Fadli Zon jengah. Itu bisa dipahami. Penyebanya adalah (1) rontoknya Golkar Ical, dan implikasinya (2) robohnya koalisi Prabowo. Lebih jauh, percobaan penerapan teori politik text-book berupa pseudo power gagal total. Dan Golkar adalah penyebabnya. Untuk menyelamatkan percobaan teori politik text book itu, Fadli Zon harus menggagalkan perombakan Fraksi Golkar di DPR. Loyalis Ical seperti Aziz Syamsuddin, Bambang Soesatyo, Ade Komaruddin, Tantowi Yahya, dan di DPP seperti Idrus Marham harus dipertahankan. Mari kita telaah implikasi politik dan kiprah Fadli Zon dan praktik jualan teori politik pseudo-power yang gagal dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia selamanya.
Teori pseudo power yang dianut oleh pemerintah Uni Soviet. Teori ini berawal dari upaya membelokkan esensi kekuatan rakyat, kelas pekerja dan kaum proletariat. Penguasa partai menjadi ‘kapitalis penguasa' sesungguhnya di Uni Soviet. Kekuatan rakyat dipinjam untuk memraktikkan keuasaan menguasai seluruh peri kehidupan rakyat. Pseudo power terbentuk. Elite penguasa mencoba memenangi seluruh dan menguasai dengan tekanan kepada lawan.
Fadli Zon pun paham akan hal ini. Maka memanfaatkan militansi pendukung Prabowo, para partai, pentolan partai yang kalap atas kekalahan, maka upaya membentuk pseudo power dianggap paling tepat. Maka terbentuklah koalisi permanen ala Koalisi Prabowo.
Dengan meminjam situasi politik, atau bahkan fenomena politik, Fadli Zon mendesain koalisi penyeimbang yang sejatinya pseudo power. Jadilah ia arsitek pembentukan pseudo power di Indonesia dalam wujud DPR. Diimpikan oleh Fadli Zon, dengan kekuatan parlemen 76% dikuasai oleh koalisi Prabowo, diimajinasikan Presiden Jokowi akan memberikan banyak konsesi ke oposisi.
Awalnya teori politik itu dianggap akan berjalan dengan baik. Maka persiapan eksekusi teori ke dalam praktik dilancarkan. UU MD3 dibentuk sebagai prasyarat membangun kekuatan. Tak heran semua alat dan pimpinan DPR dan MPR disapu bersih untuk koalisi Prabowo.
Awalnya, sejak sebelum Pilpres, persiapan untuk memraktikkan pseudo-power, dengan kelabuhan berupa istilah penyeimbang, mendapatkan tempat di koalisi Prabowo. Bahkan Partai Demokrat yang tak memiliki arah terombang-ambing mendukung pseudo power ala Fadli Zon itu.
Jadilah ia arsitek pembentukan pseudo power di Indonesia dalam wujud DPR. Diimpikan dengan kekuatan parlemen 76% dikuasai oleh koalisi Prabowo, diimajinasikan Presiden Jokowi akan memberikan banyak konsesi ke oposisi.
Pseudo power sendiri biasanya dibangun dan dapat dijalankan dengan syarat-syarat (1) soliditas para partai anggota pembentuk pseudo power memiliki kekuatan mayoritas, (2) penguasa sah dianggap lemah - namun memiliki kekuatan dukungan publik, (3) pseudo power mampu memberikan keuntungan bagi partai pendukungnya, (4) kekuatan dominan angkatan bersenjata dan kepolisian terpecah, dan (5) pelaku pseudo power mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Dari kelima prasyarat keberhasilan pseudo-power sebagai alat penekan, hanya poin ke-5 yang terpenuhi. Poin satu PPP dan Golkar pecah dan tak solid. Butir 2, ternyata Presiden Jokowi bukan ayam sayur - malah memorakporandakan PPP dan Golkar. Poin 3, pseudo power yang dibangun dengan nama penyeimbang gagal memberikan kue ekonomi atau konsesi dari Presiden Jokowi. TNI, BIN dan Polri tetap mendukung Presiden Jokowi secara solid.
Dapat dipastikan percobaan penerapan teori kekuatan ‘penyeimbang' - dengan menyingkirkan istilah oposisi pun gagal total. Lebih jauh, koalisi permanen pun bubar berkeping dan diprediksi oleh orang waras hanya akan menyisakan: PKS dan Gerindra. Ini jelas membuat sang arsitek melihat kegagalan percobaan sebagai aib. Tak mengherankan Fadli Zon dan Fahri Hamzah berjuang all-out untuk memertahankan Golkar versi Ical. Padahal secara hukum yang diakui pemerintah adalah Golkar Agung Laksono.
