Sabda Raja Jogja Sultan Hamengku Bawono X berdasarkan wahyu Allah SWT menuai kontroversi berbagai, dukungan, kecaman, dan tentangan. Selain 11 adik Sultan HB X, bahkan Paguyuban Dukuh Gunung Kidul menganggap wahyu yang turun ke Sultan lewat leluhur dianggap tak masuk akal alias omong kosong. Bahkan akan ada gerakan tapa pepe di alun-alun utara untuk menentang keputusan Sultan HB X. Terkait wahyu kepada Sultan HB X disebut bohong dan omong kosong serta tak masuk akal. Ki Sabdopanditoratu memberikan pencerahan terakait istilah wahyu dalam ilmu kosmologi Jawa dan Kejawen dengan hati gembira ria senang sentosa riang bahagia suka cita pesta pora tak henti senantiasa selamanya.
Perihal wahyu dari Allah SWT ini perlu dijelaskan kepada khalayak ramai dan rakyat Jogjakarta. Istilah wahyu mengacu pada pesan dari Yang Maha Kuasa. Istilah wahyu jangan dicampuradukkan dengan pemahaman di luar konteks budaya dan keyakinan Kejawen dan fungsi Kerajaan Mataram.
Dikomandani oleh KBPH Yudhaningrat, sabda dan dawuh Sultan HB X dianggap catat hukum dan cacat konstitusi. Karenanya, sebelas adik-adik lelaki Sultan HB X menolak meskipun tidak secara frontal. Adik-adik Sultan HB X sebenarnya memahami bahwa Raja berhak sepenuhnya memberikan sabda. Bahkan tentang wahyu pun keluarga Kraton Jogja tidak mempermasalahkan. Hanya orang luar yang mempermasalahkan seperti Wakil Ketua Tanfidziah Dahdlatul Ulama Jogjakarta Jadul Maulana.
Jadul Maulana tidak memahami khasanah mistik Jawa dan Kejawen dalam memberikan komentar. Dalam khasanah mistik dan budaya Jawa dan Kejawen - dan Sultan HB X sebagai penjaga Keyakinan Jawa dan agama-agama lainnya lewat gelar Panatagama - setiap orang bisa mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Petunjuk dari Allah SWT yang disebut sebagai wahyu merupakan hal yang wajar dan bisa didapatkan oleh siapa saja dengan melakukan ritual agama - agama apa pun.
Maka dalam Islam pun selalu diajarkan untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Seperti dalam doa meminta petunjuk dari Allah SWT: ihdinas siratal mustaqim, tunjukkanlah ke jalan yang benar .... Nah, meminta petunjuk dan Allah SWT memberikan petunjuk kepada yang meminta.
Nah, dalam konteks memberikan petunjuk Allah SWT memberikannya dalam bentuk yang disadari oleh manusia - bagi yang menjalankan ritual ketaatan dan ketaqwaan seperti yang dilakukan oleh Sheikh Siti Jenar misalnya. Ada petunjuk yang disampaikan oleh Allah SWT kepada manusia tanpa manusia itu menyadarinya secara di atas sadar: dalam kesadaran menerima petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa Gusti Allah SWT.
Maka ketika seorang Raja Mataram melakukan laku ritual, Sultan HB X mendapatkan petunjuk dari Allah SWT - yang disebutnya sebagai wahyu dalam bahasa dan budaya Jawa, yang oleh Sultan HB X disebut dawuh dan wahyu alias petunjuk dari Allah SWT. Lantas pesan itu disampaikan oleh Sultan HB X kepada rakyat. Sultan pun menyampaikan pesan dan petunjuk Allah SWT itu apa adanya. Dan Sultan pun sumeleh apa adanya dan menyerahkan sepenuhnya apa yang bakal terjadi kepada Gusti Allah SWT: suatu sikap pasrah dan taqwa penguasa Jawa yang taat akan perintah leluhur.
Bukan karena wahyunya yang salah, namun karena isinya yang merugikan adik-adik atau rayi Sultan HB X, maka mereka mempermasalahkan isi sabdatama dan sabdaraja dalam bentuk perintah atau dawuh dari Gusti Allah SWT melalui leluhur. Tak ada keluarga Kraton Jogja mempermasalahkan terkait wahyunya seperti yang diributkan oleh Jadul Maulana misalnya.
Dalam khasanah kekuasaan Mataram, Raja berhak menentukan pengganti Raja. Bahkan penunjukan Sultan HB X pun bukan dilakukan oleh Sultan HB IX. Sultan HB X (Pangeran Mangkubumi, Herjuto Darpito) diangkat menjadi Sultan Jogja sepeninggal HB IX tanpa pengangkatan. Maka musyawarah pun dilakukan selain laku ritual oleh kalangan Kraton Jogja. Jika dipahami, laku ritual menjadi penentu pengangkatan Sultan HB X menjadi sultan Jogja.
Perhitungan primbon untuk Sultan bisa mencapai angka 9. Namun pada saat itu, perhitungan dari Ki Sabdopandotoratu mengindikasikan bahwa Tatik Drajat akan menjadi titik ambisi yang mengganggu keseimbangan Sultan HB X ketika menjadi raja. Namun, namanya cinta - kisahnya menjadi sama dengan yang terjadi pada GKR Pambayun dan Nieko Yudha - maka pernikahan Sultan-Tatik Drajat pun tetap dilangsungkan.
Pernikahan dengan orang kebanyakan Tatik si peragawati yang bahkan tak bisa berbahasa Jawa menyebabkan perubahan dan gonjang-ganjingin Kraton yang membawa nama Sultan HB X pula. Sejak lama Sultan HB X dianggap sangat bijaksana seperti Sultan HB IX. Namun, diyakini karena sepak-terjang politik Tatik Drajat alias GKR Hemas yang bahkan pernah berkhianat di MPR RI menjadi pengaruh aura buruk bagi Jogja dan juga Sultan HB X. Hal ini bisa diatasi dengan berbagai ritual dan penyesuaian dan penyembuhan dan pengorbanan serta laku hidup dengan ritual khusus. Tampaknya Sultan HB X dan keluarganya belakangan lebih memperhatikan ritual mistis: dengan puncaknya mendapatkan wahyu atau petunjuk mistis tersebut.