Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sabda Sultan HB X: 11 Rayi Sultan Kalah, GKR Mangkubumi Jadi Ratu

10 Mei 2015   08:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:12 3759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431224622831783911

[caption id="attachment_416390" align="aligncenter" width="627" caption="GKR Mangkubumi (Tribunnews.com)"][/caption]

Dipimpin oleh salah satu adik-adik Sultan HB X, 11 adik atau rayi menentang keputusan sabda dan dawuh Sultan HB X. Penentangan ini akan menjadi babak baru kisruh di Kerajaan Mataram Islam kali pertama sejak penunjukan Mas Lodang sebagai raja. Awal penentangan adalah garis keturunan diubah dari patrilineal ke matrilineal, dan itu bermakna penyingkiran silsilah selain dari Sultan HB X. Apa implikasinya bagi Mataram Baru dan apa sebab lain 11 rayi menentang sabda dan dawuh Sultan HB X? Mari kita tengok kisruh ini dari sisi kekuasaan raja Mataram dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka cita pesta pora senantiasa.

Arah naiknya GKR Pambayun atau GKR Mangkubumi untuk menjadi Ratu Mataram sudah tampak sejak lama. Juga kekalahan adik-adik Sultan HB X. Menurut Ki Sabdopanditoratu ada tiga tanda naiknya Pambayun menjadi Ratu Mataram yakni sejak (1) pernikahan GKR Pambayun dengan Nieko Messa Yudha, (2) pemberian gelar KPH Wironegoro oleh Sultan HB X, (3) pemondongan atau pengangkatan dan peninggian dalam acara pernikahan GKR Pambayun dan KPH Wironegoro oleh KGPH Yudhaningrat.

Tiga peristiwa itu menjadi pertanda alam. GKR Pambayun menikah dengan orang kebanyakan. Berdasarkan dawuh dan wahyu cakraningrat, Sultan HB X memberi nama menantunya Wironegoro. Nama Wironegoro memiliki makna sakral: wira memiliki makna ‘keberanian, nekat, ksatria' dan negoro bermakna ‘wilayah, bangsa, wangsa dan negara'.

Maka pemberian nama Wironegoro itu menunjuk secara mistis bahwa keturunan Wironegoro akan melanjutkan silsilah Kerajaan Mataram - dengan demikian secara otomatis perjanjian Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pamanahan berakhir.

Terkait upacara pondongan, pengangkatan GKR Pambayun oleh KGPH Yudhaningrat - adik tertua Sultan HB X - menunjukkan (1) pesan mistis ‘pengangkatan GKR Pambayun' di atas semua keluarga paman dan tante GKR Pambayun, (2) secara mistis terdapat pengakuan dari adik-adik Sultan HB X bahwa GKR Pambayun akan menjadi Ratu Mataram berikutnya.

Untuk melegitimasi arah takdir GKR Pambayun menjadi Ratu Mataram, petir dan angina ribut menggelegar dan bertiup kencang. Makna mistisnya adalah alam menandai naiknya Ratu Mataram dengan merayakan bunyi guntur dan geledek sebagai pengganti bunyi petasan. Artinya, secara mistis sudah pas dan sesuai takdir GKR Pambayun menjadi Ratu.

Maka jika dirunut sejak itu, terdapat takdir dan peristiwa yang tak dapat disangkal. Pertama, Sultan HB X tidak memiliki anak lelaki. Kedua, penyerahan diri KGPH Yudhaningrat yang mengangkat GKR Pambayun dalam upacara pondongan. Ketiga, pemberian nama Wironegoro untuk menantu Sultan yang pada akhirnya menurunkan generasi baru dan silsilah baru Raja Mataram di luar Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamanahan. Keempat, Sultan HB X bertindak atas tekanan GKR Hemas yang ambisius. Kelima, Sultan HB X mengeluarkan Sabdaraja dan sabdatama berdasarkan wahyu cakraningrat yang Sultan HB X pun tak mampu keluar dari takdir.

Langkah Sultan HB X memutus perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamanahan terkait suksesi raja Mataram adalah langkah besar dan nekad - yang juga takdir. Kenekadan Sultan mengakhiri perjanjian terkait suksesi raja Mataram yang saling berganti antara kedua keturunan. Dengan pengakhiran itu menimbulkan implikasi: (1) hanya keturunan HB X yang akan menjadi raja Mataram, (2) tersingkirnya silsilah raja dan keturunan selain dari garis HB X, (3) tidak didapatkannya raja terbaik di antara keturunan yang ada dari dua garis keturunan, (4) tercampurnya darah selain darah biru dari orang kebanyakan yang tak jelas juntrungannya, (5) membangun dinasti baru raja Mataram dengan menyingkirkan semua keturunan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pamanahan lewat HB X dan GKR Mangkubumi.

Pemutusan perjanjian itu sangat strategis. Dengan tak adanya perjanjian itu, maka Sultan HB X akan mewariskan takhta kepada GKR Mangkubumi. Dari 21 adik-adik Sultan HB X, sudah ada 11 yang menentang sabdatama dan sabdaraja serta dawuh Sultan HB X.

Di sisi lain pihak penentang sabdaraja juga beralasan. Yang utama menjadi keprihatinan 11 rayi adalah (1) garis matrilineal setelah GKR Mangkubumi akan menghasilkan keturunan orang kebanyakan Nieko Messa Yudha yang bergelar KPH Wironegoro. Keturunan Wironegoro ini menghasilkan ratu baru lagi bernama RA Artie Ayya Fatimasari Wironegoro ( adiknya lelaki bernama Raden Mas Drasthya Wironegoro). Namun, lagi-lagi jika dihubungkan dengan pengangkatan GKR Mangkubumi, takdir menetapkan anak sulung Pambayun-Wironegoro pun perempuan. Jadi nanti setelah Ratu HB XI, Ratu HB XII pun disandang oleh perempuan bernama GKR Ayya Fatimasari dengan gelar GKR Mangkubumi pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun