Kini, Olga Syahputra meninggalkan jejak legacy lawakan di Youtube dan media sosial. Olga akan abadi namanya seperti kelas Nike Ardilla, bukan karena kecantikannya tentu, tetapi kegunaan dan manfaatnya di dunia industri televisi. Dia adalah alat pengeruk uang di industri pop televisi yang datar, profane, tanpa kedalaman konsep, selain uang dan uang. Itulah legacy Olga.
Maka, Lee Kuan Yew adalah bermanfaat bagi bangsanya, Singapura, dan juga penyelundup pasir laut. Juga berguna bagi koruptor Indonesia semacam Djoko S. Tjandra, pemilik Mulia Group. Lee adalah peletak dasar Singapura menjadi tempat menghindari pajak dan persembunyian para koruptor. Maka orang kaya Australia Brett Blundy dan pendiri bersama Facebook Eduardo Severino yang tinggal di Singapura karena pajak yang rendah; juga pembebasan pajak untuk penghasilan di luar negeri. Dan ... nama Lee Kuan Yew menjulang dalam legacy-nya.
Maka, Andreas Lubitz pun tercatat dalam legacy-nya: mencatatkan diri mengubah sistem penerbangan agar lebih hati-hati dengan orang stress semacam Lubitz.
Maka, Olga pun dalam legacy-nya mencatatkan diri sebagai penghibur sekelas di bawah Nike Ardilla. Namanya adalah ingatan kebahagiaan orang di industri televisi yang di-glamor-glamorkan.
Dari ketiga kasus kematian Lee Kuan Yew, Andreas Lubltz, dan Olga dapat disimpulkan bahwa semua orang akan mati. Cuma cara dan legacy-nya berbeda. Itu akan terjadi pada Jokowi, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ical dan bahkan Amien Rais. Qullu nafsun dzaiqatul maut. Yang bernapas pasti akan mati. Yang membedakan adalah cara dia hidup dan cara dia mati.
Jadi kematian adalah legacy orang dalam atau ketika masih hidup. Karena dari sana semua tercatat kehidupannya. Seluruhnya. Baik dan buruk hanya akan menjadi fakta abadi.
Selamat jalan Lee Kuan Yew. Selamat jalan Andreas Lubitz. Dan selamat jalan Olga Syahputra.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H