabowo-Hatta yang gagal move on.

Perlu diketahui eyang saya Presiden Soeharto belum pernah melakukan somasi. Eyang saya Presiden Soeharto tak pernah melontarkan ancaman, reaksi pribadi terkait dengan kritikan dan kecaman kepada eyang saya Presiden Soeharto. Penghukuman yang dilakukan terhadap para pengritik dan pengecam secara otomatis ditangani oleh para penegak hukum.

Dengan demikian ada mekanisme hukum yang berlaku untuk pasal penghinaan terhadap presiden sebagai institusi dan bukan sebagai pribadi. Sarpin? Jangan ditiru. Itu saja. Untuk apa Presiden Jokowi meniru orang seperti Sarpin? Menuntut dan lapor Bareskrim? Presiden Jokowi hanya akan membuang-buang waktu saja.

Nah, dengan demikian, untuk menjaga martabat simbol negara yakni jabatan Presiden RI, maka pasal tentang Penghinaan Presiden perlu dihidupkan lagi. Tujuannya adalah (1) untuk melindungi rakyat terkena pasal karet. Untung Presiden Jokowi tidak pernah dan tidak akan menuntut penghinanya, seperti kasus Facebook itu.

Karena SBY sering melontarkan ancaman somasi, maka Presiden Jokowi lebih baik memilih jalan terhormat yakni dengan KHUP yang spesifik (2) mengatur penghinaan terhadap Presiden RI, bukan pribadi Jokowi. Dan KUHP ini pun berlaku ke depan – siapapun presiden RI yang bukan Presiden Jokowi.

Jadi, Presiden Jokowi lebih baik meniru langkah eyang saya Presiden Soeharto dengan menghidupkan lagi pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP, daripada meniru orang semacam SBY atau apalagi Sarpin untuk urusan pencemaran nama baik yang merupakan pasal karet. Kenapa?

Catatan khusus: Apa standard nama baik itu??? Ketahuilah di dunia ini tak ada ‘Nama Baik’. Ya, ‘Nama Baik’ tidak pernah ada. Yang ada nama SBY atau Sarpin. Bukan ‘Nama Baik’.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun