Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

15 Prestasi SBY 10 Tahun Dibanding Jokowi

9 Juli 2015   09:02 Diperbarui: 9 Juli 2015   09:02 13399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkuasa 10 tahun adalah jaminan kehebatan. Bertakhta 10 tahun adalah tanda kekuasaan. Memerintah selama 10 tahun adalah bukti kekuatan. Ya bukti kecerdasan berpolitik. SBY adalah fenomena politik yang menjadi catatan khusus. Kritis. Taktis dan berpolitik santun dilakukan oleh SBY sampai sekarang. Mari kita tengok 15 keberhasilan SBY dibandingkan dengan Presiden Jokowi dengan hati gembira ria suka cita senang sentosa bahagia pesta pora selama-lamanya senantiasa.

Pertama, keberhasilan menampakkan kecerdasan politik SBY. Kecerdasan berpolitik licik SBY – karena politik bagi SBY mengamalkan teori politik yang disebut the art of fooling people – dimulai pada tahun 2004, ketika dia bersiap ikut capres namun memainkan emosi Mega dan rakyat. Kelabuaan ala SBY berhasil menciptkan politik belas kasihan yang seoalah SBY adalah korban politik Mega. Itulah kelicikan SBY paling mendasar yang mendasari setiap langkah politik SBY selanjutnya: licik.

Kedua, keberhasilan menumpuk hutang untuk subsidi BBM. Memasuki masa kekuasaan 2004-2009, kondisi politik cukup normal di permukaan. Yang ada adalah memberi rakyat gambaran kondisi ekonomi, politik, sosial yang normal. Ini ditandai dengan serangkaian pemboman dan terorisme yang menjadi isu yang bisa digiring ke kanan-kiri untuk memainkan emosi rakyat. Ekonomi subsidi menjadi panglima dan dijadikan alat penggambaran keberhasilan ekonomi, dnegan menumpuk hutang untuk subsidi BBM.

Ketiga, keberhasilan berpidato mendayu-dayu tanpa penuh emosi. SBY pun senang dengan politik mengeluh dan curhat di depan rakyatnya. Bahwa SBY dengan cerdas, yakni dengan cara mengatur the flow of information untuk rakyat. Dengan menghiba-hiba SBY mendapatkan dukungan rakyat. Gaji belum naik pribadi sebagai presiden juga diungkapkan di depan prajurit TNI.

Keempat, keberhasilan membangun politik sedekah dengan BLT. SBY pun dengan cerdas memanfaatkan politik sedekah untuk rakyat. Politik ekonomi hadiah menjadi tanda dengan fenomena BLT (bantuan langsung tunai) yang dijadikan alat kampanye pada pileg dan pilpres. BLT dicairkan mendekati pemilu. Rakyat miskin menjadi target money politic resmi SBY dengan uang negara pula. Sah dan meyakinkan. Seolah uang itu sedekah bagi rakyat dari SBY.

Kelima, keberhasilan memelihara politik-ekonomi tanpa membangun infrastruktur pendukung ekonomi. SBY pun tidak membangun infrastruktur untuk memberi fondasi ekonomi. Masa selanjutnya pun sama selama 2009 sampai 2014 banyak sikap SBY yang sungguh luar biasa: anomali. SBY menghalangi pembangunan berbagai infrastruktur, kilang minyak, membangun smelter untuk menghalangi ekspor dan hanya memberi kesempatan pengusaha besar seperti milik Ical KPC misalnya.

Keenam, keberhasilan mengumpulkan semua parpol untuk mendukung SBY. SBY pun merangkul setiap kekuatan politik kecuali PDIP yang memang Mega anti SBY. Semua kekuatan politik dirangkul namun bukan digunakan untuk membangun: melainkan untuk membagi kue ekonomi. Politik yang tenang dipenuhi dengan upaya korupsi semua menteri dan dirjen sampai eselon 1. Pejabat cecunguk semacam Rudi Rubiandini Kepala SKK Migas pun dicokok. Tak pelak lama sebelum itu, R Priyono Kepala BP Migas yang korup pun akhirnya dicokok.

Ketujuh, keberhasilan meningkatkan korupsi dan memenjarakan para pentolan partai politik pendukungnya. Pada masa ini tampak sekali 40 persen ketua parpol melakukan korupsi seperti Anas Urbaningrum dan Luthfi Hasan Ishaaq dan Suryadharma Ali. Selain itu kekuasaan dibagikan dan disalahgunakan oleh para menteri SBY: Andi Mallarangeng, SDA, Jero Wacik, Dahlan Iskan, dll yang menjadi pesakitan dalam politik ekonomi berbagi ala SBY.

Kedelapan, keberhasilan menghasilkan calon presiden yang tak dijual ke partai lain. Ini kelicikan luar biasa. Para kandidat capres disuruh kampanye demi nama Partai Demokrat dengan biaya sendiri. SBY mendomplengkan PD dalam konvensi capres ala SBY. Menjelang pilpres 2014, untuk mendongkrak Demokrat yang hancur karena korupsi para pentolannya, Anas, Andi, Angie, Hartati Murdaya Poo,Sutan, mengadakan konvensi menjaring capres.