Tak mengherankan Fadli Zon yang terobsesi pseudo power jadi sewot. Bukan hanya percobaan membuat parlemen penyeimbang (bukan oposisi). Teori Fadli Zon ini serta-merta dicerna dan diamini sebagai kebenaran. Istilah penyeimbang pun ditelan oleh para partai dan dianggap sebagai kebenaran. Istilah oposisi pun dianggap tabu.
Padahal yang sedang dibangun adalah pseudo power yang bertujuan untuk sebagai kekuasaan tandingan. Pemerintah versus DPR yang dianggap sama-sama memiliki kekuatan. Kekuatan bukan sebagai mitra, namun sebagai lawan.
Tak mengherankan dalam masa-masa ketika Golkar masih kuat dan kekuatan koalisi Prabowo tengah di puncak kekuatan, Fadli Zon dan Fahri Hamzah menjadi primadona. Semua kebijakan akan diarahkan ke satu hal: ancaman impeachment. Dari mulai bahan bakar BBM, lalu Kapolri, lalu Golkar, semuanya akan diarahkan ke satu tujuan: asal beda dengan Presiden Jokowi. Itulah hakikat pseudo power yang memang didasari oleh adanya ketidakpuasan dan pikiran asal berbeda.
Golkar Ical sudah bubar. Terkait upaya hukum ke PTUN, pengadilan, dan bahkan ke KPK tak akan mengembalikan kekuasan Ical. Sikap politik Fadli Zon tampak menarik pasca Golkar Agung Laksono ditetapkan oleh MenkumHAM sebagai pemilik Golkar yang sah. Fadli sadar koalisi Prabowo rontok akibat Golkar mendukung pemerintah.
Maka, Fadli Zon dan kawan-kawan berupaya membela Ical. Fadli Zon, didukung soulmate-nya Fahri Hamzah, akan all-out untuk mengganjal Agung Laksono dan kawan-kawan untuk merombak Fraksi Golkar DPR. Upaya menghalangi agung adalah upaya terakhir untuk memertahankan teori politik pseudo-power yang gagal.
Lagi lagi, Fadli Zon, sepekan terakhir, paling gaduh memertahankan Fraksi Golkar di DPR. Padahal dia bukan orang Golkar. Ada apa dengannya? Urusan Fraksi Golkar sama sekali bukan wewenang Fadli Zon. Tugas DPR adalah membacakan perubahan Fraksi Golkar. Secara politis, berakhirnya Ical dan munculnya Agung Laksono adalah akhir dari era Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Yang tengah dilakukan oleh Fadli Zon, Fahri Hamzah adalah upaya untuk memertahankan kekuasaan politik DPR. Tak dapat dibayangkan oleh pencipta MD3, bahwa seluruh pimpinan dan kelengkapan DPR dan MPR berpindah kubu: koalisi Jokowi. Dengan demikian DPR hanya menyisakan orang-orang Gerindra dan PKS dengan sesekali muncul slilit politik Demokrat - yang semakin dekat Ibas disebut Nazaruddin dan Century akan digulirkan.
Implikasi politik berakhirnya dominasi koalisi Prabowo sungguh tak terbayangkan. Berbagai hal yang diimpikan dalam teori politik gagal diraih. Teori politik itu adalah penciptaan pseudo-power untuk mengganjal pemerintahan Jokowi.
Intinya, rontoknya Golkar, dan upaya terakhir Fadli Zon memertahankan Golkar Ical tak akan berhasil. Dan, itulah titik akhir koalisi Prabowo. Hanya akan tersisa PKS dan Gerindra di koalisi Prabowo. Lainnya hengkang menikmati kue kekuasaan dan kue ekonomi Presiden Jokowi. Fadli Zon dan Fahri Hamzah hanya akan menjadi hiasan sebagai pimpinan DPR yang tidak punya taring - seperti koalisi Prabowo yang hanya berisi Fadli Zon dan Fahri Hamzah serta Anis Matta. Maka percobaan aneh pseudo power dengan istilah penyeimbang hanyalah mimpi kosong belaka. Sayonara Ical dan Akbar Tandjung. Sayonara Koalisi Prabowo,
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H