Sejak masa kepemimpinan Djuhartono (69) Suprapto Sukowati (73), Amir Moertono (83), Sudharmonp (88), Wahono (93), Harmoko (98), Akbar Tandjung (04), Jusuf Kalla (09), Ical (15), Agung Laksono (2021) tak pernah berada di luar pemerintahan.
Bahkan pendiri Golkar adalah Angkatan Darat, TNI. Bagaimana mungkin Golkar yang merupakan anak TNI melawan pemerintah? Artinya, Ical dan Akbar Tandjung lupa pada sejarah Golkar yang selalu mendukung pemerintahan. Golkar tidak pernah menjadi oposisi. Golkar tak pernah di luar pemerintahan. Marwah Golkar yang diingkari Ical dan Akbar jelas menyengsarakan kader Golkar yang terbiasa di pemerintahan. Contoh nyata adalah Jusuf Kalla yang selalu berusaha berada di pemerintahan, bahkan bisa menjadi capres dan memenangi dua kali jabatan sebagai wapres.
Faktor penciptaan pseudo-power ala Ical dan Akbar Tandjung yang membawa Golkar di luar pemerintahan adalah kesalahan fatal dan utama Ical dan Akbar Tandjung. TNI yakni Angkatan Darat pun sebagai pendiri Golkar tidak mendukung sama sekali langkah Ical ini. (Di lain pihak, menyadari serangan Koalisi Prabowo, Presiden Jokowi memberikan berbagai perhatian pendanaan dan kesejahteraan TNI. Bahkan posisi Wakil Panglima TNI pun dihidupkan, untuk bagi-bagi kedudukan. Hal ini dilakukan karena tanpa dukungan TNI - dan BIN - pemerintahan Jokowi sudah ambruk diterjang oleh serangan para koruptor.)
Faktor eksternal Golkar. Pertama, perubahan peta politik di parlemen.
Peta politik berubah arah dengan pecahnya PPP - yang dipastikan dimenangkan oleh kubu Romi. Posisi PPP yang meninggalkan Koalisi Prabowo mengurangi kekuatan koalisi Prabowo. PAN pun jelas tidak 100% solid sebagai anggota koalisi Prabowo. Mengharapkan Demokrat untuk menguatkan pseudo-power ala Ical pun tak cukup kuat. Demokrat akan ngeper begitu Century dan Hambalang disebut.
Oleh sebab itu, di mata Golkar Agung, langkah Ical menjadi tameng kepentingan PKS, Gerindra, dan Demokrat merupakan kesalahan dan keluar dari marwah Golkar: menjadi oposisi adalah aib bagi Golkar.
Kedua, di sisi lain, kekuatan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung berpihak kepada Presiden Jokowi. Polri pun akan tunduk kepada Presiden RI setelah penyelamatan Budi Gunawan - dengan korban KPK. (Tentang Sarpin, pada waktunya nanti akan dikeluarkan Surat Edaran MA. Tentang Budi Gunawan sendiri, kompromi politik-hukum KPK-Polri menyiratkan win-win solution. Salah satu indikasinya adalah penundaan kasus Budi, Samad, Bambang.)
Karena itu, upaya membawa masalah ke Bareskrim Polri - yang dianggap akan membawa angin segar membela Ical - tak akan bermanfaat. Polri dan Bareskrim tak hendak mau dimanfaatkan oleh Ical - yang sudah lemah. Bahkan tuduhan adanya 133 surat mandate palsu pun tak terkait dengan keputusan Mahkamah Partai Golkar yang sudah memutuskan kubu Agung sah. Bareskrim tak akan berpihak kepada politikus lemah.
Pun pengajuan ke Pengadilan Negeri juga tak akan merontokkan keputusan MenhukHam yang sudah memutuskan keabsahan Golkar Agung. Ke PTUN pun dengan istibat ke PPP Djan Faridz hanya akan memerpanjang upaya hukum. Hal ini merugikan Golkar. Maka dari situlah mulainya eksodus kader Golkar ke kubu Agung. Di pengadilan, karena faktor politik sudah berbeda peta, maka di PTUN Golkar Ical dipastikan akan kalah. Apalagi Muladi sudah menyebut keabsahan keputusan MenhukHAM berdasarkan keputusan Mahkamah Partai Golkar. Mengusung Yusril Ihza Mahendra pun sudah tidak memberikan effect apapun karena masa keemasan Yusril sudah lewat - terbukti pandangan-pandangannya tak digubris oleh Mahkamah Konstitusi karena kelas Yusril sekarang sama dengan Margarito Kamis atau Siti Zuhro - tak bertaring sama sekali.
Maka, dengan keempat faktor eksternal dan internal Golkar, yakni secara internal (1) Ical dan Akbar Tandjung salah mengalkulasi kekuatan politik (Golkar Ical minim orang kuat ekonomi dan ketokohan serta organisasi pendukung), (2) Ical dan Akbar Tandjung lupa sejarah dan marwah Golkar yang selalu di pemerintahan (kader Golkar gatel tak mendapatkan kue kekuasaan dan ekonomi, malahan hanya ditawari pseudo-power ala koalisi Prabowo. Secara eksternal (3) Ical dan Akbar tak menghitung dengan cermat peta politik di parlemen (perubahan sikap PPP dan PAN tak menguntungkan Golkar), (4) lembagai negara dikuasai oleh Koalisi Jokowi (hal ini jelas akan membuat kekalahan bagi Ical di baik PTUN maupun pengadilan. Itu sebabnya bolak-balik cabut gugatan oleh Ical.)
Jadi, dapat dipastikan kisah sejarah Ical dan Akbar berakhir sudah. The game is over, absolutely. Selamat datang Golkar Agung Laksono.