[caption caption="Presiden Jokowi I Sumber Sindonews.com"][/caption]
Selain kain sarung yang dikenakan Presiden Jokowi, yang menarik dari Muktamar NU ke-33 di Jombang adalah NU akan menyelamatkan MUI. Fatwa MUI yang menyebutkan BPJS haram dipastikan tak akan dipatuhi oleh para kiai dan ulama NU. MUI pun ngeper lewat petnyataan Din Samsudin. Dapat dipastikan, Muktamirin NU akan mengambil sikap garis tengah untuk menenangkan baik pemerintah maupun masyarakat yang terkena fatwa MUI soal BPJS Kesehatan. Mari kita tengok salah satu keputusan Muktamar NU ke-33 yang akan mengambil keputusan penting yakni terkait dengan berbagai isu penting termasuk BPJS dengan hati gembira ria senang sentosa suka-cita pesta pora bahagia riang senantiasa selamanya.
Ketua Umum PB NU Said Aqil Sjiradj menyatakan mendukung pemerintah, dalam pembukaan Muktamar NU di Jombang. Kelahiran gerakan Islam Nusantara atau Islam yang membumi, Islam yang moderat, tak lepas dari sikap pluralis NU selama ini. Said Aqil Sjiradj dikenal memiliki akar ke-NU-an yang kental dan memiliki kemiripan dengan Gus Dur. Fatwa MUI selama ini hanya menjadi hiasan semata. Tak ada sebenarnya urgensinya menaati dan mengimani MUI. MUI bukan lembaga yang memiliki otoritas mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Islam telah mengatur tata cara dan hukum.
Muktamar NU menyatakan akan mengambil sikap bahwa BPJS bukanlah produk haram. Untuk itu sudah selayaknya MUI mencabut fatwanya yang sembarangan itu. Salah satu keputusan yang ditunggu adalah Muktamar NU akan memutuskan BPJS kesehatan tidak haram. Sikap NU ini ditujukan untuk menghantam MUI – yang oleh sebagian warga dan para kiai NU dianggap organisasi Islam yang tidak memiliki dasar hukum menentukan halal-haram. Gus Mus bahkan tidak pernah menganggap para kiai atau yang mengaku ulama MUI. Said Aqil Siradj menganggap MUI tukang mengumbar fatwa yang tak penting. Akibatnya MUI semakin menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Ada beberapa alasan dari kalangan NU untuk menghentikan langkah kebablasan MUI ini.
Pertama, para ulama NU tidak memiliki akar sebagai ulama seperti tradisi keulamaan kiai NU yang teruji. Keulamaan para orang MUI hanya karena terpilih menjadi anggota MUI.
Kedua, keulamaan MUI terkait dengan sumbangan dan biaya kedudukan atas dukungan pemerintah. Pada zaman kekuasaan eyang saya Presiden Soeharto, MUI tidak berani mengeluarkan fatwa. Fatwa yang dikeluarkan hanya yang tidak terkait dengan masalah politik. Maka kedudukan ulama MUI adalah dianggap ulama plat merah. MUI pun menjelma menjadi lembaga yang mendukung pemerintah.
Nah, pada masa reformasi, MUI yang diisi oleh para orang yang menganggap diri ulama, bermain di tataran politik. MUI DKI mengeluarkan fatwa memilih Jokowi-Ahok haram. Tenyata masyarakat hanya menertawakan fatwa MUI: Jokowi-Ahok menjadi pemenang. Pada pilpres pun MUI bermain dan tampak mendukung Prabowo-Hatta, kalah. Kekalahan ini membuat MUI mengeluarkan berbagai maneuver misalnya: mengeluarkan fatwa yakni: berdosa tidak menepati janji kampanye. Upaya politis dengan mengeluarkan fatwa: berdosa bagi pemimpin yang tidak menetapi janji kampanye tak perlu dikeluarkan.
Hukum dasar Islam tidak menepati janji apapun juga jelas haram dan berdosa. Tidak menepati janji adalah gambaran kemunafikan. Salah satu tanda orang munafik. Padahal politik adalah pencitraan dan kesan. Politik adalah kebohongan dan kemunafikan dan kecurangan dan kemalingan. Tanpa mengeluarkan fatwa pun semua orang Islam di seluruh dunia tahu tidak menetapi janji berdosa. Tak salah Said Aqil Siradj menyatakan MUI obral fatwa.
