Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Riset Gunung Padang: Situs Megalitikum Bukti Allah SWT Ada Sejak Prasejarah

20 Oktober 2013   12:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17 2906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13822460841318570659
13822460841318570659
1382246166143224844
1382246166143224844
Situs Megalitikum Gunung Padang (Panghegar) yang memiliki punden-punden berundak sebanyak lima pelataran adalah bukti adanya tuhan. Pembangunan situs pemujaan itu sungguh spektakuler. Manusia prasejarah Gunung Padang yang belum mengenal lambang tulisan sebagai lambang konsep dan ide, namun mampu membuat tempat pemujaan kepada tuhan yang sedemikian rupa. Situs pemujaan itu dibangun dalam waktu yang sangat lama.

Diyakini dibutuhkan ratusan tahun untuk membangun situs dengan menata batu. Mengingat peralatan yang dipakai juga sangat sederhana, penatahan dan pembentukan ratusan ribu batu di situs sungguh memerlukan waktu yang sangat lama. Belum lagi cara memindahkan batu andesit dari sungai-sungai. Ukuran ribuan batu yang bervariasi dari ukuran 20, 50, sampai 200 cm alias 2 meter dengan berat ratusan kilo jelas memerlukan waktu yang sangat lama.

Lalu, desain situs megalitikum Gunung Padang yang spektakuler, dengan menekankan tempat tersebut sebagai tempat suci yang dihadiri oleh ribuan orang selama ratusan bahkan ribuan tahun adalah bukti hadirnya Allah SWT dalam diri manusia. Manusia - baik prasejarah maupun manusia modern - menghadirkan tuhan dalam pemujaan secara sosial karena didasari oleh ‘rasa ketuhanan' dalam dirinya yang sama pada setiap manusia.

Sepanjang sejarah manusia, di mana pun juga, seperti di Mesir dengan Piramida, suku Maya di Peru dengan Piramida, bangsa Arab dengan Ka'bah - ingat lokasi tempat Ka'bah yang sekarang ini dulunya adalah situs purbakala yang dipenuhi dengan aneka patung, dan tak terkecuali Situs Megalitikum Gunung Panghegar (Padang) manusia perlu tempat pemujaan untuk ‘kehidupan spiritual mereka'. Bahkan manusia modern melanjutkan kehidupan prasejarah dengan meyakini pentingnya situs prasejarah.

Maka, situs prasejarah selalu menjadi tempat dibangunnya bangunan baru jika terjadi perubahan keyakinan spiritual manusia yang menghuni suatu tempat. Contohnya. Lokasi bangunan masjid Al Aqsa adalah lokasi the Temple of Solomon, situs yang dibangun oleh Nabi Sulaiman.

Begitu pula aneka situs purbakala di Indonesia diyakini menempati lokasi situs prasejarah. Bahkan sampai masa kedatangan Hindu, Buddha dan Islam di Indonesia membuktikan bahwa tempat-tempat keramat zaman prasejarah ditempati oleh agama baru.

Bukti otentiknya adalah bahwa bangunan candi, dan masjid pada awalnya selalu berbentuk ‘pasola' atau ‘punden berundak'. Pasola secara luas ditemukan di Myanmar, India, Laos, Thailand dan tentu Indonesia - di seluruh keraton-keraton Nusantara dan bahkan masjid-masjid lama di Indonesia dalam bentuk payung bersusun.

Pun unsur ‘pasola' juga dapat dilihat dalam bangunan Masjid Demak dan bahkan Eyang saya Soeharto melestarikan masjid ‘berpasola' yang berudak-undak seperti candi berupa ratusan masjid yang dibangun oleh Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.

