Keyakinan agama Allah, Yahudi, Kristen dan Islam ternyata menjadi lambang bagi suatu bangsa yang disebut Yahudi dan Arab. Di Timur Tengah, Yahudi, Kristen, Islam dan agama-agama pagan lahir dan tumbuh silih berganti. Namun simbol agama berupa tanah, sekali lagi tanah dan tempat menjadi hal penting di atas kepentingan terhadap Allah sendiri.
Yahudi meyakini bahwa Yerusalem adalah Kota Suci yang harus direbut kembali. Di situlah terdapat the Temple of Solomon dan the most sacred shrine for the Jews - tempat paling sakral bagi agama Yahudi - yang kini tinggal berupa Tembok Ratapan. Tempat ini sebagai wujud kesedihan bangsa Yahudi yang kehilangan Bait Allah untuk kedua kalinya ketika Yerusalem dihancurkan oleh Romawi. Yahudi memandang seluruh wilayah Israel sekarang adalah tanah yang dijanjikan kepada bangsa Israel. Untuk itu, tanah yang dijanjikan harus direbut, dipertahankan, dan diperjuangkan demi kejayaan Israel Raya.
Kristen tidak pernah mengidentifikasi diri sebagai pemilik sah tanah yang sama-sama diklaim oleh Yahudi dan Islam; atau tepatnya kemudian disebut Israel dan Arab. Hanya 2% jumlah bangsa Yahudi yang meninggali apa yang sekarang disebut Israel dan Palestina ketika Israel dideklarasikan sebagai negara merdeka tahun 1948. Sementara 98% semua tanah didiami oleh orang Arab. Orang asli Palestina sendiri hanya berkisar sekitar 8% yang tinggal di dan sekitar Yerusalem serta di Tepi Barat. Selebihnya yang 92% adalah memang orang-orang Arab yang berasal dari Yordania, Mesir, Syria, dan beberapa negara Arab lain.
Suku-suku asli yang berjumlah 12 suku itu sejak zaman dahulu mendiami sebagian wilayah yang disebut sebagai Israel, namun bukan keseluruhan wilayah itu. Di antara wilayah-wilayah itu terdapat tanah yang secara turun-temurun sejak zaman Solomon memang menjadi tanah orang Palestina - Filistin. Wilayah dari Laut Mati sampai sekitar Jericho menjadi tempat kediaman suku-suku Felistin - bukan orang Arab.
Sejak diaspora dan perpindahan suku-suku Israel, Yahudi keluar dari tanah atau wilayah yang sekarang disebut Palestina dan Israel ke seluruh penjuru dunia. Mereka tersebar ke Ethiopia, Eropa Barat, Russia dan belakangan ke Amerika Utara dan Amerika Latin. Disadari akan pentingnya tanah air bagi bangsa Yahudi, maka atas prakarsa para petinggi negara Barat, Inggris, dan gerakan Zionist pun dibentuk untuk bertujuan mendirikan negara Israel. Berbagai macam pilihan diambil, opsi untuk membangun negara di Ethiopia gagal. Juga kondisi Russia tak memungkinkan dibentuknya negara Yahudi di sebagian negara bagian Russia yang mayoritas berdarah Yahudi.
Nah, gerakan Zionist yang dibentuk pada tahun 1897 dengan tujuan mendirikan negara Israel mendapat angin dari Inggris yang saat itu menguasai wilayah yang sekarang disebut Israel dan Palestina. Gerakan Zionist ini yang mengawali pendirian 20 pemukiman Yahudi di wilayah Palestina pada tahun 1870 sampai tahun 1897. Kebijakan membangun pemukiman dan mengusir penduduk yang mendiami wilayah Palestina, sejak kemerdekaan Israel. Pada awalnya Dana Bangsa Yahudi (Jewish National Fund) dibentuk untuk membeli tanah di wilayah Palestina, yang bertujuan untuk mendirikan negara Israel. Penguasa Imperium Turki yang menguasai Palestina pada abad ke-19, Sultan Hamid II berperan memberikan izin pemukiman bagi bangsa Yahudi yang akan kembali ke Israel.