Nah, MUI tak perlu mengobral ancaman tentang janji kampanye. Saat ini MUI kekurangan kerjaan dan garis ‘korupsi’ dan labelisasi kurang mendapat job. (Publik dan pengusaha tahu betapa labelisasi halal menjadi bisnis MUI yang ruwet dan diruwetkan dan UUD – ujung-ujungnya duit. Standardisasi label halal MUI mungkin lagi sepi order jadi MUI meributkan BPJS, dan fatwa ingkar janji kampanye. He he he.)
Ketiga, MUI memanfaatkan dan menunjukkan kedangkalan ilmu mereka tentang Syariah. Dipastikan para ulama saat ini yang tergabung dengan kelompok MUI – yang tidak memiliki pondok pesantren dan tidak memiliki akar keulamaan seperti para Kiai Langitan – tidak memiliki akar keilmuan agama dibandingkan dengan para kiai NU. Pemahaman Syariah MUI didasari oleh sentimen dan emosi akibat ‘dosa Jokowi berpasangan dengan Ahok’
Dendam sentiment MUI ini diarahkan ke sasaran yakni: program unggulan BPJS yang sangat bermanfaat bagi rakyat. (Perhitungan politik MUI adalah dengan menghantam BPJS akan melumpuhkan program kesehatan Presiden Jokowi-JK. Tak disangka MUI, fatwa MUI ini mendapatkan tentangan berbagai kalangan yang membuat MUI ngeper juga.)
Din Syamsuddin ngeles dengan memertanyakan kata haram yang sudah telanjur menempel. Tak berguna omongan Din Syamsuddin – yang aneh. Biasanya Din Syamsuddin pandangannya normal seperti Buya Syafe’I Ma’arif: benar. Nah, kali ini Din Syamsuddin mendukung fatwa haram BPJS.
Kedangkalan ilmu MUI terkait Syariah adalah sebagai berikut. Seharusnya (1) uang para pentolan MUI yang ditransfer oleh para pengusaha menggunakan BANK Non-Syariah haram pula. Lalu (2) uang para pentolan pejabat dan ulama MUI yang disimpan di bank non-Syariah haram. (3) Sumbangan pemerintah yang ditransfer oleh pemerintah kepada MUI juga haram.
Dan (4) semua uang orang di Indonesia adalah haram karena semua uang bermuara dan diurus oleh Bank Indonesia yang tidak Syariah. Percuma MUI berkoar-koar tentang halal-haram Syariah kalau (5) pusat keuangan Indonesia dikuasai oleh Bank Indonesia yang bukan Syariah.
Dan (6) jika mau menghalalkan transaksi semua perbankan, MUI harus mengeluarkan fatwa Bank Indonesia haram. Itu baru penyelesaian. Setelah menetapkan BI haram dan mengubah menjadi BI Syariah, jika BI melakukan transaksi dengan bank di luar negeri, pilih yang syariah. Tanpa mengubah hukum NKRI menjadi hukum Syariah, maka semua transaksi perbankan menjadi haram.
Jadi, koaran fatwa MUI soal BPJS adalah wujud kedangkalan MUI sendiri dalam melihat hukum Negara, agama dan politik MUI. Keempat, Muktamar NU di Jombang akan mengeluarkan keputusan bahwa BPJS kesehatan tidak haram. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan yakni faktor kemasylahatan ummat. Jadi, NU memutuskan untuk meluruskan dan menenangkan ummat Islam dari komporan MUI soal BPJS kesehatan.
Jika MUI mengharamkan BPJS - sebagaimana diungkapkan oleh Kompasianer Ilyani, bagaimana dengan sekali lagi ONH alias ongkos naik haji yang disimpan di bank konvensional????? MUI tidak mengeluarkan ancaman haram. Lalu uang Rp 25 juta yang disetor selama 15 tahun ‘bunga uang ONH’ untuk DAU dana abadi umat. Umat yang mana pernah menerima? Mana ada kembali ke pemiliknya ‘bunga’ itu? Untuk itu, Muktamar NU akan menyelamatkan MUI dari kemaluan yang lebih besar dan menjadi bahan tertawaan anak kecil dan para orang yang bisa berpikir. Salah satu yang bisa berpikir adalah para ulama yang tengah bersidang di Muktamar NU ke-33 di Jombang. Yang menyenangkan adalah sekarang anggota pecinta sarung bertambah satu: Presiden Jokowi. Sebelumnya anggota pecinta sarung selain para kiai langitan adalah Sudjiwo Tedjo, Jaya Suprana dan Ki Sabdopanditoratu.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H