Indonesia dibuat oleh pendiri Negara Indonesia dengan cermat. Pancasila sebagai kulminasi persetujuan dan kesepakatan sosial pendirian Indonesia. Persiapan pembentukan Indonesia dimulai jauh sebelum kemerdekaan. Tujuh belas tahun sebelum 1945, Sumpah pemuda meletakkan dasar kebangsaan Indonesia. Sejak saat itu gelora kesatuan bangsa yang disebut Indonesia tercipta.
Soekarno dan para pendiri bangsa menekankan perlunya cinta bangsa dalam nasionalisme bernama Indonesia. Maka Bung Karno berhasil menciptakan bangsa baru bernama Indonesia yang anggotanya adalah sub-bangsa alias suku bangsa yang berjumlah ratusan etnis atau bangsa. Oleh Soekarno bangsa-bangsa itu diturunkan derajatnya menjadi suku bangsa.
Sejak terciptanya Indonesia, tidak ada kebencian antar suku seperti sekarang. Perpecahan dimulai oleh adanya perebutan kekuasaan dan tanah. Konflik kesukuan sebenarnya tidak ada. Buktinya, program transmigrasi tidak menimbulkan masalah sama sekali di berbagai daerah. Tidak ada kebencian antara suku pendatang dan suku asli.
Contohnya di Sulawesi Utara, di daerah Dumoga, Bolaang-Mongondow, pendatang para transmigran menempati tanah-tanah subur di lembah sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Para pendatang dari Jawa dan Bali hidup berdampingan secara damai dengan penduduk asli suku Mongondow dan suku Minahasa. Dalam hal agama pun yang dari Bali beragama Hindu. Yang dari Jawa ada yang beragama Kristen dan Islam. Suku Minahasa beragama Kristen. Suku Mongondow beragama Islam. Mereka bersama-sama membentuk komunitas bercampur baur berbagai suku bangsa.
Tradisi di Indonesia sejak zaman dulu memiliki ungkapan perkenalan, "Dari mana asalnya?" dan pertanyaan ini ditujukan untuk mengetahui etniknya. Namun bukan pertanyaan yang ditujukan sebagai ungkapan rasis dan xenophobia. Tidak ada kebencian yang muncul dari pertanyaan itu. Malah justru kita bangga saling berkenalan orang dari berbagai suku.
Konflik yang muncul belakangan disebabkan oleh para radikalis seperti Islam gaya Arabia, bukan Islam Indonesia yang moderat. Islam garis keras yang marasuk ke mana-mana. Kampanye kekerasan lewat kampus, sekolah dan sebagianya pada akhirnya menciptakan masyarakat yang anti perbedaan. Keadaan ini didukung oleh kepentingan politik para wakil rakyat dan pemimpin yang ingin mengakomodasi kelompok konservatif dan garis keras ini.
Maka terjadilah pergesekan dan kerusuhan atas nama perbedaan suku dan agama yang menjadi pemicu. Pemerintah menjadi semacam provokator pengadu domba antar suku karena sikapnya yang tidak tegas menangani kerusuhan berlatar belakang SARA.
Peran pemimpin yang tidak tegas dan kepemimpinan yang lemahlah yang menyebabkan kerusuhan mudah meledak. Mereka tidak lagi percaya dan tidak melihat para pemimpin sebagai panutan. Rasa kebangsaan dan kesatuan antar suku bangsa di Indonesia masih tinggi. Jika xenophobia sebagai penyebab kerusuhan, maka sejak dulu pasti akan banyak kerusuhan dan Indonesia sudah bubar. Program Transmigrasi juga tak akan berhasil. Jangan mau mendengarkan tesis tentang kebencian antar golongan dan agama dijadikan alat, dan xenophobia dijadikan kampanye baru model untuk memecah belah kerukunan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H