Bangsa Yahudi yang telah berdiaspora dan tercerai-berai akhirnya memiliki identitas bangsanya kembali dengan berdirinya negara Israel. Kini 40% orang Yahudi telah kembali ke Israel. Tidak ada dalam sejarah kemanusian dan umat manusia yang mampu menghidupkan kembali kebangsaannya setelah tercerai-berai selama ribuan tahun. Hanya bangsa Yahudi yang mampu menyatukan sumber daya sehingga mampu membentuk negara Israel, dengan mayoritas penduduknya bangsa Yahudi.
Sejak berdirinya Israel tahun 1948, Israel sudah tidak melakukan kebijakan membeli tanah rakyat Palestina. Israel melakukan pengusiran dan merebut tanah-tanah Palestina secara sepihak. Giliran ratusan ribu rakyat Palestina mengungsi dan terusir dari tanah mereka. Mereka tersebar di Lebanon, Yordania, Mesir, Syria, negara-negara Teluk, Irak, Turki, Afrika Utara dan bahkan ke Eropa.
Kini giliran rakyat Palestina yang sebagian mendiami suatu wilayah (Gaza dan Tepi Barat) namun tidak diakui sebagai bangsa. Mereka tidak memiliki negara, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam membangun bangsa Palestina. Keadaan yang nyaris sama dengan kondisi bangsa Yahudi yang terusir dari tanah mereka selama ribuan tahun, sampai berdirinya Israel.
PLO (Palestine Liberation Organization - Organisasi Pembabasan Palestina) sebagai organisasi terbesar memimpin pembebasan Palestina sejak 1967. PLO berdiri setelah semua kemungkinan penghapusan Israel, sebagaimana diyakini oleh bangsa Arab, menjadi hal yang mustahil. Rakyat Palestina mendirikan organisasi karena ketidakyakinan mereka terhadap negara-negara Arab. PLO dan faksi Fatah-nya menandatangani perjanjian yang membuka jalan bagi pemerintahan otonomi bagi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Di tengah-tengah upaya merayu Israel dengan negosiasi itu, kalangan pemuda Palestina merasa tidak puas. Faksi ekstrim Hamas yang sejak lama memiliki gaya pembebasan garis keras semakin mendapat tempat di hati Rakyat Palestina. Agenda Hamas sendiri sejak lama adalah ‘penghapusan negara Israel dari peta bumi'. Posisi tegas terhadap Israel ini diulangi lagi oleh pemimpin Hamas Khaled Meshaal yang mengunjungi Gaza untuk kali pertama sejak 45 tahun lalu pada Jumat (07/12/2012). Hamas akan membebaskan tanah Palestina mulai dengan satu inci sampai akhirnya semua tanah Palestina dibebaskan.
Khaled Meshaal juga berjanji akan membebaskan para tahanan Palestina di Israel. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Hamas akan melakukan penangkapan tentara Israel seperti yang terjadi pada tahun 2006 terhadap Gilad Shalit, yang ditahan di Gaza selama 5 tahun sebelum dibebaskan dengan ditukar dengn 1,027 tahanan Palestina.
Palestina praktis terpecah menjadi dua kubu: Tepi Barat dikuasai faksi Fatah dengan Presiden Mahmoud Abbas, sementara Jalur Gaza dikuasai oleh Hamas dengan Ismail Haniyeh sebagai Perdana Menteri. Perpecahan di kubu Palestina ini seakan mengurangi kemampuan Palestina untuk melawan dan bernegosiasi dengan Israel perihal Palestina Merdeka.
Kini, Hamas dengan sayap militernya Qassam telah mampu meluncurkan roket dan menghantam Tel Aviv, Israel, juga Yerusalem. Kemampuan dan pencapaian militer Hamas ini sungguh mengkhawatirkan Israel. Pemerintahan Perdana Menteri Israel melalui juru bicaranya Ofir Gendelman menyatakan, "Hamas tengah merayakan 25 tahun perayaan membunuh rakyat Israel dengan roket dan bom bunuh diri, juga mengeksekusi anggota Fatah...melanggar HAM - hak azasi manusia." Israel masih bungkam dengan kunjungan Khaled Meshaal ke Gaza. Israel pernah berusaha membunuh Khaled Meshaal namun gagal pada tahun 1997.