Hasilnya, pemenangnya Dahlan Iskan tidak diajukan baik sebagai capres maupun cawapres. Padahal semua calon capres yang dijaring mengeluarkan uang bernilai puluhan miliaran untuk berbagai kampanye. Gagal total karena nama buruk.

Kesembilan, keberhasilan menjadikan Demokrat partai gurem. Demokrat pun dalam pileg hanya menghasilkan kursi dari sisa remah-remah loyalis yang kebetulan berkuasa. Trend kehancuran Demokrat sama dengan partai agama PKS yakni menjadi partai gurem eksklusif dengan loyalis yang itu-itu saja.

Kesepuluh, keberhasilan mendukung dan menjadi salah satu sebab capres Prabowo gagal. Gagal mengajukan calon, SBY tidak tegas mendukung Prabowo atau pun Jokowi. Pada akhirnya SBY justru menjadi kunci kekalahan bagi Prabowo. Dukungan SBY digambarkan sebagai dukungan setengah kaki. Satu kaki. Banci. Di satu sisi menyatakan dukungan kepada Prabowo namun dia juga membiarkan Luhut Sitompul menjadi pendukung Jokowi. Sikap SBY ini menghancurkan kondisi psikologis pemilih bahwa SBY saja tak 100% yakin Prabowo akan menang.

Kesebelas, keberhasilan melakukan upaya anti demokrasi dengan usulan Pilkada DPRD namun gagal. Di akhir pemerintahan SBY, SBY mendorong Pilkada DPRD – dan tidak dipilih langsung oleh rakyat. Dengan manuvernya akhirnya SBY yang menginiasiasi ide anti demokrasi lalu menarik kembali rancangan Pilkada DPRD itu dengan Perppu. SBY menjilat ludahnya sendiri.

Tujuan SBY membuat perubahan itu adlah untuk membuat para kepala daerah di bawah kekuasaan para anggota DPRD, untuk menyuburkan korupsi DPRD dan menghancurkan demokrasi. Upaya SBY ini gagal total dan warna SBY dipenuhi dengan gambaran ambigu, peragu dan licik.

Kedua-belas, keberhasilan menjadikan media sosial sebagai alat kesenangan untuk berpidato nggak karuan yang tak ditanggapi oleh Presiden Jokowi. Sudah belepotan gagal membangun Indonesia, SBY masih saja berkoar-koar seolah berkuasa dengan aneka politik Facebook dan Twitter. Mengeluarkan statement seolah masih berkuasa. Berpidato dikira rakyat mendengarkan. Padahal rakyat abai sama sekali dengan akal-akalan SBY dalam politik pencitraannya itu.

Ketiga-belas, keberhasilan menjadi Ketum Demokrat dan memecat pengritiknya Marzuki Alie. Setelah gagal dalam merusak demokrasi dalam Pilkada DPRD, dengan tak tahu rasa malu, SBY tetap menggenggam Ketum Partai Demokrat yang oleh Marzuki Alie disindir karena jadi Ketum yang janjinya sementara. Eh, permanen lima tahun lagi. Apa tujuannya? SBY kemungkinan akan maju lagi tahun 2019, kalau perlu sebagai capres dengan Sutan Bathoegana sebagai Wapres-nya. Selain itu tentu dia akan berkiprah membela pemerintahan gagalnya di Indonesia selama 10 tahun.

Keempat-belas, keberhasilan bersikap menunjukkan post-power syndrome akut. Maka seolah masih berkuasa, SBY memerintahkan Jokowi yang dianggap sebagai menterinya, anak buahnya untuk menuruti omongan SBY. Jokowi juga disuruh-suruh untuk menjelaskan kondisi ekonomi Indonesia saat ini oleh SBY. Buat apa Presiden Jokowi menjelaskan ke SBY? Lah SBY saja sudah tahu sebab kondisi ekonominya: yakni tidak membangun fondasi ekonomi seperti infrastruktur dan berbasis impor sampai impor baju bekas.

Kelima-belas, keberhasilan membuat istilah baru partai penyeimbang yang tak laku; rakyat melihatnya sebagai politik banci tak bertanggung jawab. Salah satu gaya politik paling tidak bertanggung jawab adalah SBY yang tak berani bertanggung jawab mengenalkan istilah banci dalam politik: partai penyeimbang. Istilah partai penyeimbang tidak ada dalam politik. Itu istilah yang dipakai untuk agar bisa bermain di dua atau tiga kaki.

Penyeimbang adalah istilah yang tak bertanggung jawab dan tak pantas dianggap benar dalam konteks teori politik dan sikap etika politik. Istilah penyeimbang adalah istilah yang tak layak dianggap benar dalam politik. Itu istilah yang dibuat sendiri dan tak masuk dalam dunia politik manapun: yang ada adalah sikap banci.

Itulah lima belas keberhasilan SBY selama 10 tahun memerintah. Kalau memang dari sononya ya begitu, anomali manusia SBY menjadi catatan bagi bangsa Indonesia dan Indonesia membuang-buang waktu untuk kelakukan SBY selama 10 tahun. Jokowi? Baru 9 bulan berani membubarkan Petral dan melawan mafia migas dan illegal fishing. 10 tahun SBY tak berani. Kecut. Penakut. Mau bilang oposisi saja tak berani dan menjadi penyeimbang.

Salam bahagia ala saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun