Anas Urbaningrum memakai idiom bahasa eufemisme. Sindiran dalam bentuk ucapan terima kasih kepada Soesilo Bambang Yudhoyono menunjukkan betapa Anas tak hanya memiliki latar belakang budaya Jawa, namun komunikasi bahasa Anas menunjukkan ‘domininasi perasaan' dibandingkan dengan ‘logika'. Padahal semua tahu bahwa Bahasa adalah logika. Namun untuk bahasa Indonesia bertambah gelar: bahasa adalah perasaan. Maka pengungkapan perasaan dan logika berbahasa campur aduk dalam konsep bahasa Indonesia.
Dalam kasus Anas Urbaningrum, Anas merasa bahasa Indonesia belum mampu menjadi sarana ungkap ide, rasa dan pendapatnya. Akibat belum siapnya bahasa Indonesia untuk sepenuhnya memakai logika berbahasa dalam gramatika atau tata bahasa, maka jelas bahasa Indonesia dianggap belum sepenuhnya mampu menjadi alat berbahasa bagi banyak orang Indonesia. Karenanya, eufemisme menjadi salah satu cara untuk mmengungkapkan pendapat - yang bisa multi-interpretasi. Maka Anas Urbaningrum pun merupakan salah satu penutur yang tak yakin bisa mengungkapkan ide, perasaan, dan pendapat dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, bahasa yang digunakan pun tak memiliki makna yang jelas. Ini salah satu ekses buruk bahasa yang mengesampingkan logika.
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang tumbuh pesat. Tak ada bahasa lain di dunia yang sengaja dibuat - dengan dasar bahasa Melayu - yang melebihi kehebatan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mampu menjadi lingua-franca baru menggantikan bahasa Melayu di seantero Indonesia dengan penutur selkitar 120 juta jiwa - masih separo jumlah penduduk Indonesia yang tak berbicara bahasa Indonesia. Perlu ada terobosan (baca: revolusi) bahasa Indonesia dengan menempatkan logika di atas perasaan berbahasa.
Sekitar 10 % pemakai bahasa ibu bahasa Indonesia - dengan ditandai oleh ketidakmampuan berbicara bahasa daerah manapun selain bahasa Indonesia atau bahasa asing lainnya - mengalami masalah dengan ‘logika' berbahasa. Penyebabnya adalah bahasa Indonesia sendiri mengalami terlalu banyak perkecualian dalam berbahasa. Jadi bahasa Indonesia menjadi seperti tidak memiliki aturan dan hanya perasaan yang berperan dalam berpikir.
Sebagai bahasa resmi dan berkembang, ternyata bahasa Indonesia masih memiliki kelemahan mendasar terkait ‘logika berbahasa'. Logika bahasa Indonesia belum maksimal. Masih banyak kata-kata dan kalimat yang dibentuk hanya berdasarkan perasaan, bukan logika. Salah satunya adalah pemakaian kata ‘para'. Para digunakan untuk menyebut jumlah ‘banyak' di depan kata benda.
Contoh: para guru, para pejabat, para orang tua, para murid, para perempuan, para binatang. Dari berbagai contoh, ternyata kata para hanya digunakan untuk menyebut kata benda berwujud jabatan, sifat, jenis kelamin, atau pekerjaan atau sebutan terkait peran seseorang atau binatang. Jadi kata ‘para' hanya digunakan terbatas untuk orang dan binatang.
Namun ketika terhadap ‘orang atau benda atau binatang' sendiri tak pernah muncul frasa ‘para ___' di depan ‘entitas manusia dan binatang, apalagi benda'. Contoh, para anak (cenderung memakai frasa ‘anak-anak'), para bayi (bayi-bayi), para orang (orang-orang), para kursi (kursi-kursi). Ketidakmampuan penutur bahasa Indonesia untuk menggunakan kata ‘para' untuk menyebut ‘banyak' bagi kata benda, dan orang secara merata - dengan menghilangkan kriteria ruwet berdasarkan ‘rasa dan perasaan' menjadi penyebab banyak orang kehilangan ‘sentuhan kejiwaan sebagai dasar bahasa ibu yang sempurna'.
Penutur bahasa Indonesia hampir tak pernah menggunakan frasa ‘para partai politik', para pisang, para kucing, para meja, para agama, para kepercayaan. Merea - dengan berbekal perasaan dan bukan logika - terbiasa menyebut ‘para binatang, tapi tak pernah menyebut ‘para sapi' atau ‘para ikan'. Namun jika menyangkut jabatan dan tugas, maka ada frasa ‘para jin, para malaikat, para banci, para pembunuh'.
Jika mau maju, para penutur bahasa Indonesia harus meninggalkan ‘perasaan' dan mengedepankan ‘logika' jika mau menjadi bahasa ibu bagi semua bangsa di Indonesia. Jika itu dipenuhi niscaya Anas tak akan berbicara ‘dengan bahasa yang susah dimengerti'. Salah satu upaya mendorong logika berbahasa adalah memanfaatkan kata pembilang jumlah ‘para' untuk mengganti frasa atau kata-kata ulang dalam bentuk frasa yang terlalu banyak makan tempat karena diulang-ulang. Maka akan didapatkan frasa yang lebih praktis seperti ‘para ikan', ‘para orang', para para partai, para meja, para kabupaten di samping para binatang, para perampok, para pencuri, para koruptor dan para pengkhianat.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H