Dalam konflik Israel-Palestina ini, tampak sekali perubahan strategi Israel dalam mendirikan negara Israel. Pada mulanya tidak ada pernyataan tentang Tanah yang Dijanjikan - buktinya pemukim Yahudi mula-mula membeli tanah dari warga yang telah tinggal di sana. Lalu setelah Israel memiliki kekuatan, bahkan Kota Tua Yerusalem, termasuk Yerusalem Timur direbut dari Yordania dalam Perang Enam Hari tahun 1967. Seluruh Yerusalem dikuasai Israel di bawah Hukum Yerusalem - meskipun tidak diakui oleh hukum internasional. Sejak saat itu Yahudi memiliki kesempatan untuk beribadah di Temple Mount yang berlokasi sama dengan Dome of Rock dan Al Aqso.
Konflik Israel-Palestina bukanlah tentang pertentangan agama, namun perebutan tanah. Jika dicermati akan tampak bagaimana pergolakan antara nasionalisme Arab Palestina dan Yahudi sejak tahun 1917. Di situ belum muncul kekhawatiran akan berdirinya negara Israel - namun pemukim Yahudi telah menyusun secara sistematis kerangka administrasi layaknya sebuah negara di semua tanah dan pemukiman yang dimiliki oleh Yahudi.
Inilah kecerdasan dan kesabaran Yahudi dalam upaya mendirikan kembali bangsa Israel yang telah tercerai-berai. Sementara Arab Palestina - yang menganggap diri mereka sebagai rakyat Turki Ottoman pada saat itu - sebagai mayoritas menafikan kemungkinan berdirinya negara Israel. Hanya Mufti Besar Yerusalem, Mohammad Amin al-Husainy, yang menyadari hal ini sampai akhirnya terjadi Kerusuhan Yerusalem tahun 1920 dan 1929 yang menyebabkan Mufti harus mengasingkan diri ke Iraq, pada saat itu Palestina ada di bawah kekuasaan Inggris. Pada kerusuhan nasionalisme-agama Yahudi-Arab tahun 1929, terjadi pembantaian terhadap Yahudi di Hebron, Safed dan Yerusalem.
Kini kondisi geopolitik dan geoekonomi di Timur Tengah telah berubah ke arah nasionalisme. Arab Saudi kini menjadi seperti Turki Ottoman pada masa sebelum perang dunia pertama dan kedua. Jika Imperium Turki dan juga Timur Tengah dijatuhkan oleh kekuatan Kolonial Eropa, Arab Saudi akan jatuh karena nasionalisme Arab - baik internal Arab Saudi maupun kekuatan regional. Amerika Serikat sebagai jangkar kekuatan di Timur Tengah yang melindungi Israel dan Arab Saudi, kini harus berhadapan dengan Mesir yang islamis dan Iran serta negara-negara Afrika Utara dan kekuatan baru Turki.
Jika Arab Saudi jatuh ke tangan Islam seperti di Mesir atau bahkan menjadi negara demokrasi, itulah awal mula peluang menuju kehancuran Israel. Israel akan kesulitan melawan nasionalisme Arab bersatu - Pan Arabisme Baru - yang lebih bertenaga. Jatuhnya Arab Saudi juga membawa konsekuensi pengaruh Syi'ah di seluruh dunia, karena peran Iran yang dominan di Tanah Arab dan Kota Suci Mekah dan Madinah. Adalah Iran yang memiliki kekuatan paling hebat selain Turki dan Mesir.
Itulah Timur Tengah, tanah yang disebut dalam kitab suci tiga agama besar Yahudi, Kristen, Islam, justru menjadi pemicu konflik yang tak akan berkesudahan. Penyebabnya adalah adanya Yerusalem sebagai tempat suci bagi agama Yahudi, Kristen dan Islam. Hingga di mata awam, tampak bahwa pemicu konflik antara Israel-Palestina adalah antara tanah dan agama menjadi bercampur baur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H