Nah, Situs Megalitikum Gunung Panghegar (Padang) merupakan tempat pemujaan prosesi keagamaan yang dilakukan hanya pada malam hari. Pelaksanaan hanya dilakukan pada bulan purnama selama lima hari. Yakni dua hari menjelang bulan purnama dan dua hari setelah bulan purnama. Situs ini tidak dikunjungi pada siang hari. Seluruh rangkaian pelaksanaan ritual dilaksanakan secara massal dan bebrjamaah dengan dipimpin oleh Pu'un. Hal ini diyakini berdasarkan struktur bangunan Situs Megalitikum yang terbagi dalam anek bangunan yang berstrata dari Beranda, Pelataran I - V yang tertinggi. Lalu apa tujuaan pemujaan kepada tuhan itu? Sama. Mencari hubungan atau mendekati rasa ketuhanan. Manusia prasejarah Gunung Padang (Panghegar) tampaknya memiliki kesamaan dengan manusia modern. Tentang nama tuhan menjadi tak penting karena rasa tak bisa dijelaskan sepenuhnya melalui kata.

Tuhan yang tak memiliki nama. Karena kalau masih memiliki nama maka itu hanya pendekatan kepada ‘tuhan' yang sesungguhnya. Tuhan ditemukan dalam rasa oleh manusia. Sebagai tuhan, tuhan berada di luar akal, pikiran, bayangan, ide, penalaran manusia. Kenapa? Karena manusia adalah makhluk dan tuhan adalah diyakini sebagai pencipta. Apapun yang dibayangkan, dipikirkan, diidekan, diyakini oleh manusia tentang ‘tuhan' adalah hanya pendekatan dan tak akan mencapai hakikat ‘tuhan'. Kenapa? Tuhan berbeda dengan manusia sebagai makhluk. Lalu bagaimana manusia memahami ‘tuhan'?

Tuhan sesungguhnya ada dalam diri manusia. Friksi ketuhanan terkandung dalam alam semesta. Dan manusia adalah bagian dari alam. Sebagai buktinya adalah kemampuan alam termasuk manusia dalam berevolusi - evolusi adalah rangkaian sunatulllah penciptaan alam semesta yang hanya dengan ‘kun fa yakun - jadi, maka jadilah'. Alam semesta termasuk manusia adalah kelanjutan dari bukti eksistensi dan keberadaan tuhan.

Dalam manusia diciptakan otak untuk berlogika - sebagai bagian dari adanya friksi tuhan dalam diri manusia - ilmu Allah SWT disematkan ke dalam alam semesta sejak penciptaan yang hanya dengan ‘kun fa yakun' itu, sehingga manusia bisa berpikir (to think), merasakan (to feel) dan membayangkan (to imagine) dan bermimpi (to dream).

Dengan adanya ilmu Allah SWT dalam diri manusia, maka manusia mampu mengenali eksistensi tuhan dalam diri manusia - sebagaimana keberadaan tuhan dalam alam semesta. Ingat, Allah memerintahkan kepada manusia untuk memelajari alam semesta karena manusia tak mampu memelajari eksistensi dan dzat atau masse atau wujud Allah SWT baik dalam alam ide, konsep atau pun masse atau dzat. Namun, pengenalam alam dan manusia terhadap tuhan terwujud dalam ‘rasa', bukan ‘logika'. Kenapa demikian?

Karena logika hanya merupakan sebagian kecil dari ‘ilmu Allah atau sunnatullah'. Logika hanyalah alat untuk berpikir untuk ‘mengidentifikasi, mengenali, melogikan rasa'. Nah, hadirnya tuhan dalam diri manusia itu adalah keniscayaan yang gampang sekali dirasakan, jika manusia mampu memanfaatkan seluruh potensi ilmu Allah SWT yang diberikan dan disematkan dalam diri manusia.

Maka sesungguhnya dengan perenungan dan melakukan ritual seperti menyepi dan kontemplasi seperti yang dilakukan oleh manusia purba, baik yang dilakukan di Gunung Padang (Panghegar) atau yang dilakukan oleh Muhammad SAW di Gua Hira, adalah upaya manusia sepanjang masa untuk menemukan tuhan, Allah SWT. Dan, situs Megalitikum Gunung Padang adalah tempat suci di mana Allah SWT disembah oleh manusia sejak 10,000 tahun lalu - 8,500 tahun sebelum Islam diturunkan kepada Muhammad SAW.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun